Minggu, 17 September 2017

Kumpulan Cerpen Penuh Hikmah: Aku Butuh Tempat Berlindung



AKU BUTUH TEMPAT BERLINDUNG
Oleh : Rusman Raymanda

Hidup di tengah kota memang begitu indah dan nyaman. Segala kebutuhan bisa terpenuhi tanpa harus berpikir panjang, selama ada uang. Hiruk-pikuk kota dipenuhi dengan lampu-lampu ajaib yang menyinari segala kerinduan obsesi. Namun dari hati kecilku yang dalam, berisik membisikkan sesak yang mengganggu. Kota Jakarta dengan seluruh kemegahannya, membuat orang terpesona. Begitupun dengan aku yang telah melampiaskan obsesi hidupku sebagai seorang penulis disini. Aku tertarik oleh magnet gravitasi kota dan meninggalkan segala kenang-kenangan sejuk di desa.
Bumi semakin panas... !!!
Telingaku seakan tuli mendengar keluhan-keluhan alam kota yang kian terpuruk. Naluri seorang anak kampung turut terkena erosi teknologi. Siang-malam suara-suara mesin terus bergelora menabuh genderang keributan. Mereka terus meluncurkan peluru-peluru asap yang menyerang atmosfer bumi. Pemandangan lain terus-menerus bermunculan, sampah-sampah plastik terus melambung tinggi, seiring dengan bertaburan buih-buih kimia yang terus menggerogoti isi perut bumi dan manusia. Sungguh menyeramkan bila terus membayangkannya ...
 Pagi ini, sengaja aku bangun pagi-pagi untuk mengucapkan selamat tinggal kepada buih-buih kota yang terus mengusik ketenanganku. Energi natural di jiwaku terus terkuras habis karena tidak tahan dengan lingkungan seperti ini. Inginku berteriak mengalahkan kumandang adzan yang selalu setia menyapa kelelapan para penghuni kota di shubuh hari.
Dalam kesendirianku memandangi pemandangan pagi di depan hotel, aku dikejutkan oleh Sapri, teman seperjuanganku selama mengadu nasib di kota. Ia juga seorang pekerja seni di salah satu tv swasta.
“He... Anton, jam berapa kamu akan berangkat ?” usik Sapri.
“Secepatnya...!”
“Lalu, kapan kamu akan kembali kesini ? Apakah sudah tidak ada tawaran lagi dari penerbit ?”
“Sebenarnya saya sudah mengantongi beberapa tawaran, tapi saya harus fokus dengan satu keinginan... mencari suasana yang lebih mendukung agar dapat menyelesaikan semua naskah ini dengan lancar” jelasku padanya.
Jam dinding terus berdetak. Setelah kutenangkan jiwa sejenak dengan berkah shubuh, aku mulai bergegas untuk berangkat. Aku tak ingin terhipnotis lebih jauh dengan keadaan seperti ini. Kerinduanku dengan aroma desa makin dekat terasa. Pagi yang sejuk ini, sedikit melegakan kota. Titik-titik polusi masih tertidur lemas di ujung pagi. Sebentar lagi, dering kehidupan akan mulai bergetar deras menyemburkan larva-larva surga yang terbungkus modernisasi.
Bismillahirrahmanirrahiim ...”
Kumulai menghidupkan motor. Aku berbalik badan ke belakang mencari muka Sapri, artis beken yang terkenal lewat Youtube itu. Saat itu, aku masih sempat memandangi depan hotel yang cukup megah ini. Hotel ini lumayan besar dan menampung banyak keluhan-keluhan tanah yang seharusnya menjadi tempat tadah air bila musim penghujan tiba. Dulunya hotel ini adalah hutan yang subur. Aku turut sedih ketika mendengar sejarah pembangunan hotel ini. Begitu kejamnya bisnis kota dengan menghalalkan segala cara, menutup habis pundi-pundi oksigen bumi yang terbatas. Yah, itulah dunia ...
Kulihat Sapri melambaikan tangan padaku. Dari pandangan matanya, kuratapi sebuah kesedihan yang membunuh perasaanku. Dia satu-satunya orang yang selalu setia menjadi teman seperjuanganku. Mungkin karena kita sama-sama pejuang dari desa untuk mencari keberkahan hidup. Entahlah, dia selalu saja menjadi penghibur yang dapat dibanggakan. Kami berdua juga pernah menjadi relawan penyelamat lingkungan bersama para aktivis dan mahasiswa dalam mengibarkan “anti pemanasan global”. Ia terpaksa mengikuti ikatan kontrak sistem striping televisi yang begitu melelahkan, sehingga tidak bisa dengan mudah pulang kampung ke desanya. Kasihan Sapri ...
Motorku mulai kujalankan membelah pagi menyusuri sisa-sisa oksigen yang masih sejuk sebelum mentari kota menyengat. Dalam perjalananku, kubaca jejak-jejak kota yang makin hari makin tak bisa mengendalikan berbagai macam permasalahan lingkungan. Sungguh ironis, keindahan kota seakan disulap setengah hati menjadi serba nyaman. Namun tetap saja ada kebocoran polusi yang terkuak dan mengganggu ketenangan. Cuaca tak bisa lagi dikendalikan sepenuhnya oleh alam, karena terlalu banyak serbuan-serbuan modernisasi yang menghembuskan surga-surga instan.
Astaghfirullah ...”
Siapa yang akan peduli dengan lingkungan jika kemewahan kota terus memberi kenyamanan ? Orang-orang hanya sibuk dengan politik, bisnis, sosialita dan media entertainment dalam ruang tertutup. Mereka seperti “kodok dalam tempurung” yang kurang tahu kondisi luarnya. Mereka juga seperti kelelawar yang tidur di siang hari, tak merasakan apa-apa yang terjadi terhadap lingkungannya. Mereka tak pernah menyadari akan sunnatullah Ilahi. Bencana alam yang sudah tak pernah absen menya pa bumi ini merupakan indikator penting yang terlalu dilalaikan. Mereka semua terlalu asyik dengan dunia yang sebentar lagi akan hancur bersamaan dengan nafsu serakah mereka. Termasuk saya sendiri yang sering lupa akan keadaan alam ini. Usahaku untuk mengajak orang-orang mencintai lingkungan memang butuh kesabaran ekstra. Setiap orang punya pikiran beda-beda, sangat sulit untuk menyatukannya dalam suatu titik penyelesaian. Saya hanya berusaha sekecil mungkin untuk tetap toleransi terhadap alam dan mencoba melakukan pengobatan terhadap gejala-gejala penyakit alam, sedikit demi sedikit bersama teman-teman aktivis lingkungan.
“Aaahhhh ...”
Keadaan mulai sesak. Matahari begitu menyengat kulit. Bila malam tiba, cuaca sangat dingin menusuk badan. Jika tak ada usaha manusia untuk menyelamatkan atmosfer, sisi negatif matahari akan membakar seisi bumi. Bayangkan saja, sumber air yang ada akan mengering, tanaman sebagai sumber makanan tak akan bisa tumbuh subur. Rasa lapar, haus dan panas akan menjadi suatu tema yang asing bagi bumi ini. Penggunaan gas-gas liar penghancur lapisan ozon pada produk-produk kebutuhan manusia harus dibatasi, kalau bisa dihilangkan dan beralih ke produk yang ramah lingkungan. Memang begitu sulit untuk menghilangkan sesuatu hal yang menjadi kebiasaan, tapi paling tidak kita harus mengerti alam. Sudah saatnya massa digerakkan untuk peduli. Masa depan terancam kiamat bencana alam, dunia akan kiamat dengan sendirinya ...
Aku bertengger sejenak melepas penat dari polusi kota di bawah pohon rimbun pinggir jalan. Aku sudah menjauh bergeser dari pusat kota. Aku menghibur diri memandangi hamparan desa di seberang sana. Pemandangan seperti inilah yang selalu memanjakan mataku sejak kecil. Di seberang sanalah, tempat kelahiranku berada. Sebentar lagi, aku akan segera tiba. Rindu ini adalah jalanku untuk mencari tempat berlindung.
Seperti biasa, tempat ini selalu menjadi tempat peristirahatan yang hangat dan sejuk bagi setiap orang yang pulang dari kota menuju desa. Dari sini, pemandangan kontras begitu nyata di antara gedung-gedung tinggi bertingkat dengan hamparan perbukitan hijau nan subur. Pohon besar ini masih tetap ada dan senantiasa menghangatkan suasana gerah yang melelahkan bagi setiap orang yang singgah di bawahnya.
Tiba-tiba di belakangku terdengar suara mobil.
Pit ... pit ... pitttt ....
“Assalamu’alaikum... sobat !” rupanya si Hakim yang datang menghampiriku.
 “Wa’alaikum salam. Wah, bisnisnya makin sukses saja yah !” Aku melepaskan mata dari buku yang kubaca. 
“Beginilah pekerjaan saya. Kerajinan dari berbagai kemasan plastik bekas ini cukup digemari orang-orang kota. Sampah-sampah plastik yang ada di desa kita, didaur ulang oleh ibu-ibu majelis taklim. Pupuk organik itu juga hasil kreatifitas mereka yang diolah dari sampah organik pula. Sampah-sampah di desa kita jadi berkurang. Ini semua berkat program “bangun sampah” yang dikumandangkan oleh ayahmu sejak menjadi lurah. Desa kita dikenal banyak orang sebagai desa percontohan !” Hakim dengan lincahnya menjelaskan semua kepadaku. Ia mendekatiku.
“Berarti pendapatan usahanya lumayan juga nantinya ...” pikirku padanya.
“Kita sudah punya langganan sendiri di kota. Kalau berbicara masalah pendapatannya, cukup untuk diinvestasikan saja bagi pembangunan IRT “bangun sampah” ke depan, terutama untuk pembelian mesin-mesin dan sarana penunjang. Jika semuanya sudah lengkap, insya Allah industri ini akan mensejahterakan masyarakat desa kita nantinya ... !”
“Aamiin ... !” saya menyentuh pundak Hakim yang dari tadi memandangi buku yang kubaca. “Sepertinya ada yang aneh dipikirannya, atau ... “ pikirku dalam hati.
“Bisa ikut menumpang di mobilnya, Saudara ? Cerita kita belum selesai tadi. Jadi, bagaimana kalau kita lanjutkan semuanya di atas mobilmu saja, sambil menikmati pemandangan menuju surga desa kita tercinta, oke !” saya memberi isyarat jempol.
“Oke, siapa takut ? Seperti biasa, saya tidak akan menolak tawaranmu, Saudara. Tapi, sebelumnya maaf ya ... saya mau buku-buku gratis dari hasil karyamu”.
“Kebiasaan ... Kamu suka memerasku habis-habisan. Buat kamu, apa yang tidak bisa, ha ... ha ... ha ... !”
“Tapi ... kali ini saya menanti buku barunya yang sementara kau tulis”.
“Maksudmu ... ‘bangun sampah’?” Ia mengangguk malu. “Kalau buku ini masih lama terbitnya. Aku ingin buku karyaku yang satu ini harus benar-benar sempurna. Penerbit pun sangat apresiatif terhadap karyaku ini, karena menyangkut masa depan bumi kita tercinta, tempat tinggal manusia”.
“Luar biasa ..., semua orang pasti menunggunya ... “.
“Insya Allah !” Dalam hatiku turut berharap seperti itu.
“Semua karyamu selalu jadi best seller setiap terbit. Buku kumpulan puisi yang berjudul ‘bangun semesta’ jadi bahan omongan orang di luar sana, bahkan jadi trending topic di twitter”.
“Untuk menulis buku itu butuh perjuangan, terutama energi pikiran dan semangat logika. Yang paling penting, karya-karya saya akan selalu menyuarakan tentang alam. Meski aku tidak bisa bertindak langsung, paling tidak ... aku bisa memberi pencerahan kecil bagi kehidupan manusia di masa depan. Rasanya sangat sulit untuk mengembalikan dunia ini menjadi alami. Saya yakin, sebagian orang di luar sana butuh motivasi kesadaran terhadap eksistensi bumu ini”.
“Saya setuju dengan pemikiranmu, sobat. Saya juga merasa takut dan khawatir dengan masa depan bumi ini. Aku membayangkan ... bumi ini akan kiamat sendiri, seperti yang kau imajinasikan dalam puisimu. Penduduk bumi akan semakin bertambah dan masalah-masalah lingkungan akan semakin klimaks. Jika tak ada pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi, sampah-sampah yang ada akan terus menggunung mengotori pemandangan dimana-mana, di laut; di jalan; di sungai serta di perkampungan kumuh, bercampur dengan limbah kimia yang berbahaya bagi ekosistem alam. Hutan sebagai paru-paru bumi, makin berkurang dengan padatnya pemukiman, berkurang dan terus berkurang dengan kebutuhan lahan pembangunan. Hutan tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya yang seharusnya menetralisir segala polusi yang mengancam manusia dan sebagai sumber oksigen murni. Yang ada hutan dijadikan lahan pertanian, pariwisata, bisnis dan perindustrian. Seringkali terjadi kontak liar antara binatang-binatang alam dengan manusia, itu karena salah manusia sendiri yang mengganggu dan merampas habitat asli mereka. Lain lagi, produksi asap kendaraan bermotor yang makin membuat panas udara sekitar kita. Akhirnya ... bila musim hujan, banjir tak terkendali karena sampah yang menghalangi aliran sungai, dan terindikasi akan terjadi krisis air bersih karena sumber air sudah terkotori oleh sampah. Kalau hutan tak segera direboisasi, tak tebang-tanam kembali ..., maka yang ada adalah kemarau panjang yang mengintai bumi, kondisi air tanah terus berkurang dan permukaan tanah menjadi semakin turun. Pemanasan global yang kian tak terkendali perlahan-lahan menghisap seluruh atmosfer bumi kita. Inilah yang lebih saya takutkan, ngeri rasanya bila terus membayangkannya ..., matahari akan terasa lebih panas dari sebelumnya, membakar kulit manusia, membakar seluruh isi perut bumi, es di daerah kutub terus-menerus mencair hingga produksi air laut meninggi dan meninggi menenggelamkan tanah-tanah tempat tinggal manusia. Hingga akhirnya ..., seluruh bumi ini menjadi laut seutuhnya seperti dalam film ‘The Water World’. Saya bisa membayangkan semua orang akan tinggal di atas rakit kehidupan. Manusia akan berevolusi menjadi manusia ikan. Manusia akan saling memburu tanah subur di bawah laut untuk mendapatkan lahan tanaman ... astaghfirullah ... !!!” Mata Hakim sampai begitu jeli mengemudikan mobilnya sambil bercerita dengan penuh imajinasi positifnya.
“Imajinasimu sungguh luar biasa, Kim. Saya sangat tertarik dengan narasimu itu untuk ditambahkan ke dalam buku saya nanti. Terima kasih atas inspirasinya, kawan !”.
Kami menyusuri jalan menuju desa. Dalam perjalanan yang begitu sejuk, aku takjub dengan lahan-lahan hutan yang sangat rimbun. Padahal lahan tersebut, dulunya adalah bekas galian tambang yang meninggalkan lubang cukup besar di permukaan tanah. Galian tambang tersebut terlantar cukup lama, hingga suatu saat ada seorang pengusaha yang bijak menginvestasikan uangnya mengolah lahan itu menjadi hutan baru yang lebih produktif. Sungguh tak terduga, lubang-lubang itu diisi dengan sampah-sampah organik yang didatangkan dari seluruh pusat kota. Meski butuh waktu lama, sampah-sampah itu menjadi pupuk dan hancur lebur menjadi tanah yang subur. Proyek hutan ini berhasil menyelamatkan lahan dari kesia-siaan. Pengusaha itu sekarang menikmati hasilnya, berbagai penghargaan, pujian serta kebanggaan yang luar biasa dari semua orang. Hasil karya hutannya menjadi sumber penghasilan bagi warga desa dan menghasilkan kayu alam berkualitas ekspor yang diburu dunia.
“Heh, ... apa yang kamu pikirkan, Saudara !” Ia mengagetkanku dengan suara kerasnya. “Oh ... pasti lahan hutan milik pak Gandhi, bukan ?” Ia melirik padaku.
“Betul, Kim. Ini benar-benar suatu prestasi terindah dan perdana sepanjang masa. Pak Gandhi, sang penyelamat bumi yang juga menjadi sumber inspirasiku dalam karyaku nanti”.
Hari semakin sore. Dari kejauhan, terlihat pemandangan desaku yang selalu kurindukan. Sesampai disini, sekarang suasana semakin berbeda. Inilah surga tempat berlindungku yang sebenarnya. Disinilah aku dapat ketenangan, kedamaian, kesejukan, kebahagiaan dan kehidupan yang sejati. Dari kicauan burung-burung, kokokan ayam setiap pagi, suara ramai itik-itik di sawah, serta suara-suara kambing dan sapi. Dari desiran angin sejuk pohon-pohon rimbun, pemandangan alam yang menghijau serta hawa yang khas dan nikmat sepanjang hari. Aku telah banyak melewatkan hari-hari indahku disini dan tak mungkin aku akan melewatkannya begitu saja.
Di setiap sudut jalan yang kulalui, terlihat bak-bak sampah yang bertuliskan ‘desa bangun sampah’. Hasil kreatifitas desaku ini berbuntut panjang, menuai hasil keindahan lingkungan yang tetap terjaga. Setiap rumah ditandai dengan pohon-pohon rimbun, dan setiap RW terdapat MCK umum serbaguna sebagai bagian dari program ‘bangun bersih’ desaku. Semua program yang dilakukan dimulai dari kata ‘bangun’ yang berarti semangat, motivasi, inspirasi dan inovasi untuk terus menjaga lingkungan agar tetap asri-lestari. Meskipun ini adalah ide ayahku, tapi semua ini tidak akan pernah terlaksana tanpa dukungan dari para remaja-remaja masjid, ibu-ibu majelis taklim serta bapak-bapak kelompok tani yang ikut berpartisipasi mewujudkan semuanya. Sebuah proyek gotong-royong desa yang apik.
Alhamdulillah ..., akhirnya tiba juga di surga ini kembali !” Hatiku berucap syukur.
“Terima kasih banyak ya ... !” Hakim memukul pundakku.
“He, seharusnya aku yang berterima kasih. Kebiasaan..., kamu itu suka sekali mendahuluiku”.
“Bukan itu maksud saya. Ini saya temukan harta karung di job. Rupanya ada yang kelupaan, atau ini mungkin sudah rejekiku hari ini...” Ia menunjukkan buku puisi ‘bangun semesta’ yang baru kubaca-baca tadi di atas mobilnya.
“Tuh kan, kebiasaan... !!!” Aku hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum-senyum padanya. “Berarti... jatah buku buat kamu sudah habis”.
“Tidak apa-apa, pasti ada jatahnya. Saya yakin itu, oke ? dah... !!!” Ia melambaikan tangan meninggalkanku dengan mobilnya.
“Hakim... Hakim..., dasar kebiasaan... !!!”
Hakim sudah pergi jauh. Sekarang aku harus melepas lelahku. Melepas rindu kepada ayah, kepada ibu dan kepada adik-adikku tercinta. Tiba-tiba, adikku yang paling buntut menghampiriku.
“Horeee... kak Anton datang. Bu... kak Anton datang” Amin berteriak-teriak di halaman rumah.
Melihat suasana rumah yang tak pernah berubah, membuatku makin tak sabar untuk tinggal berlama-lama disini. Memang tak ada yang berubah. Rumahku adalah surgaku. Istilah itu cocok untuk mewakili rumahku yang tetap tampak sederhana ini. Bersih, sejuk, tenteram, sejahtera dan indah.
Setelah menyegarkan tubuh dengan air, dan menyejukkan hati dengan shalat ashar, aku menuju ruang dapur. Disana aku melihat ibu dengan segenap rasa memasak masakan setiap hari untuk keluarga. Biasanya, ibu ditemani adik perempuanku, Hana. Kalau melihat Hana, rasanya ingin selalu mencubit pipinya yang imut itu. Dia selalu menjadi penghibur yang manis di rumah. Ibu menjadi ratu penghangat keluarga yang bijak. Ayah adalah raja penyejuk yang tegas. Amin, adikku yang satu ini adalah malaikat kecil pencerah suasana. Lengkap sudah semua penghuni di rumahku ini. Aku sendiri adalah sang malaikat tampan yang manja. Kalau aku di rumah ini, saya selalu ingin terus bermanja-manja dengan ayah dan ibu. Mungkin inilah yang membuatku selalu rindu dengan keluarga ini. Rasanya sulit menghilangkan jarak hidupku dari jangkauan mereka.
“Hmmm... harum sekali atmosfer dapur sore ini. Apalagi koki yang satu ini nih...” Aku mencubit pipi Hana yang serius mengaduk-aduk sayur.
“Duh... kakak nih, sakit kak...” Ia merengek.
“Ibu masak apa hari ini ?” Aku menghampiri ibu.
“Yang jelas hari ini menunya spesial buat seseorang yang baru datang dari jauh. Ibu masak tempe kesukaan kamu, nak”.
“Jadi tidak sabar makan nih... perutku sudah berputar-putar sejak tadi. Hei... koki yang bernama Hana, masak yang paling enak ya...?” Aku melirik ke Hana, pundaknya tampak seperti menahan senyum.
Aku meninggalkan mereka menuju halaman belakang. Aku menyandarkan tubuh di bawah pohon mangga. Tempat ini merupakan tempat favoritku sejak kecil. Di tempat ini, saya punya banyak kenangan indah yang tak mudah terlupakan. Dari sini pula, saya mendapat banyak inspirasi dan imajinasi alam di hadapanku. Seakan-akan alam yang kuhadapi di desa tak ingin berubah seperti yang kusaksikan di kota. Apa yang kurasakan dengan pemandangan ini merupakan semangatku untuk berkarya bagi kelestarian lingkungan yang alami.
Subhanallah...”
Sungguh lingkungan yang menyejukkan... Dari sini, aku melihat hamparan surga desaku yang sejuk dipandang mata. Betapa indahnya desaku ini... hidup beratap dedaunan rimbun, berlantai rerumputan subur, dan bertiang pepohonan hijau. Dengan berlimpahan buah, sayur, biji, sandang dan pangan menghiasi setiap jengkal lahan di setiap musimnya. Dipadu kemeriahan hewan ternak yang selalu setia menghibur, membantu dan menemani kesendirian petani di sawah, di kebun dan ladang. Anugerah Ilahi yang luar biasa...
Bertafakkur menikmati keindahan alam menghijau dengan latar biru di langit, menambah suasana rasa syukur yang tak terhingga. Allah Swt menciptakan semuanya dengan apik dan sempurna untuk kelangsungan hidup manusia di dunia. Namun terkadang kita tak menyadari itu, bahkan sampai merusak ketersediaan alam yang sangat terbatas. Hingga sang pencipta alam menurunkan ayat-ayat kauniyah-Nya yang sebenarnya sudah tersirat jelas dalam Al-Quran. Itu semua adalah bagian dari sunnatullah yang tak dapat diganggu gugat lagi. Akhirnya, bencana alam datang menagih tanggung jawab manusia dan siap menerima segala konsekuensi yang akan dihadapi. Namun terkadang masih saja ada yang belum mengerti teriakan alam dari-Nya. Seperti telah tertulis berulang-ulang dalam surat Ar-Rahman yang memberi peringatan, ‘maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?’... Harusnya, kita sebagai umat manusia dapat menangkap setiap detail pesan-pesan alam yang sudah tak alami lagi. Sinyal tersebut merupakan hikmah yang sengaja diselipkan Tuhan di antara relung-relung kekhilafan manusia. Tetapi, kebanyakan manusia kurang menyadari dan kurang mensyukuri segala apa yang sudah tersedia dari alam.
Di ujung sana, terlihat bangunan tinggi menjulang yang merupakan bagian dari kota. Sebentar malam, lampu-lampu akan menghiasi pemandangan dari sana. Mengapa pemandangan seperti ini harus berakhir ditempa kota ? Aku takkan pernah memungkiri, jika hal ini akan menimpa desaku pula. Semua akan ada waktunya. Aku hanya meminta kepada keramahan jaman agar menyisakan sedikit alam ini sebagai tempat untuk kami bernaung juga bagi cucu-cucu kami di masa depan. Mudah-mudahan ada satu keajaiban dan terobosan baru yang mampu menggerakkan manusia untuk kembali kepada alam.
Bila melihat kehidupan di kota, sangat sulit untuk merubah kehidupan mereka. Mereka hanya takjub pada kemewahan kimiawi dan takluk pada kemudahan mesin-mesin teknologi. Mereka menjadi malas untuk hidup serba natural. Alami sangat mahal didapatkan. Orang-orang kaya harus merogok kocek lebih dalam untuk mencapainya. Padahal semua akan menjadi murah dan gratis jika kita punya keinginan untuk merubah pola hidup menjadi serba alami yang dimulai dari lingkungan kita sendiri. Hidup sehat secara alami akan menghindarkan kita dari ketergantungan pengaruh negatif produk-produk kimia yang berbahaya bagi tubuh. 
Kota dengan segala kemewahannya menerapkan produk lingkungan baru yang serba instan. Penyelamatan lingkungan dengan setengah hati takkan bisa sepenuhnya membasmi polusi kota. Contohnya, sistem penanaman hidroponik. Cara ini begitu praktis memanjakan orang-orang kota. Meskipun tak butuh lahan tanah, menurutku tetap saja tanah adalah hal penting yang harus tersedia untuk menjaga kesuburan dan ketersediaan produksi air dalam tanah. Tanah dan pohon adalah dua hal yang saling mengisi untuk menjaga lingkungan tetap lestari dan alami.
Tanah itu sangat penting. Tetapi yang ada, tanah-tanah sengaja ditutupi semen dan aspal yang kuat untuk menciptakan kebersihan. Tanah-tanah sudah beralih fungsi menjadi lahan bangunan luas tak terbatas. Sehingga bila hujan tiba, tak ada tempat air untuk mengalir dan meresap sebagaimana mestinya. Akibatnya bahaya banjir tak terkendali. Untuk itu, ada baiknya menyisakan tanah sebagai tempat resapan air atau menerapkan pola lantai halaman berpori agar air hujan tetap bisa masuk meresap ke dalam tanah. Namun masyarakat kota tetap saja berpikir praktis. Mereka takut rumput mengganggu pemandangan hingga harus menyewa tukang kebun untuk memangkasnya setiap hari. Sehingga program satu rumah satu pohon ataupun penerapan taman kota tak mampu menjadi penawar polusi dan pemanasan global yang efektif.
Yang lebih parahnya adalah masalah limbah kimia pabrik yang sulit didaur ulang kembali. Pikiranku buntu dengan masalah yang satu ini. Limbah kimia... sebuah dilema besar bagi dunia ini. Mau dibuang kemana ? tetap saja mencemari lingkungan. Pengelola pabrik harus jeli dalam mengatur strategi pengolahan limbah yang ramah lingkungan. Hal seperti ini sering menjadi sumber masalah polusi lingkungan yang rumit. Pertanyaanku, apakah solusi terbaik bagi industri supaya limbahnya tidak berakibat fatal bagi ekosistem alam yang mesti harus selalu dijaga kemurniannya ? Tak pernah ada jawaban yang pasti, tapi yang pasti saya berharap suatu saat ada penemuan baru dalam hal teknologi pengolahan limbah yang benar-benar ramah lingkungan.
La haula wala quwwata illa billah...”
Yah... dunia ini akan kiamat sendiri, seperti yang pernah dikatakan Hakim kepadaku. Barangkali inilah awal kiamat yang sebenarnya. Bumi akan menjadi dunia air tanpa tanah, tanpa pulau, penuh dengan polusi. Orang-orang akan mencari planet baru untuk dijadikan tempat bermigrasi. Para astronout selalu berusaha untuk dapat menjangkau planet Mars, sebagai harapan bumi yang baru. Jika berhasil, tentu akan mengurangi kepadatan populasi manusia yang menjadi sumber malapetaka bagi bumi. Dengan begitu, ada ruang bagi bumi untuk memulihkan diri kembali menjadi alami.
Butuh waktu untuk memulihkan semua ini. Pemerintah di seluruh dunia harus bertindak tegas untuk menyuarakan ‘stop global warming’ yang bukan hanya sekedar wacana dan demonstrasi belaka. Kita butuh kerjasama semesta untuk memulainya menuju penyelamatan darurat bumi. Hal-hal yang harus kita lakukan adalah memperbanyak lahan-lahan subur di tengah kota, menyisakan lahan resapan air di setiap rumah dan bangunan di kota, melakukan tanggap reboisasi dan pelestarian hutan, mengusahakan pengelolaan tanah-tanah kosong yang terlantar menjadi lahan produktif terutama lahan bekas tambang, serta penanaman hutan bakau di sekitar garis pantai untuk mencegah abrasi. Selain itu, pengolahan sampah dan limbah harus menjadi prioritas utama dan pertama, jangan sampai mengotori air, tanah, udara dan lingkungan alam. Semuanya butuh kesadaran massal yang kuat untuk mewujudkan semuanya dalam menetralisir efek polusi yang akan mengancam eksistensi bumi kita.
Aku mengalihkan pikiranku kepada alam yang begitu indah di depanku. “Yah, memang bagus mengagumi alam menjelang senja seperti ini...”.
Keadaan desa berubah warna seketika terbias oleh lembayung mentari. Tapi aku masih terbebani pikiran-pikiran tentang alam kota. Tak pernah ada habisnya menguliti solusi yang pas untuk dituliskan dalam naskahku nanti. Semua ini tak akan bertahan lama. Desa-desa akan segera tertelan oleh modernisasi kota. Mudah-mudahan desaku ini tetap bertahan disini selamanya sebagai tempat berlindungku dari pengap kota. Tempat semacam ini selalu menjadi tempat refreshing bagi orang-orang kota saat liburan. Akupun tak pernah bisa bertahan di atas kemegahan hotel berbintang lima. Makanya setiap sore aku menyempatkan diri ke pantai untuk menenangkan diri. Selamanya, tempat berlindungku ini takkan pernah terganti oleh surga apapun di keramaian kota.
Kalau bukan karena pekerjaan, aku tak akan pernah melihat dan merasakan suasana kota. Dari sana pula aku dapat inspirasi tentang efek polusi, dan disini aku dapat imajinasi perbandingan tentang alami desa. Beban-beban yang aku rasakan di kota kucairkan dengan tulisan-tulisan alami desa. Begitu banyak hal yang aku dapatkan dari desaku tercinta. Mulai dari program-program lingkungan yang diprakarsai oleh ayah saya, semangat masyarakat desa yang mencintai lingkungannya, sampai inspirasi dari orang-orang yang berjasa bagi keutuhan bumi semesta.
“Kak Anton... ! Rupanya kakak nongkrong disini lagi” Adikku, Hana menghampiriku.
“Memangnya kenapa ? Cemburu ?” Aku mengerutkan kening canda padanya.
“Siapa yang cemburu ? Ih... kakak. Memangnya tidak ada pohon seperti ini di kota ?” Ia kelihatan cemberut.
“Ada, tapi pohonnya mirip kamu... “
“Memang ada ? Yang ada mungkin mirip kak Fitri, sehingga kakak sengaja mengobati rindunya di bawah pohon mangga, kasihan... !”
“Mulai lagi kan, nanti kucubit lagi pipinya nih...” Aku memberi isyarat tanganku padanya.
“Ampun kak, ampuuuunnn... !” Ia mengangkat tangannya dan meninggalkanku kembali ke dalam rumah.
Mendengar nama Fitri, aku jadi rindu kepadanya. Fitri, nama itu adalah bagian penting yang takkan terlewatkan bagiku. Dia laksana bunga yang mengharumkan nuansa hati. Dia adalah daun yang menyejukkan rasa di jiwa, dan dialah mata air yang menyegarkan kerinduan asmaraku. Rencananya setelah bukuku terbit, aku akan segera melamarnya. Tidak baik membiarkan rindu ini bertahan lama dalam kesendirian.
Hana muncul lagi dari jendela dapur,”Kak, kesini... ditunggu bapak di dalam !” Ia melambaikan tangannya padaku, saya hanya menganggukkan kepala padanya.
Allahu Akbar...”
Aku mulai berdiri seiring suara dari masjid membangunkanku dari khayalan. Sudah cukup puas aku bersandar di bawah pohon mangga ini. Dia adalah saksi bisu kehidupanku sampai sekarang. Dia menjadi temanku di saat-saat kumenuliskan berbagai alur pikiranku tentang alam. Sebentar malam, tempat ini siap kupesan untuk kembali menyelesaikan naskah yang sudah penuh imajinasi ini. Aku tak ingin melewatkan kesempatan selama disini. Imajinasi harus segera dituliskan agar tak kelupaan dan menjadi masalah yang tak karuan dalam logika.
“Sebentar lagi, akan ada reuni besar-besaran di masjid pesantren maghrib ini. Inilah yang membuatku semakin rindu di tempat berlindungku, desaku tercinta ini. Selain bersih, sejuk dan indah, desaku juga dipenuhi religiusitas yang kental dan masih terjaga sampai kini. Mungkin hal ini yang membuat desaku sejahtera dan penuh kedamaian karena berkah yang tak henti terlimpah dari-Nya”.
Pesantren Al-Munawwarah... tempatku dulu menimba ilmu agama yang masih memberkahi hidupku. Teman-teman alumni selalu punya surprise untukku bila mendengar tentang kedatanganku. Yang menjadi prakarsanya adalah Fitri Wulandari, sang kekasih yang penuh perhatian. Mereka tak mengharapkan apapun yang kubawa, tapi yang mereka harapkan adalah kebersamaan kembali dalam silaturrahmi yang tak pernah pudar. Bukan itu saja, para orang tua disini sangat antusias dengan kedatanganku. Mereka menganggap saya sebagai pahlawan yang mengharumkan nama desa ke seluruh Indonesia dengan tulisan-tulisan indahku. Mereka juga tak mengharapkan apapun dariku kecuali doa-doa mereka yang akan selalu menyertai cita-citaku hingga sukses sampai sekarang.
Aku merasa deg-degan bila menjajaki hari pertama di desaku. Terkadang teman-teman pesantren memasang spanduk selamat datang yang ditujukan padaku di depan gerbang pesantren bertuliskan ‘AHLAN WA SAHLAN SANG PENULIS ANTON RAYMANDA’. Atau terkadang mereka menyambutku di depan masjid pesantren dengan alunan shalawat dan musik qasidah. Aku hanya menggeleng-geleng kepala mengingat semuanya. Sebagai ungkapan terima kasihku pada mereka, saya membantu membangun perpustakaan desa dengan fasilitas online yang lengkap serta buku-buku yang berkualitas bagi para warga desa. Pembiayaannya dibantu oleh teman-teman penulis dan pemerhati pendidikan melalui Yayasan Pesantren ‘Al-Munawwarah’. Bukan hanya itu, saya selalu berusaha untuk mencari donatur dan bantuan untuk pengembangan pesantren serta beasiswa bagi santri yang berprestasi agar bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi yang berkualitas.
Handphoneku berdering. Dari layarnya muncul amplop kecil pertanda ada sms yang masuk. Sms itu bertuliskan ‘jangan lupa mampir ke rumah ya, ada yang sudah rindu berat disini... by Hakim’. Rupanya sms itu dari Hakim yang mengisyaratkan kerinduan Fitri, adiknya.
“Hakim, Hakim... kebiasaan suka iseng !” Aku tersenyum-senyum sendiri membaca sms darinya. Lalu dia mengirim lagi sebuah pantun yang berbunyi,
Kalau alam merindu hujan,
Musim datang membawa mendung,
Kalau abang merindu perawan,
Harus datang bertemu pandang.
Aku segera membalas pantunnya secepatnya,
Kalau musim membawa mendung,
Hujan turun mengisi bumi,
Kalau abang bertemu pandang,
Jangan kau turut merasa iri.
Ia lalu membalas kembali pantunku dengan mudahnya,
Hujan turun mengisi bumi,
Biji tumbuh jadi kecambah,
Aku tak akan merasa iri,
Kalau abang bawa oleh-oleh... hahaha...
Sepertinya tak akan ada habisnya kalau berbalas pantun terus dengan Hakim. Aku membalas smsnya sebagai penutup, ‘aku menyerah, tapi nanti dilanjutkan kembali karena waktu sudah pertanda maghrib... wassalam !’.
Hakim adalah kakak tertua Fitri. Persahabatanku dengan Hakim bukanlah suatu jalan untuk bisa memiliki Fitri. Justru dari Fitri, aku mengenal Hakim lebih dekat sedekat hatiku pada Fitri. Hakim sudah kuanggap sebagai teman yang lebih dari sekedar saudara. Aku tak pernah menyangka kalau Fitri mempunyai seorang kakak karena sebenarnya Hakim baru muncul setelah sekian lama kuliah di Mesir. Fitri memperkenalkan dia atas kekagumannya pada karya-karyaku. Hakim memang orang yang cerdas, pengertian, ramah dan suka menolong. Ia mengabdikan hidupnya untuk kemajuan pesantren keluarganya dan membantu masyarakat desa dalam mewujudkan kreatifitas kesejahteraan.
La Ilaha Illallah...”
Suara adzan mulai mengalun indah di telingaku. Aku tak boleh mengulur-ulur waktu untuk bersujud kepada-Nya. Aku sejenak berbalik menyapa alam di hadapanku. Suasana menjadi makin berbeda. Surga alam yang sebentar lagi ditelan malam, tampak syahdu mengiringi alaunan adzan yang berkumandang. Lampu-lampu kota mulai terbit dari sana. Rasanya tak sabar untuk memulai menumpahkan ide-ide naskahku nanti malam disini, sambil menikmati jamuan pemandangan alam di malam hari, ditemani suara-suara jangkrik dan bisikan desir angin sejuk di antara relung pepohonan. Aku ingin melepas rindu dan lelahku sejenak semalaman di bawah pohon manggaku ini.
Dalam hatiku berharap, ”Semoga ini menjadi karya terindahku untuk menyelamatkan dunia !” Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin...

Rangas Tammalassu-Majene, 1 Maret 2015

******