Second Chance In Love
(Reuni Asmara yang Terlewatkan)
Oleh : Rusman Raymanda
Rasyid tak pernah menyangka kalau ia akan bertemu kembali
dengan Siti Nadira. Siti Nadira yang dulu dikaguminya, kini sudah tampak tepat
di depan matanya. Saat dirinya dipindah tugaskan dari sekolah yang dulu, Rasyid
yang sudah lama menjadi kepala sekolah merasa terusik dengan kehadiran Siti
Nadira yang kebetulan mengajar sebagai guru agama honorer di sekolah yang baru
ditempatinya itu. Perasaannya yang sempat tak memiliki gara-gara keliru
mencintai Siti Nadira yang sudah bersuami, Ia seakan ingin melanjutkan kembali
asmara yang sudah lama terlewatkan.
Waktu telah menghapus sejenak kisah cintanya dengan Siti
Nadira saat hatinya telah termiliki oleh istri sholehah secantik Fathimah. Namun
takdir datang merenggut kebahagiaan mereka di tengah hadirnya anak ke tiga.
Tujuh tahun sudah kepergian sang istri, rupanya tak membuat Rasyid mencoba
mencari pengganti, meskipun sang mertua memberikan kelonggaran padanya.
Pertimbangan mereka cukup beralasan, mengingat anak-anaknya yang masih butuh
kasih sayang seorang ibu.
Pertemuan dirinya kembali dengan Siti Nadira, membuat
gelora jiwanya bangkit kembali. Perasaan malu dan takut masih saja
membuntutinya di antara hasrat terpendamnya. Rasa deg-degan selalu menjadi
bawaan rasa ketika berhadapan langsung dengannya. Siti Nadira kini hadir dengan
kesan barunya, ia menjadi janda cantik yang dulu dipujanya walau dalam hati.
Rasyid takut mengulang kesalahan yang sama hingga ia selalu saja membuang muka
setiap kali berhadapan langsung dengannya. Mereka tak akan bisa mengelak
sekalipun, karena keduanya harus terjebak dalam satu lokasi dan pofesi. Hingga
suatu saat, takdirpun berbicara.
“Pak, tolong Bu Siti Nadira disana. Kasihan... dia
mungkin menunggu jemputan dari anaknya. Apalagi hujan sangat lebat begini,
pasti akan sulit sekali mereka bisa langsung pulang”, Bu Mina berbicara di
belakang Rasyid.
Dari luar, hujan sangat deras membasahi kaca jendela
mobil. Tampak Siti Nadira duduk terdiam di halte depan sekolah. Dalam hati
Rasyid terbisik rasa kasihan, namun perasaannya masih diliputi takut. Mungkin
kali ini, ia tak akan bisa menghindarinya.
“Bagaimana, Pak ? Biar saya yang jemput dia pake payung”,
Bu Zaenab ikut mendesak.
“Baiklah... !”, Rasyid menyerah pasrah seraya menghela
napas panjang.
Rasyid menghentikan mobilnya, Bu Zaenab keluar menjemput
Siti Nadira. Sementara Bu Mina melanjutkan ceritanya.
“Apakah Bapak tahu sebenarnya keadaan Bu Siti Nadira...
semua guru-guru kasihan padanya. Dia telah kehilangan suaminya saat anaknya
masih berusia 3 bulan. Bu Siti Nadira terpaksa harus berjuang menjadi single
parent bagi anak satu-satunya itu, dan ia juga harus rela merawat ibunya
yang sering sakit-sakitan. Seandainya saja ia sudah lulus PNS, pasti tidak akan
serumit begitu hidupnya...”, terang Bu Mina.
Rasyid ikut terbawa dalam cerita Bu Mina. Ia terkejut
dengan keadaan Siti Nadira di luar dugaannya, hatinya ikut teriris seperti
diremuk jantung. Dari luar, Bu Zaenab mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil. Rasyid
membuka pintu depan mobilnya.
“Bu Siti Nadira di depan saja sama Bapak. Ayolah... nanti
kita basah kuyup, nih... !”, Bu Zaenab terus mendesak Siti Nadira.
Rasyid menyambut Siti Nadira dengan senyum. Ia harus
menyembunyikan rasa deg-degannya yang kini makin membuncah. Dari belakang,
gerak-gerik Bu Mina dan Bu Zaenab agak berisik melihat Rasyid dan Nadira di
depan. Rasyid mulai menjalankan mobilnya. Untuk pertama kalinya, ia ‘demam
hati’ duduk tepat di samping Siti Nadira yang dulu dikaguminya. Siti Nadira
juga merasa tak karuan, ia hanya melihat-lihat terus ke luar jendela mobil
tanpa menolehkan wajahnya.
Tak terasa, Rasyid menghentikan mobil tepat di depan rumah
Bu Mina. Tak lama, Bu Zaenab juga ikut turun. Dalam hati, Rasyid sepertinya
harus berterima kasih dengan mereka, karena telah dapat mempertemukannya dengan
Siti Nadira dalam kesempatan yang kebetulan itu. Tinggallah mereka berdua di
atas mobil. Tampak Siti Nadira ingin mengatakan sesuatu.
“Saya duduk di belakang saja, Pak !”, pinta Siti Nadira
dengan gugup. Rasyid hanya mengangguk.
“Halo... Nadine. Dimana kamu sekarang, Nak ?”, dari
belakang, Siti Nadira terlihat gusar sambil menaruh handphone ke telinganya.
“Nadine itu siapa, Bu ?”, Rasyid angkat bicara mencairkan
suasana menepis rasa malunya.
“Dia anak saya, Pak. Dia menunggu pulang kuliah sampai
hujannya reda. Dia mengkhawatirkan saya, tapi aku lebih khawatir... apalagi
kalau naik motor sendiri dengan cuaca seperti ini. Katanya, saya harus
berterima kasih pada Rasyid, eh... maksud saya Bapak Rasyid dan Bu Zaenab”,
Siti Nadira agak ribet menutupi gugupnya yang tak terkendali.
Rasyid tersipu sambil tersenyum-senyum melihat Siti
Nadira yang tetap sama perangainya sejak dulu. Ia tetap anggun dan murah
senyum. Dia memang pemalu sama seperti Rasyid, tapi dia langsung ramah ketika
diajak bicara. Dalam hati Rasyid, kesempatan itu tidak boleh terlewatkan, ia
harus mengatakan sesuatu pada Siti Nadira seperti melanjutkan kisah lalu...
“Apa Bu Nadira keberatan kalau saya melamarmu, nanti...
?”, Rasyid mulai mengumbar perasaannya, namun Siti Nadira tampak tak berkutik.
“Mohon maaf, jika ini menyakitimu... Aku memang salah
menggunakan kesempatan ini. Tapi, apakah salah jika saya mencintaimu kali ini
ketika kau sudah tak termiliki. Dan apakah salah jika saya mencintaimu tanpa
memilikimu sejak dulu. Terus terang ini di luar rencanaku. Ini semua karena Bu
Zaenab dan Bu Mina yang meminta kamu ikut ke mobilku. Apalagi ketika Bu Mina
menceritakan tentang hidupmu kepadaku, aku menjadi semakin terdesak... Sekali
lagi saya minta maaf dengan kata-kataku tadi. Itu adalah bagian dari perasaan
cintaku padamu yang selama ini terpendam. Dan... kumohon, terimalah aku kali
ini”, Rasyid menghentikan mobilnya karena tidak bisa mengendalikan kemudi
perasaannya. Siti Nadira hanya menundukkan matanya. Ia masih belum angkat
bicara. Suasana menjadi hening.
“Kalau begitu, dimana rumah Ibu ?”, Rasyid mengalihkan
pertanyaannya, seakan-akan kata-katanya tadi hilang begitu saja. Ia merasa,
Siti Nadira sudah tiada harapan lagi untuk dicintai olehnya.
“Sebentar lagi ada kios di pinggir jalan sana, turunkan
saja saya disitu”, tegas Siti Nadira.
“Tidak, saya akan mengantarmu pulang tepat di depan rumahmu.
Saya harus tanggung jawab untuk mengantarmu seperti Bu Zaenab dan Bu Mina”,
pinta Rasyid.
“Tapi, Pak. Tolong dengarkan saya...”, Siti Nadira
mengelak.
“Sudahlah... kamu jangan terlalu terbawa perkataanku
tadi. Yang penting aku sudah jujur mengungkapkan semua perasaanku tadi. Nadira,
kamu harus tahu bahwa semenjak aku mengenalmu, hidupku telah banyak berubah.
Begitu banyak wanita yang kukenal dan begitu banyak wanita yang mencoba
mencintaiku tapi hanya kamulah yang bisa membuatku jatuh cinta selama hidupku.
Kau yang telah mengajarkan perasaan cinta pertama kepadaku. Meski tak harus
memiliki, kau tetap jadi yang pertama bagiku. Saat aku dijodohkan dalam tali
pernikahan, kau telah terhapus sejenak dari hidupku. Entah mengapa, takdir
telah memisahkan kita dan takdir pula yang mempertemukan kita kembali dalam
keadaan saling sendiri. Saat aku bertemu denganmu kembali di saat ini, aku
mencoba menahan perasaanku. Gelora jiwaku bangkit kembali tepat di saat aku
tahu kau sudah hidup menjanda. Mohon jujurlah padaku, Nadira. Apakah aku tak
pantas mencintaimu, atau... aku salah pernah mencintaimu ?”, Rasyid terbakar
perasaannya.
“Hentikan saja mobilnya disini, Pak. Aku turun saja disini”,
Siti Nadira menjadi garang.
Rasyid menghentikan mobilnya, ia tidak bisa berbuat
apa-apa lagi untuk menghentikan Siti Nadira. Siti Nadira berlari keluar mobil
menembus derasnya hujan. Perasaannya seperti berkecamuk, hingga membuatnya
menjadi tampak marah. Rasyid hanya mampu pasrah seraya menaruh kepalanya ke
setir mobil dihadapannya.
* * *
Hujan telah lama reda. Kejadian tadi siang membuat Rasyid
terus merasa bersalah dalam sesal. Ia terus kepikiran, tak tahu harus berbuat
apa.
“Mengapa aku harus mengatakannya ? Tapi salahkah bila aku
berterus terang... Maafkan aku Yaa Allah..., aku sudah terlalu tergesa-gesa
memaksa Nadira. Mohon petunjuk Mu Yaa
Rabb, hambamu ini telah terusik cinta. Jika Ia memang bukan jodohku, mengapa
aku terus memaksakan diri untuk memilikinya. Bantu aku Yaa Rabb untuk tidak
melanggar batasan Mu...,” harap Rasyid dalam hati kecilnya.
Tiba-tiba HP nya berdering, rupanya Bu Mina menelepon.
Rasyid malas untuk mengangkatnya. Perasaannya masih terganggu oleh kejadian
tadi. Hingga sms masuk ke inboxnya bertuliskan, “Pak, mohon maaf sebelumnya
mengganggu. Kata Bu Siti Nadira, coba cek mobilnya, sepertinya HP nya
ketinggalan. Kalau sudah ketemu, telpon ke nomor ini, terima kasih”.
Melihat itu, Rasyid langsung memeriksa mobilnya di garasi. Rupanya HP Siti
Nadira benar-benar ketinggalan, mungkin karena kejadian tadi yang merusak
semuanya. Karena terus dikejar rasa bersalah, Rasyid menelepon nomor Nadine
yang tertera di sms Bu Mina tadi.
“Halooo... Assalamu’alaikum... dengan Nadine, ya ?”
“Wa’alaikum salam. Ini siapa ?”, suara Nadine terdengar
senada dengan ibunya.
“Saya bapak kepala sekolah dari tempat kerja Bu Siti
Nadira. Bilang HP nya sudah ketemu di mobil !”
“Baiklah, terima kasih !”
Rasyid lega. Ia kembali masuk ke kamarnya untuk tidur,
karena malam juga sudah larut. Tiba-tiba HP nya berdering kembali.
“Halo, ada ada apa, Nadine ?”. Sejenak tak ada suara,
Rasyid kembali mengulangi bicara. “Haloo, dengan...”. Sebuah suara sudah mulai
terdengar. “Saya, Bu Nadira, Pak !”.
Suasana sejenak hening. Sepertinya, Siti Nadira mulai
berani bicara. Entah ada perasaan bersalah di antara keduanya, atau karena
terbawa sebuah perasaan cinta.
“Saya mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Seharusnya saya
tidak menanggapi terlalu serius pernyataan Bapak. Aku baru sadar, harusnya aku
menghormati Bapak. Terus terang... aku tidak pantas untuk dicintai lagi, karena
saya pernah membuatmu sakit hati lantaran aku tidak langsung menyatakan tentang
diriku yang sebenarnya. Waktu itu, aku merasa takut untuk menyakitimu, kau
terlalu baik untukku, hingga... kamu tahu dari teman-teman bahwa aku sudah punya
suami. Tapi, pada saat pertama kali kau dan aku saling mengenal, di saat itu
pula ada perasaan yang lain, entah itu cinta atau... sekedar perasaan biasa.
Namun keadaannya lain, aku sudah termiliki lebih dulu...”, Siti Nadira
mengungkapkan perasaannya dengan terang penuh hati-hati.
“Justru akulah yang bersalah, Nadira. Aku juga minta maaf.
Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaan...”, Rasyid memotong
pembicaraan Siti Nadira meski ia mendengarkan secara detail kisah masa lalu
mereka berdua. Dalam hati Rasyid, sepertinya masih ada sinyal baru untuknya.
“Tidak, aku yang harusnya minta maaf. Aku sebenarnya
ingin menerima tawaran Bapak, tapi keadaannya sudah berbeda. Aku seorang janda
yang punya bebang seorang anak dan ibu yang sering sakit-sakitan. Sedangkan
Bapak seorang kepala sekolah yang terpandang, yang seharusnya mencari wanita
yang lebih baik dari saya...”, Siti Nadira terdengar sesak dan merendah diri.
“Nadira... dengarkan aku. Aku tak peduli dengan
kata-katamu itu. Itu hanya sebuah alasan yang tak penting untuk direndahkan.
Sebuah perasaan cinta sejati tak akan pernah terhalangi oleh alasan apapun,
justru itu adalah sebuah ruang bagiku untuk terus tak berhenti mencintaimu
sampai detik ini. Kalau bukan karena cinta, aku tak akan pernah mengusikmu
secepat ini. Sudah terlalu lama aku ingin mencintaimu seutuhnya tanpa melupakan
seseorang yang pernah juga menjadi bagian dari hidupku. Jika itu memang
keinginanmu, mengapa kita harus dipertemukan kembali seperti ini ? Apakah kau
akan terus membuatku sakit hati atau aku yang akan terus membuatmu tak bisa
menghindari perasaanku. Mohon berikan aku kesempatan kedua untuk bisa
memilikimu, Nadira....”, Rasyid terus berulah perasaan. Siti Nadira terisak,
tak bisa berkata apa-apa.
“Nadira... aku akan tetap mencintaimu sampai tiada yang
bisa mencintaimu”, Rasyid membisikkan kata terakhirnya malam itu.
* * *
Kejadian itu membuat hati Siti Nadira luluh juga. Rasyid
langsung meminang Siti Nadira dengan perantaraan keikhlasan Siti Hawa, ibunda
dari Siti Nadira. Kesempatan kedua membuat sebuah reuni asmara yang sudah lama
terlewatkan. Keduanya memang saling mencintai, meski sela waktu tak cukup
memisahkan mereka dari amnesia cinta di antara kisah lalu. Kini, Rasyid mencium
kening Siti Nadira untuk pertama kalinya di hadapan restu pernikahan sejati.
Mereka terbawa dalam buaian melanjutkan kisah cinta yang sempat terputus oleh
takdir.
“Aku harap, ini adalah pernikahan terakhirku. Jodoh tetap
di tangan Tuhan, dan kuingin takdirku berpihak pada Siti Nadira. Memilikinya bukan
berarti melupakan Fathimah, istri pertamaku. Keduanya sudah menjadi milikku
seutuhnya ketika Siti Nadira memeluk erat-erat ketiga anakku. Mereka tetap
menjadi bidadari-bidadari surga bagiku, meski dalam dunia berbeda. Dan...
mendiang suami Siti Nadira ikut menjadi bagian terindah ketika Nadine masuk ke
dalam pelukan hidupku. Selebihnya, kuserahkan semua kembali pada-Nya...”, harap
Rasyid dalam hati.
=*=*=*=*=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar