Minggu, 17 September 2017

Kumpulan Cerpen Penuh Hikmah: Reuni Asmara Yang Terlewatkan



Second Chance In Love
(Reuni Asmara yang Terlewatkan)
Oleh : Rusman Raymanda

Rasyid tak pernah menyangka kalau ia akan bertemu kembali dengan Siti Nadira. Siti Nadira yang dulu dikaguminya, kini sudah tampak tepat di depan matanya. Saat dirinya dipindah tugaskan dari sekolah yang dulu, Rasyid yang sudah lama menjadi kepala sekolah merasa terusik dengan kehadiran Siti Nadira yang kebetulan mengajar sebagai guru agama honorer di sekolah yang baru ditempatinya itu. Perasaannya yang sempat tak memiliki gara-gara keliru mencintai Siti Nadira yang sudah bersuami, Ia seakan ingin melanjutkan kembali asmara yang sudah lama terlewatkan.
Waktu telah menghapus sejenak kisah cintanya dengan Siti Nadira saat hatinya telah termiliki oleh istri sholehah secantik Fathimah. Namun takdir datang merenggut kebahagiaan mereka di tengah hadirnya anak ke tiga. Tujuh tahun sudah kepergian sang istri, rupanya tak membuat Rasyid mencoba mencari pengganti, meskipun sang mertua memberikan kelonggaran padanya. Pertimbangan mereka cukup beralasan, mengingat anak-anaknya yang masih butuh kasih sayang seorang ibu.
Pertemuan dirinya kembali dengan Siti Nadira, membuat gelora jiwanya bangkit kembali. Perasaan malu dan takut masih saja membuntutinya di antara hasrat terpendamnya. Rasa deg-degan selalu menjadi bawaan rasa ketika berhadapan langsung dengannya. Siti Nadira kini hadir dengan kesan barunya, ia menjadi janda cantik yang dulu dipujanya walau dalam hati. Rasyid takut mengulang kesalahan yang sama hingga ia selalu saja membuang muka setiap kali berhadapan langsung dengannya. Mereka tak akan bisa mengelak sekalipun, karena keduanya harus terjebak dalam satu lokasi dan pofesi. Hingga suatu saat, takdirpun berbicara.
“Pak, tolong Bu Siti Nadira disana. Kasihan... dia mungkin menunggu jemputan dari anaknya. Apalagi hujan sangat lebat begini, pasti akan sulit sekali mereka bisa langsung pulang”, Bu Mina berbicara di belakang Rasyid.
Dari luar, hujan sangat deras membasahi kaca jendela mobil. Tampak Siti Nadira duduk terdiam di halte depan sekolah. Dalam hati Rasyid terbisik rasa kasihan, namun perasaannya masih diliputi takut. Mungkin kali ini, ia tak akan bisa menghindarinya.
“Bagaimana, Pak ? Biar saya yang jemput dia pake payung”, Bu Zaenab ikut mendesak.
“Baiklah... !”, Rasyid menyerah pasrah seraya menghela napas panjang.
Rasyid menghentikan mobilnya, Bu Zaenab keluar menjemput Siti Nadira. Sementara Bu Mina melanjutkan ceritanya.
“Apakah Bapak tahu sebenarnya keadaan Bu Siti Nadira... semua guru-guru kasihan padanya. Dia telah kehilangan suaminya saat anaknya masih berusia 3 bulan. Bu Siti Nadira terpaksa harus berjuang menjadi single parent bagi anak satu-satunya itu, dan ia juga harus rela merawat ibunya yang sering sakit-sakitan. Seandainya saja ia sudah lulus PNS, pasti tidak akan serumit begitu hidupnya...”, terang Bu Mina.
Rasyid ikut terbawa dalam cerita Bu Mina. Ia terkejut dengan keadaan Siti Nadira di luar dugaannya, hatinya ikut teriris seperti diremuk jantung. Dari luar, Bu Zaenab mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil. Rasyid membuka pintu depan mobilnya.
“Bu Siti Nadira di depan saja sama Bapak. Ayolah... nanti kita basah kuyup, nih... !”, Bu Zaenab terus mendesak Siti Nadira.
Rasyid menyambut Siti Nadira dengan senyum. Ia harus menyembunyikan rasa deg-degannya yang kini makin membuncah. Dari belakang, gerak-gerik Bu Mina dan Bu Zaenab agak berisik melihat Rasyid dan Nadira di depan. Rasyid mulai menjalankan mobilnya. Untuk pertama kalinya, ia ‘demam hati’ duduk tepat di samping Siti Nadira yang dulu dikaguminya. Siti Nadira juga merasa tak karuan, ia hanya melihat-lihat terus ke luar jendela mobil tanpa menolehkan wajahnya.
Tak terasa, Rasyid menghentikan mobil tepat di depan rumah Bu Mina. Tak lama, Bu Zaenab juga ikut turun. Dalam hati, Rasyid sepertinya harus berterima kasih dengan mereka, karena telah dapat mempertemukannya dengan Siti Nadira dalam kesempatan yang kebetulan itu. Tinggallah mereka berdua di atas mobil. Tampak Siti Nadira ingin mengatakan sesuatu.
“Saya duduk di belakang saja, Pak !”, pinta Siti Nadira dengan gugup. Rasyid hanya mengangguk.
“Halo... Nadine. Dimana kamu sekarang, Nak ?”, dari belakang, Siti Nadira terlihat gusar sambil menaruh handphone ke telinganya.
“Nadine itu siapa, Bu ?”, Rasyid angkat bicara mencairkan suasana menepis rasa malunya.
“Dia anak saya, Pak. Dia menunggu pulang kuliah sampai hujannya reda. Dia mengkhawatirkan saya, tapi aku lebih khawatir... apalagi kalau naik motor sendiri dengan cuaca seperti ini. Katanya, saya harus berterima kasih pada Rasyid, eh... maksud saya Bapak Rasyid dan Bu Zaenab”, Siti Nadira agak ribet menutupi gugupnya yang tak terkendali.
Rasyid tersipu sambil tersenyum-senyum melihat Siti Nadira yang tetap sama perangainya sejak dulu. Ia tetap anggun dan murah senyum. Dia memang pemalu sama seperti Rasyid, tapi dia langsung ramah ketika diajak bicara. Dalam hati Rasyid, kesempatan itu tidak boleh terlewatkan, ia harus mengatakan sesuatu pada Siti Nadira seperti melanjutkan kisah lalu...
“Apa Bu Nadira keberatan kalau saya melamarmu, nanti... ?”, Rasyid mulai mengumbar perasaannya, namun Siti Nadira tampak tak berkutik.
“Mohon maaf, jika ini menyakitimu... Aku memang salah menggunakan kesempatan ini. Tapi, apakah salah jika saya mencintaimu kali ini ketika kau sudah tak termiliki. Dan apakah salah jika saya mencintaimu tanpa memilikimu sejak dulu. Terus terang ini di luar rencanaku. Ini semua karena Bu Zaenab dan Bu Mina yang meminta kamu ikut ke mobilku. Apalagi ketika Bu Mina menceritakan tentang hidupmu kepadaku, aku menjadi semakin terdesak... Sekali lagi saya minta maaf dengan kata-kataku tadi. Itu adalah bagian dari perasaan cintaku padamu yang selama ini terpendam. Dan... kumohon, terimalah aku kali ini”, Rasyid menghentikan mobilnya karena tidak bisa mengendalikan kemudi perasaannya. Siti Nadira hanya menundukkan matanya. Ia masih belum angkat bicara. Suasana menjadi hening.
“Kalau begitu, dimana rumah Ibu ?”, Rasyid mengalihkan pertanyaannya, seakan-akan kata-katanya tadi hilang begitu saja. Ia merasa, Siti Nadira sudah tiada harapan lagi untuk dicintai olehnya.
“Sebentar lagi ada kios di pinggir jalan sana, turunkan saja saya disitu”, tegas Siti Nadira.
“Tidak, saya akan mengantarmu pulang tepat di depan rumahmu. Saya harus tanggung jawab untuk mengantarmu seperti Bu Zaenab dan Bu Mina”, pinta Rasyid.
“Tapi, Pak. Tolong dengarkan saya...”, Siti Nadira mengelak.
“Sudahlah... kamu jangan terlalu terbawa perkataanku tadi. Yang penting aku sudah jujur mengungkapkan semua perasaanku tadi. Nadira, kamu harus tahu bahwa semenjak aku mengenalmu, hidupku telah banyak berubah. Begitu banyak wanita yang kukenal dan begitu banyak wanita yang mencoba mencintaiku tapi hanya kamulah yang bisa membuatku jatuh cinta selama hidupku. Kau yang telah mengajarkan perasaan cinta pertama kepadaku. Meski tak harus memiliki, kau tetap jadi yang pertama bagiku. Saat aku dijodohkan dalam tali pernikahan, kau telah terhapus sejenak dari hidupku. Entah mengapa, takdir telah memisahkan kita dan takdir pula yang mempertemukan kita kembali dalam keadaan saling sendiri. Saat aku bertemu denganmu kembali di saat ini, aku mencoba menahan perasaanku. Gelora jiwaku bangkit kembali tepat di saat aku tahu kau sudah hidup menjanda. Mohon jujurlah padaku, Nadira. Apakah aku tak pantas mencintaimu, atau... aku salah pernah mencintaimu ?”, Rasyid terbakar perasaannya.
“Hentikan saja mobilnya disini, Pak. Aku turun saja disini”, Siti Nadira menjadi garang.
Rasyid menghentikan mobilnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menghentikan Siti Nadira. Siti Nadira berlari keluar mobil menembus derasnya hujan. Perasaannya seperti berkecamuk, hingga membuatnya menjadi tampak marah. Rasyid hanya mampu pasrah seraya menaruh kepalanya ke setir mobil dihadapannya.
* * *
Hujan telah lama reda. Kejadian tadi siang membuat Rasyid terus merasa bersalah dalam sesal. Ia terus kepikiran, tak tahu harus berbuat apa.
“Mengapa aku harus mengatakannya ? Tapi salahkah bila aku berterus terang... Maafkan aku Yaa Allah..., aku sudah terlalu tergesa-gesa memaksa Nadira. Mohon petunjuk  Mu Yaa Rabb, hambamu ini telah terusik cinta. Jika Ia memang bukan jodohku, mengapa aku terus memaksakan diri untuk memilikinya. Bantu aku Yaa Rabb untuk tidak melanggar batasan Mu...,” harap Rasyid dalam hati kecilnya.
Tiba-tiba HP nya berdering, rupanya Bu Mina menelepon. Rasyid malas untuk mengangkatnya. Perasaannya masih terganggu oleh kejadian tadi. Hingga sms masuk ke inboxnya bertuliskan, “Pak, mohon maaf sebelumnya mengganggu. Kata Bu Siti Nadira, coba cek mobilnya, sepertinya HP nya ketinggalan. Kalau sudah ketemu, telpon ke nomor ini, terima kasih”. Melihat itu, Rasyid langsung memeriksa mobilnya di garasi. Rupanya HP Siti Nadira benar-benar ketinggalan, mungkin karena kejadian tadi yang merusak semuanya. Karena terus dikejar rasa bersalah, Rasyid menelepon nomor Nadine yang tertera di sms Bu Mina tadi.
“Halooo... Assalamu’alaikum... dengan Nadine, ya ?”
“Wa’alaikum salam. Ini siapa ?”, suara Nadine terdengar senada dengan ibunya.
“Saya bapak kepala sekolah dari tempat kerja Bu Siti Nadira. Bilang HP nya sudah ketemu di mobil !”
“Baiklah, terima kasih !”
Rasyid lega. Ia kembali masuk ke kamarnya untuk tidur, karena malam juga sudah larut. Tiba-tiba HP nya berdering kembali.
“Halo, ada ada apa, Nadine ?”. Sejenak tak ada suara, Rasyid kembali mengulangi bicara. “Haloo, dengan...”. Sebuah suara sudah mulai terdengar. “Saya, Bu Nadira, Pak !”.
Suasana sejenak hening. Sepertinya, Siti Nadira mulai berani bicara. Entah ada perasaan bersalah di antara keduanya, atau karena terbawa sebuah perasaan cinta.
“Saya mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Seharusnya saya tidak menanggapi terlalu serius pernyataan Bapak. Aku baru sadar, harusnya aku menghormati Bapak. Terus terang... aku tidak pantas untuk dicintai lagi, karena saya pernah membuatmu sakit hati lantaran aku tidak langsung menyatakan tentang diriku yang sebenarnya. Waktu itu, aku merasa takut untuk menyakitimu, kau terlalu baik untukku, hingga... kamu tahu dari teman-teman bahwa aku sudah punya suami. Tapi, pada saat pertama kali kau dan aku saling mengenal, di saat itu pula ada perasaan yang lain, entah itu cinta atau... sekedar perasaan biasa. Namun keadaannya lain, aku sudah termiliki lebih dulu...”, Siti Nadira mengungkapkan perasaannya dengan terang penuh hati-hati.
“Justru akulah yang bersalah, Nadira. Aku juga minta maaf. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaan...”, Rasyid memotong pembicaraan Siti Nadira meski ia mendengarkan secara detail kisah masa lalu mereka berdua. Dalam hati Rasyid, sepertinya masih ada sinyal baru untuknya.
“Tidak, aku yang harusnya minta maaf. Aku sebenarnya ingin menerima tawaran Bapak, tapi keadaannya sudah berbeda. Aku seorang janda yang punya bebang seorang anak dan ibu yang sering sakit-sakitan. Sedangkan Bapak seorang kepala sekolah yang terpandang, yang seharusnya mencari wanita yang lebih baik dari saya...”, Siti Nadira terdengar sesak dan merendah diri.
“Nadira... dengarkan aku. Aku tak peduli dengan kata-katamu itu. Itu hanya sebuah alasan yang tak penting untuk direndahkan. Sebuah perasaan cinta sejati tak akan pernah terhalangi oleh alasan apapun, justru itu adalah sebuah ruang bagiku untuk terus tak berhenti mencintaimu sampai detik ini. Kalau bukan karena cinta, aku tak akan pernah mengusikmu secepat ini. Sudah terlalu lama aku ingin mencintaimu seutuhnya tanpa melupakan seseorang yang pernah juga menjadi bagian dari hidupku. Jika itu memang keinginanmu, mengapa kita harus dipertemukan kembali seperti ini ? Apakah kau akan terus membuatku sakit hati atau aku yang akan terus membuatmu tak bisa menghindari perasaanku. Mohon berikan aku kesempatan kedua untuk bisa memilikimu, Nadira....”, Rasyid terus berulah perasaan. Siti Nadira terisak, tak bisa berkata apa-apa.
“Nadira... aku akan tetap mencintaimu sampai tiada yang bisa mencintaimu”, Rasyid membisikkan kata terakhirnya malam itu.
* * *
Kejadian itu membuat hati Siti Nadira luluh juga. Rasyid langsung meminang Siti Nadira dengan perantaraan keikhlasan Siti Hawa, ibunda dari Siti Nadira. Kesempatan kedua membuat sebuah reuni asmara yang sudah lama terlewatkan. Keduanya memang saling mencintai, meski sela waktu tak cukup memisahkan mereka dari amnesia cinta di antara kisah lalu. Kini, Rasyid mencium kening Siti Nadira untuk pertama kalinya di hadapan restu pernikahan sejati. Mereka terbawa dalam buaian melanjutkan kisah cinta yang sempat terputus oleh takdir.
“Aku harap, ini adalah pernikahan terakhirku. Jodoh tetap di tangan Tuhan, dan kuingin takdirku berpihak pada Siti Nadira. Memilikinya bukan berarti melupakan Fathimah, istri pertamaku. Keduanya sudah menjadi milikku seutuhnya ketika Siti Nadira memeluk erat-erat ketiga anakku. Mereka tetap menjadi bidadari-bidadari surga bagiku, meski dalam dunia berbeda. Dan... mendiang suami Siti Nadira ikut menjadi bagian terindah ketika Nadine masuk ke dalam pelukan hidupku. Selebihnya, kuserahkan semua kembali pada-Nya...”, harap Rasyid dalam hati.

=*=*=*=*=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar