AKU BUTUH TEMPAT BERLINDUNG
Oleh : Rusman Raymanda
Hidup di tengah kota memang begitu indah dan nyaman.
Segala kebutuhan bisa terpenuhi tanpa harus berpikir panjang, selama ada uang.
Hiruk-pikuk kota dipenuhi dengan lampu-lampu ajaib yang menyinari segala
kerinduan obsesi. Namun dari hati kecilku yang dalam, berisik membisikkan sesak
yang mengganggu. Kota Jakarta dengan seluruh kemegahannya, membuat orang
terpesona. Begitupun dengan aku yang telah melampiaskan obsesi hidupku sebagai
seorang penulis disini. Aku tertarik oleh magnet gravitasi kota dan
meninggalkan segala kenang-kenangan sejuk di desa.
Bumi semakin panas... !!!
Telingaku seakan tuli mendengar keluhan-keluhan alam kota
yang kian terpuruk. Naluri seorang anak kampung turut terkena erosi teknologi.
Siang-malam suara-suara mesin terus bergelora menabuh genderang keributan.
Mereka terus meluncurkan peluru-peluru asap yang menyerang atmosfer bumi.
Pemandangan lain terus-menerus bermunculan, sampah-sampah plastik terus
melambung tinggi, seiring dengan bertaburan buih-buih kimia yang terus
menggerogoti isi perut bumi dan manusia. Sungguh menyeramkan bila terus
membayangkannya ...
Pagi ini, sengaja
aku bangun pagi-pagi untuk mengucapkan selamat tinggal kepada buih-buih kota
yang terus mengusik ketenanganku. Energi natural di jiwaku terus terkuras habis
karena tidak tahan dengan lingkungan seperti ini. Inginku berteriak mengalahkan
kumandang adzan yang selalu setia menyapa kelelapan para penghuni kota di
shubuh hari.
Dalam kesendirianku memandangi pemandangan pagi di depan
hotel, aku dikejutkan oleh Sapri, teman seperjuanganku selama mengadu nasib di
kota. Ia juga seorang pekerja seni di salah satu tv swasta.
“He... Anton, jam berapa kamu akan berangkat ?” usik
Sapri.
“Secepatnya...!”
“Lalu, kapan kamu akan kembali kesini ? Apakah sudah
tidak ada tawaran lagi dari penerbit ?”
“Sebenarnya saya sudah mengantongi beberapa tawaran, tapi
saya harus fokus dengan satu keinginan... mencari suasana yang lebih mendukung
agar dapat menyelesaikan semua naskah ini dengan lancar” jelasku padanya.
Jam dinding terus berdetak. Setelah kutenangkan jiwa
sejenak dengan berkah shubuh, aku mulai bergegas untuk berangkat. Aku tak ingin
terhipnotis lebih jauh dengan keadaan seperti ini. Kerinduanku dengan aroma
desa makin dekat terasa. Pagi yang sejuk ini, sedikit melegakan kota.
Titik-titik polusi masih tertidur lemas di ujung pagi. Sebentar lagi, dering
kehidupan akan mulai bergetar deras menyemburkan larva-larva surga yang
terbungkus modernisasi.
“Bismillahirrahmanirrahiim ...”
Kumulai menghidupkan motor. Aku berbalik badan ke
belakang mencari muka Sapri, artis beken yang terkenal lewat Youtube
itu. Saat itu, aku masih sempat memandangi depan hotel yang cukup megah ini.
Hotel ini lumayan besar dan menampung banyak keluhan-keluhan tanah yang
seharusnya menjadi tempat tadah air bila musim penghujan tiba. Dulunya hotel
ini adalah hutan yang subur. Aku turut sedih ketika mendengar sejarah
pembangunan hotel ini. Begitu kejamnya bisnis kota dengan menghalalkan segala
cara, menutup habis pundi-pundi oksigen bumi yang terbatas. Yah, itulah dunia
...
Kulihat Sapri melambaikan tangan padaku. Dari pandangan
matanya, kuratapi sebuah kesedihan yang membunuh perasaanku. Dia satu-satunya
orang yang selalu setia menjadi teman seperjuanganku. Mungkin karena kita
sama-sama pejuang dari desa untuk mencari keberkahan hidup. Entahlah, dia
selalu saja menjadi penghibur yang dapat dibanggakan. Kami berdua juga pernah
menjadi relawan penyelamat lingkungan bersama para aktivis dan mahasiswa dalam
mengibarkan “anti pemanasan global”. Ia terpaksa mengikuti ikatan kontrak
sistem striping televisi yang begitu melelahkan, sehingga tidak bisa dengan
mudah pulang kampung ke desanya. Kasihan Sapri ...
Motorku mulai kujalankan membelah pagi menyusuri
sisa-sisa oksigen yang masih sejuk sebelum mentari kota menyengat. Dalam
perjalananku, kubaca jejak-jejak kota yang makin hari makin tak bisa
mengendalikan berbagai macam permasalahan lingkungan. Sungguh ironis, keindahan
kota seakan disulap setengah hati menjadi serba nyaman. Namun tetap saja ada
kebocoran polusi yang terkuak dan mengganggu ketenangan. Cuaca tak bisa lagi
dikendalikan sepenuhnya oleh alam, karena terlalu banyak serbuan-serbuan
modernisasi yang menghembuskan surga-surga instan.
“Astaghfirullah ...”
Siapa yang akan peduli dengan lingkungan jika kemewahan
kota terus memberi kenyamanan ? Orang-orang hanya sibuk dengan politik, bisnis,
sosialita dan media entertainment dalam ruang tertutup. Mereka seperti “kodok
dalam tempurung” yang kurang tahu kondisi luarnya. Mereka juga seperti
kelelawar yang tidur di siang hari, tak merasakan apa-apa yang terjadi terhadap
lingkungannya. Mereka tak pernah menyadari akan sunnatullah Ilahi. Bencana alam
yang sudah tak pernah absen menya pa bumi ini merupakan indikator penting yang
terlalu dilalaikan. Mereka semua terlalu asyik dengan dunia yang sebentar lagi
akan hancur bersamaan dengan nafsu serakah mereka. Termasuk saya sendiri yang
sering lupa akan keadaan alam ini. Usahaku untuk mengajak orang-orang mencintai
lingkungan memang butuh kesabaran ekstra. Setiap orang punya pikiran beda-beda,
sangat sulit untuk menyatukannya dalam suatu titik penyelesaian. Saya hanya
berusaha sekecil mungkin untuk tetap toleransi terhadap alam dan mencoba melakukan
pengobatan terhadap gejala-gejala penyakit alam, sedikit demi sedikit bersama
teman-teman aktivis lingkungan.
“Aaahhhh ...”
Keadaan mulai sesak. Matahari begitu menyengat kulit.
Bila malam tiba, cuaca sangat dingin menusuk badan. Jika tak ada usaha manusia
untuk menyelamatkan atmosfer, sisi negatif matahari akan membakar seisi bumi.
Bayangkan saja, sumber air yang ada akan mengering, tanaman sebagai sumber
makanan tak akan bisa tumbuh subur. Rasa lapar, haus dan panas akan menjadi
suatu tema yang asing bagi bumi ini. Penggunaan gas-gas liar penghancur lapisan
ozon pada produk-produk kebutuhan manusia harus dibatasi, kalau bisa
dihilangkan dan beralih ke produk yang ramah lingkungan. Memang begitu sulit
untuk menghilangkan sesuatu hal yang menjadi kebiasaan, tapi paling tidak kita
harus mengerti alam. Sudah saatnya massa digerakkan untuk peduli. Masa depan
terancam kiamat bencana alam, dunia akan kiamat dengan sendirinya ...
Aku bertengger sejenak melepas penat dari polusi kota di
bawah pohon rimbun pinggir jalan. Aku sudah menjauh bergeser dari pusat kota.
Aku menghibur diri memandangi hamparan desa di seberang sana. Pemandangan
seperti inilah yang selalu memanjakan mataku sejak kecil. Di seberang sanalah,
tempat kelahiranku berada. Sebentar lagi, aku akan segera tiba. Rindu ini
adalah jalanku untuk mencari tempat berlindung.
Seperti biasa, tempat ini selalu menjadi tempat
peristirahatan yang hangat dan sejuk bagi setiap orang yang pulang dari kota
menuju desa. Dari sini, pemandangan kontras begitu nyata di antara
gedung-gedung tinggi bertingkat dengan hamparan perbukitan hijau nan subur.
Pohon besar ini masih tetap ada dan senantiasa menghangatkan suasana gerah yang
melelahkan bagi setiap orang yang singgah di bawahnya.
Tiba-tiba di belakangku terdengar suara mobil.
Pit ... pit ... pitttt ....
“Assalamu’alaikum... sobat !” rupanya si Hakim yang
datang menghampiriku.
“Wa’alaikum salam.
Wah, bisnisnya makin sukses saja yah !” Aku melepaskan mata dari buku yang
kubaca.
“Beginilah pekerjaan saya. Kerajinan dari berbagai
kemasan plastik bekas ini cukup digemari orang-orang kota. Sampah-sampah
plastik yang ada di desa kita, didaur ulang oleh ibu-ibu majelis taklim. Pupuk
organik itu juga hasil kreatifitas mereka yang diolah dari sampah organik pula.
Sampah-sampah di desa kita jadi berkurang. Ini semua berkat program “bangun
sampah” yang dikumandangkan oleh ayahmu sejak menjadi lurah. Desa kita
dikenal banyak orang sebagai desa percontohan !” Hakim dengan lincahnya
menjelaskan semua kepadaku. Ia mendekatiku.
“Berarti pendapatan usahanya lumayan juga nantinya ...”
pikirku padanya.
“Kita sudah punya langganan sendiri di kota. Kalau
berbicara masalah pendapatannya, cukup untuk diinvestasikan saja bagi
pembangunan IRT “bangun sampah” ke depan, terutama untuk pembelian mesin-mesin
dan sarana penunjang. Jika semuanya sudah lengkap, insya Allah industri ini
akan mensejahterakan masyarakat desa kita nantinya ... !”
“Aamiin ... !” saya menyentuh pundak Hakim yang dari tadi
memandangi buku yang kubaca. “Sepertinya ada yang aneh dipikirannya, atau ... “
pikirku dalam hati.
“Bisa ikut menumpang di mobilnya, Saudara ? Cerita kita
belum selesai tadi. Jadi, bagaimana kalau kita lanjutkan semuanya di atas
mobilmu saja, sambil menikmati pemandangan menuju surga desa kita tercinta, oke
!” saya memberi isyarat jempol.
“Oke, siapa takut ? Seperti biasa, saya tidak akan
menolak tawaranmu, Saudara. Tapi, sebelumnya maaf ya ... saya mau buku-buku
gratis dari hasil karyamu”.
“Kebiasaan ... Kamu suka memerasku habis-habisan. Buat kamu,
apa yang tidak bisa, ha ... ha ... ha ... !”
“Tapi ... kali ini saya menanti buku barunya yang
sementara kau tulis”.
“Maksudmu ... ‘bangun sampah’?” Ia mengangguk
malu. “Kalau buku ini masih lama terbitnya. Aku ingin buku karyaku yang satu
ini harus benar-benar sempurna. Penerbit pun sangat apresiatif terhadap karyaku
ini, karena menyangkut masa depan bumi kita tercinta, tempat tinggal manusia”.
“Luar biasa ..., semua orang pasti menunggunya ... “.
“Insya Allah !” Dalam hatiku turut berharap seperti itu.
“Semua karyamu selalu jadi best seller setiap
terbit. Buku kumpulan puisi yang berjudul ‘bangun semesta’ jadi bahan
omongan orang di luar sana, bahkan jadi trending topic di twitter”.
“Untuk menulis buku itu butuh perjuangan, terutama energi
pikiran dan semangat logika. Yang paling penting, karya-karya saya akan selalu
menyuarakan tentang alam. Meski aku tidak bisa bertindak langsung, paling tidak
... aku bisa memberi pencerahan kecil bagi kehidupan manusia di masa depan.
Rasanya sangat sulit untuk mengembalikan dunia ini menjadi alami. Saya yakin,
sebagian orang di luar sana butuh motivasi kesadaran terhadap eksistensi bumu
ini”.
“Saya setuju dengan pemikiranmu, sobat. Saya juga merasa
takut dan khawatir dengan masa depan bumi ini. Aku membayangkan ... bumi ini
akan kiamat sendiri, seperti yang kau imajinasikan dalam puisimu. Penduduk bumi
akan semakin bertambah dan masalah-masalah lingkungan akan semakin klimaks.
Jika tak ada pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi, sampah-sampah yang
ada akan terus menggunung mengotori pemandangan dimana-mana, di laut; di jalan;
di sungai serta di perkampungan kumuh, bercampur dengan limbah kimia yang
berbahaya bagi ekosistem alam. Hutan sebagai paru-paru bumi, makin berkurang
dengan padatnya pemukiman, berkurang dan terus berkurang dengan kebutuhan lahan
pembangunan. Hutan tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya yang seharusnya
menetralisir segala polusi yang mengancam manusia dan sebagai sumber oksigen
murni. Yang ada hutan dijadikan lahan pertanian, pariwisata, bisnis dan
perindustrian. Seringkali terjadi kontak liar antara binatang-binatang alam
dengan manusia, itu karena salah manusia sendiri yang mengganggu dan merampas
habitat asli mereka. Lain lagi, produksi asap kendaraan bermotor yang makin
membuat panas udara sekitar kita. Akhirnya ... bila musim hujan, banjir tak
terkendali karena sampah yang menghalangi aliran sungai, dan terindikasi akan
terjadi krisis air bersih karena sumber air sudah terkotori oleh sampah. Kalau
hutan tak segera direboisasi, tak tebang-tanam kembali ..., maka yang ada
adalah kemarau panjang yang mengintai bumi, kondisi air tanah terus berkurang
dan permukaan tanah menjadi semakin turun. Pemanasan global yang kian tak
terkendali perlahan-lahan menghisap seluruh atmosfer bumi kita. Inilah yang
lebih saya takutkan, ngeri rasanya bila terus membayangkannya ..., matahari
akan terasa lebih panas dari sebelumnya, membakar kulit manusia, membakar
seluruh isi perut bumi, es di daerah kutub terus-menerus mencair hingga
produksi air laut meninggi dan meninggi menenggelamkan tanah-tanah tempat
tinggal manusia. Hingga akhirnya ..., seluruh bumi ini menjadi laut seutuhnya
seperti dalam film ‘The Water World’. Saya bisa membayangkan semua orang
akan tinggal di atas rakit kehidupan. Manusia akan berevolusi menjadi manusia
ikan. Manusia akan saling memburu tanah subur di bawah laut untuk mendapatkan
lahan tanaman ... astaghfirullah ... !!!” Mata Hakim sampai begitu jeli
mengemudikan mobilnya sambil bercerita dengan penuh imajinasi positifnya.
“Imajinasimu sungguh luar biasa, Kim. Saya sangat
tertarik dengan narasimu itu untuk ditambahkan ke dalam buku saya nanti. Terima
kasih atas inspirasinya, kawan !”.
Kami menyusuri jalan menuju desa. Dalam perjalanan yang
begitu sejuk, aku takjub dengan lahan-lahan hutan yang sangat rimbun. Padahal
lahan tersebut, dulunya adalah bekas galian tambang yang meninggalkan lubang
cukup besar di permukaan tanah. Galian tambang tersebut terlantar cukup lama,
hingga suatu saat ada seorang pengusaha yang bijak menginvestasikan uangnya
mengolah lahan itu menjadi hutan baru yang lebih produktif. Sungguh tak
terduga, lubang-lubang itu diisi dengan sampah-sampah organik yang didatangkan
dari seluruh pusat kota. Meski butuh waktu lama, sampah-sampah itu menjadi
pupuk dan hancur lebur menjadi tanah yang subur. Proyek hutan ini berhasil
menyelamatkan lahan dari kesia-siaan. Pengusaha itu sekarang menikmati
hasilnya, berbagai penghargaan, pujian serta kebanggaan yang luar biasa dari
semua orang. Hasil karya hutannya menjadi sumber penghasilan bagi warga desa
dan menghasilkan kayu alam berkualitas ekspor yang diburu dunia.
“Heh, ... apa yang kamu pikirkan, Saudara !” Ia
mengagetkanku dengan suara kerasnya. “Oh ... pasti lahan hutan milik pak
Gandhi, bukan ?” Ia melirik padaku.
“Betul, Kim. Ini benar-benar suatu prestasi terindah dan
perdana sepanjang masa. Pak Gandhi, sang penyelamat bumi yang juga menjadi
sumber inspirasiku dalam karyaku nanti”.
Hari semakin sore. Dari kejauhan, terlihat pemandangan
desaku yang selalu kurindukan. Sesampai disini, sekarang suasana semakin
berbeda. Inilah surga tempat berlindungku yang sebenarnya. Disinilah aku dapat
ketenangan, kedamaian, kesejukan, kebahagiaan dan kehidupan yang sejati. Dari
kicauan burung-burung, kokokan ayam setiap pagi, suara ramai itik-itik di
sawah, serta suara-suara kambing dan sapi. Dari desiran angin sejuk pohon-pohon
rimbun, pemandangan alam yang menghijau serta hawa yang khas dan nikmat
sepanjang hari. Aku telah banyak melewatkan hari-hari indahku disini dan tak
mungkin aku akan melewatkannya begitu saja.
Di setiap sudut jalan yang kulalui, terlihat bak-bak
sampah yang bertuliskan ‘desa bangun sampah’. Hasil kreatifitas desaku
ini berbuntut panjang, menuai hasil keindahan lingkungan yang tetap terjaga.
Setiap rumah ditandai dengan pohon-pohon rimbun, dan setiap RW terdapat MCK
umum serbaguna sebagai bagian dari program ‘bangun bersih’ desaku. Semua
program yang dilakukan dimulai dari kata ‘bangun’ yang berarti semangat,
motivasi, inspirasi dan inovasi untuk terus menjaga lingkungan agar tetap
asri-lestari. Meskipun ini adalah ide ayahku, tapi semua ini tidak akan pernah
terlaksana tanpa dukungan dari para remaja-remaja masjid, ibu-ibu majelis
taklim serta bapak-bapak kelompok tani yang ikut berpartisipasi mewujudkan
semuanya. Sebuah proyek gotong-royong desa yang apik.
“Alhamdulillah ..., akhirnya tiba juga di surga
ini kembali !” Hatiku berucap syukur.
“Terima kasih banyak ya ... !” Hakim memukul pundakku.
“He, seharusnya aku yang berterima kasih. Kebiasaan...,
kamu itu suka sekali mendahuluiku”.
“Bukan itu maksud saya. Ini saya temukan harta karung di
job. Rupanya ada yang kelupaan, atau ini mungkin sudah rejekiku hari ini...” Ia
menunjukkan buku puisi ‘bangun semesta’ yang baru kubaca-baca tadi di atas
mobilnya.
“Tuh kan, kebiasaan... !!!” Aku hanya geleng-geleng
kepala dan tersenyum-senyum padanya. “Berarti... jatah buku buat kamu sudah
habis”.
“Tidak apa-apa, pasti ada jatahnya. Saya yakin itu, oke ?
dah... !!!” Ia melambaikan tangan meninggalkanku dengan mobilnya.
“Hakim... Hakim..., dasar kebiasaan... !!!”
Hakim sudah pergi jauh. Sekarang aku harus melepas
lelahku. Melepas rindu kepada ayah, kepada ibu dan kepada adik-adikku tercinta.
Tiba-tiba, adikku yang paling buntut menghampiriku.
“Horeee... kak Anton datang. Bu... kak Anton datang” Amin
berteriak-teriak di halaman rumah.
Melihat suasana rumah yang tak pernah berubah, membuatku
makin tak sabar untuk tinggal berlama-lama disini. Memang tak ada yang berubah.
Rumahku adalah surgaku. Istilah itu cocok untuk mewakili rumahku yang tetap
tampak sederhana ini. Bersih, sejuk, tenteram, sejahtera dan indah.
Setelah menyegarkan tubuh dengan air, dan menyejukkan
hati dengan shalat ashar, aku menuju ruang dapur. Disana aku melihat ibu dengan
segenap rasa memasak masakan setiap hari untuk keluarga. Biasanya, ibu ditemani
adik perempuanku, Hana. Kalau melihat Hana, rasanya ingin selalu mencubit
pipinya yang imut itu. Dia selalu menjadi penghibur yang manis di rumah. Ibu
menjadi ratu penghangat keluarga yang bijak. Ayah adalah raja penyejuk yang
tegas. Amin, adikku yang satu ini adalah malaikat kecil pencerah suasana.
Lengkap sudah semua penghuni di rumahku ini. Aku sendiri adalah sang malaikat
tampan yang manja. Kalau aku di rumah ini, saya selalu ingin terus
bermanja-manja dengan ayah dan ibu. Mungkin inilah yang membuatku selalu rindu
dengan keluarga ini. Rasanya sulit menghilangkan jarak hidupku dari jangkauan
mereka.
“Hmmm... harum sekali atmosfer dapur sore ini. Apalagi
koki yang satu ini nih...” Aku mencubit pipi Hana yang serius mengaduk-aduk
sayur.
“Duh... kakak nih, sakit kak...” Ia merengek.
“Ibu masak apa hari ini ?” Aku menghampiri ibu.
“Yang jelas hari ini menunya spesial buat seseorang yang
baru datang dari jauh. Ibu masak tempe kesukaan kamu, nak”.
“Jadi tidak sabar makan nih... perutku sudah
berputar-putar sejak tadi. Hei... koki yang bernama Hana, masak yang paling
enak ya...?” Aku melirik ke Hana, pundaknya tampak seperti menahan senyum.
Aku meninggalkan mereka menuju halaman belakang. Aku
menyandarkan tubuh di bawah pohon mangga. Tempat ini merupakan tempat favoritku
sejak kecil. Di tempat ini, saya punya banyak kenangan indah yang tak mudah
terlupakan. Dari sini pula, saya mendapat banyak inspirasi dan imajinasi alam
di hadapanku. Seakan-akan alam yang kuhadapi di desa tak ingin berubah seperti
yang kusaksikan di kota. Apa yang kurasakan dengan pemandangan ini merupakan
semangatku untuk berkarya bagi kelestarian lingkungan yang alami.
“Subhanallah...”
Sungguh lingkungan yang menyejukkan... Dari sini, aku
melihat hamparan surga desaku yang sejuk dipandang mata. Betapa indahnya desaku
ini... hidup beratap dedaunan rimbun, berlantai rerumputan subur, dan bertiang
pepohonan hijau. Dengan berlimpahan buah, sayur, biji, sandang dan pangan
menghiasi setiap jengkal lahan di setiap musimnya. Dipadu kemeriahan hewan
ternak yang selalu setia menghibur, membantu dan menemani kesendirian petani di
sawah, di kebun dan ladang. Anugerah Ilahi yang luar biasa...
Bertafakkur menikmati keindahan alam menghijau dengan
latar biru di langit, menambah suasana rasa syukur yang tak terhingga. Allah
Swt menciptakan semuanya dengan apik dan sempurna untuk kelangsungan hidup
manusia di dunia. Namun terkadang kita tak menyadari itu, bahkan sampai merusak
ketersediaan alam yang sangat terbatas. Hingga sang pencipta alam menurunkan
ayat-ayat kauniyah-Nya yang sebenarnya sudah tersirat jelas dalam Al-Quran.
Itu semua adalah bagian dari sunnatullah yang tak dapat diganggu gugat lagi.
Akhirnya, bencana alam datang menagih tanggung jawab manusia dan siap menerima
segala konsekuensi yang akan dihadapi. Namun terkadang masih saja ada yang
belum mengerti teriakan alam dari-Nya. Seperti telah tertulis berulang-ulang
dalam surat Ar-Rahman yang memberi peringatan, ‘maka nikmat Tuhanmu
yang manakah yang kamu dustakan ?’... Harusnya, kita sebagai umat manusia
dapat menangkap setiap detail pesan-pesan alam yang sudah tak alami lagi.
Sinyal tersebut merupakan hikmah yang sengaja diselipkan Tuhan di antara
relung-relung kekhilafan manusia. Tetapi, kebanyakan manusia kurang menyadari
dan kurang mensyukuri segala apa yang sudah tersedia dari alam.
Di ujung sana, terlihat bangunan tinggi menjulang yang
merupakan bagian dari kota. Sebentar malam, lampu-lampu akan menghiasi
pemandangan dari sana. Mengapa pemandangan seperti ini harus berakhir ditempa
kota ? Aku takkan pernah memungkiri, jika hal ini akan menimpa desaku pula.
Semua akan ada waktunya. Aku hanya meminta kepada keramahan jaman agar
menyisakan sedikit alam ini sebagai tempat untuk kami bernaung juga bagi
cucu-cucu kami di masa depan. Mudah-mudahan ada satu keajaiban dan terobosan
baru yang mampu menggerakkan manusia untuk kembali kepada alam.
Bila melihat kehidupan di kota, sangat sulit untuk
merubah kehidupan mereka. Mereka hanya takjub pada kemewahan kimiawi dan takluk
pada kemudahan mesin-mesin teknologi. Mereka menjadi malas untuk hidup serba
natural. Alami sangat mahal didapatkan. Orang-orang kaya harus merogok kocek
lebih dalam untuk mencapainya. Padahal semua akan menjadi murah dan gratis jika
kita punya keinginan untuk merubah pola hidup menjadi serba alami yang dimulai
dari lingkungan kita sendiri. Hidup sehat secara alami akan menghindarkan kita
dari ketergantungan pengaruh negatif produk-produk kimia yang berbahaya bagi
tubuh.
Kota dengan segala kemewahannya menerapkan produk
lingkungan baru yang serba instan. Penyelamatan lingkungan dengan setengah hati
takkan bisa sepenuhnya membasmi polusi kota. Contohnya, sistem penanaman
hidroponik. Cara ini begitu praktis memanjakan orang-orang kota. Meskipun tak
butuh lahan tanah, menurutku tetap saja tanah adalah hal penting yang harus
tersedia untuk menjaga kesuburan dan ketersediaan produksi air dalam tanah.
Tanah dan pohon adalah dua hal yang saling mengisi untuk menjaga lingkungan
tetap lestari dan alami.
Tanah itu sangat penting. Tetapi yang ada, tanah-tanah
sengaja ditutupi semen dan aspal yang kuat untuk menciptakan kebersihan.
Tanah-tanah sudah beralih fungsi menjadi lahan bangunan luas tak terbatas.
Sehingga bila hujan tiba, tak ada tempat air untuk mengalir dan meresap
sebagaimana mestinya. Akibatnya bahaya banjir tak terkendali. Untuk itu, ada
baiknya menyisakan tanah sebagai tempat resapan air atau menerapkan pola lantai
halaman berpori agar air hujan tetap bisa masuk meresap ke dalam tanah. Namun
masyarakat kota tetap saja berpikir praktis. Mereka takut rumput mengganggu
pemandangan hingga harus menyewa tukang kebun untuk memangkasnya setiap hari.
Sehingga program satu rumah satu pohon ataupun penerapan taman kota tak mampu
menjadi penawar polusi dan pemanasan global yang efektif.
Yang lebih parahnya adalah masalah limbah kimia pabrik
yang sulit didaur ulang kembali. Pikiranku buntu dengan masalah yang satu ini.
Limbah kimia... sebuah dilema besar bagi dunia ini. Mau dibuang kemana ? tetap
saja mencemari lingkungan. Pengelola pabrik harus jeli dalam mengatur strategi
pengolahan limbah yang ramah lingkungan. Hal seperti ini sering menjadi sumber
masalah polusi lingkungan yang rumit. Pertanyaanku, apakah solusi terbaik bagi
industri supaya limbahnya tidak berakibat fatal bagi ekosistem alam yang mesti
harus selalu dijaga kemurniannya ? Tak pernah ada jawaban yang pasti, tapi yang
pasti saya berharap suatu saat ada penemuan baru dalam hal teknologi pengolahan
limbah yang benar-benar ramah lingkungan.
“La haula wala quwwata illa billah...”
Yah... dunia ini akan kiamat sendiri, seperti yang pernah
dikatakan Hakim kepadaku. Barangkali inilah awal kiamat yang sebenarnya. Bumi
akan menjadi dunia air tanpa tanah, tanpa pulau, penuh dengan polusi.
Orang-orang akan mencari planet baru untuk dijadikan tempat bermigrasi. Para
astronout selalu berusaha untuk dapat menjangkau planet Mars, sebagai harapan
bumi yang baru. Jika berhasil, tentu akan mengurangi kepadatan populasi manusia
yang menjadi sumber malapetaka bagi bumi. Dengan begitu, ada ruang bagi bumi
untuk memulihkan diri kembali menjadi alami.
Butuh waktu untuk memulihkan semua ini. Pemerintah di
seluruh dunia harus bertindak tegas untuk menyuarakan ‘stop global warming’
yang bukan hanya sekedar wacana dan demonstrasi belaka. Kita butuh kerjasama
semesta untuk memulainya menuju penyelamatan darurat bumi. Hal-hal yang harus
kita lakukan adalah memperbanyak lahan-lahan subur di tengah kota, menyisakan
lahan resapan air di setiap rumah dan bangunan di kota, melakukan tanggap reboisasi
dan pelestarian hutan, mengusahakan pengelolaan tanah-tanah kosong yang
terlantar menjadi lahan produktif terutama lahan bekas tambang, serta penanaman
hutan bakau di sekitar garis pantai untuk mencegah abrasi. Selain itu,
pengolahan sampah dan limbah harus menjadi prioritas utama dan pertama, jangan
sampai mengotori air, tanah, udara dan lingkungan alam. Semuanya butuh
kesadaran massal yang kuat untuk mewujudkan semuanya dalam menetralisir efek
polusi yang akan mengancam eksistensi bumi kita.
Aku mengalihkan pikiranku kepada alam yang begitu indah
di depanku. “Yah, memang bagus mengagumi alam menjelang senja seperti ini...”.
Keadaan desa berubah warna seketika terbias oleh
lembayung mentari. Tapi aku masih terbebani pikiran-pikiran tentang alam kota.
Tak pernah ada habisnya menguliti solusi yang pas untuk dituliskan dalam
naskahku nanti. Semua ini tak akan bertahan lama. Desa-desa akan segera
tertelan oleh modernisasi kota. Mudah-mudahan desaku ini tetap bertahan disini
selamanya sebagai tempat berlindungku dari pengap kota. Tempat semacam ini
selalu menjadi tempat refreshing bagi orang-orang kota saat liburan.
Akupun tak pernah bisa bertahan di atas kemegahan hotel berbintang lima.
Makanya setiap sore aku menyempatkan diri ke pantai untuk menenangkan diri.
Selamanya, tempat berlindungku ini takkan pernah terganti oleh surga apapun di
keramaian kota.
Kalau bukan karena pekerjaan, aku tak akan pernah melihat
dan merasakan suasana kota. Dari sana pula aku dapat inspirasi tentang efek
polusi, dan disini aku dapat imajinasi perbandingan tentang alami desa.
Beban-beban yang aku rasakan di kota kucairkan dengan tulisan-tulisan alami
desa. Begitu banyak hal yang aku dapatkan dari desaku tercinta. Mulai dari
program-program lingkungan yang diprakarsai oleh ayah saya, semangat masyarakat
desa yang mencintai lingkungannya, sampai inspirasi dari orang-orang yang
berjasa bagi keutuhan bumi semesta.
“Kak Anton... ! Rupanya kakak nongkrong disini lagi”
Adikku, Hana menghampiriku.
“Memangnya kenapa ? Cemburu ?” Aku mengerutkan kening
canda padanya.
“Siapa yang cemburu ? Ih... kakak. Memangnya tidak ada
pohon seperti ini di kota ?” Ia kelihatan cemberut.
“Ada, tapi pohonnya mirip kamu... “
“Memang ada ? Yang ada mungkin mirip kak Fitri, sehingga
kakak sengaja mengobati rindunya di bawah pohon mangga, kasihan... !”
“Mulai lagi kan, nanti kucubit lagi pipinya nih...” Aku
memberi isyarat tanganku padanya.
“Ampun kak, ampuuuunnn... !” Ia mengangkat tangannya dan
meninggalkanku kembali ke dalam rumah.
Mendengar nama Fitri, aku jadi rindu kepadanya. Fitri,
nama itu adalah bagian penting yang takkan terlewatkan bagiku. Dia laksana
bunga yang mengharumkan nuansa hati. Dia adalah daun yang menyejukkan rasa di
jiwa, dan dialah mata air yang menyegarkan kerinduan asmaraku. Rencananya setelah
bukuku terbit, aku akan segera melamarnya. Tidak baik membiarkan rindu ini
bertahan lama dalam kesendirian.
Hana muncul lagi dari jendela dapur,”Kak, kesini...
ditunggu bapak di dalam !” Ia melambaikan tangannya padaku, saya hanya
menganggukkan kepala padanya.
“Allahu Akbar...”
Aku mulai berdiri seiring suara dari masjid
membangunkanku dari khayalan. Sudah cukup puas aku bersandar di bawah pohon
mangga ini. Dia adalah saksi bisu kehidupanku sampai sekarang. Dia menjadi
temanku di saat-saat kumenuliskan berbagai alur pikiranku tentang alam.
Sebentar malam, tempat ini siap kupesan untuk kembali menyelesaikan naskah yang
sudah penuh imajinasi ini. Aku tak ingin melewatkan kesempatan selama disini.
Imajinasi harus segera dituliskan agar tak kelupaan dan menjadi masalah yang
tak karuan dalam logika.
“Sebentar lagi, akan ada reuni besar-besaran di masjid
pesantren maghrib ini. Inilah yang membuatku semakin rindu di tempat
berlindungku, desaku tercinta ini. Selain bersih, sejuk dan indah, desaku juga
dipenuhi religiusitas yang kental dan masih terjaga sampai kini. Mungkin hal
ini yang membuat desaku sejahtera dan penuh kedamaian karena berkah yang tak
henti terlimpah dari-Nya”.
Pesantren Al-Munawwarah... tempatku dulu menimba
ilmu agama yang masih memberkahi hidupku. Teman-teman alumni selalu punya surprise
untukku bila mendengar tentang kedatanganku. Yang menjadi prakarsanya adalah
Fitri Wulandari, sang kekasih yang penuh perhatian. Mereka tak mengharapkan
apapun yang kubawa, tapi yang mereka harapkan adalah kebersamaan kembali dalam
silaturrahmi yang tak pernah pudar. Bukan itu saja, para orang tua disini
sangat antusias dengan kedatanganku. Mereka menganggap saya sebagai pahlawan
yang mengharumkan nama desa ke seluruh Indonesia dengan tulisan-tulisan indahku.
Mereka juga tak mengharapkan apapun dariku kecuali doa-doa mereka yang akan
selalu menyertai cita-citaku hingga sukses sampai sekarang.
Aku merasa deg-degan bila menjajaki hari pertama di
desaku. Terkadang teman-teman pesantren memasang spanduk selamat datang yang
ditujukan padaku di depan gerbang pesantren bertuliskan ‘AHLAN WA SAHLAN
SANG PENULIS ANTON RAYMANDA’. Atau terkadang mereka menyambutku di depan
masjid pesantren dengan alunan shalawat dan musik qasidah. Aku hanya
menggeleng-geleng kepala mengingat semuanya. Sebagai ungkapan terima kasihku
pada mereka, saya membantu membangun perpustakaan desa dengan fasilitas online
yang lengkap serta buku-buku yang berkualitas bagi para warga desa.
Pembiayaannya dibantu oleh teman-teman penulis dan pemerhati pendidikan melalui
Yayasan Pesantren ‘Al-Munawwarah’. Bukan hanya itu, saya selalu berusaha untuk
mencari donatur dan bantuan untuk pengembangan pesantren serta beasiswa bagi
santri yang berprestasi agar bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi
yang berkualitas.
Handphoneku berdering.
Dari layarnya muncul amplop kecil pertanda ada sms yang masuk. Sms itu
bertuliskan ‘jangan lupa mampir ke rumah ya, ada yang sudah rindu berat
disini... by Hakim’. Rupanya sms itu dari Hakim yang mengisyaratkan kerinduan
Fitri, adiknya.
“Hakim, Hakim... kebiasaan suka iseng !” Aku
tersenyum-senyum sendiri membaca sms darinya. Lalu dia mengirim lagi sebuah
pantun yang berbunyi,
Kalau alam merindu hujan,
Musim datang membawa mendung,
Kalau abang merindu perawan,
Harus datang bertemu pandang.
Aku segera membalas pantunnya secepatnya,
Kalau musim membawa mendung,
Hujan turun mengisi bumi,
Kalau abang bertemu pandang,
Jangan kau turut merasa iri.
Ia lalu membalas kembali pantunku dengan mudahnya,
Hujan turun mengisi bumi,
Biji tumbuh jadi kecambah,
Aku tak akan merasa iri,
Kalau abang bawa oleh-oleh... hahaha...
Sepertinya tak akan ada habisnya kalau berbalas pantun
terus dengan Hakim. Aku membalas smsnya sebagai penutup, ‘aku menyerah, tapi
nanti dilanjutkan kembali karena waktu sudah pertanda maghrib... wassalam !’.
Hakim adalah kakak tertua Fitri. Persahabatanku dengan
Hakim bukanlah suatu jalan untuk bisa memiliki Fitri. Justru dari Fitri, aku
mengenal Hakim lebih dekat sedekat hatiku pada Fitri. Hakim sudah kuanggap sebagai
teman yang lebih dari sekedar saudara. Aku tak pernah menyangka kalau Fitri
mempunyai seorang kakak karena sebenarnya Hakim baru muncul setelah sekian lama
kuliah di Mesir. Fitri memperkenalkan dia atas kekagumannya pada karya-karyaku.
Hakim memang orang yang cerdas, pengertian, ramah dan suka menolong. Ia
mengabdikan hidupnya untuk kemajuan pesantren keluarganya dan membantu
masyarakat desa dalam mewujudkan kreatifitas kesejahteraan.
“La Ilaha Illallah...”
Suara adzan mulai mengalun indah di telingaku. Aku tak
boleh mengulur-ulur waktu untuk bersujud kepada-Nya. Aku sejenak berbalik
menyapa alam di hadapanku. Suasana menjadi makin berbeda. Surga alam yang
sebentar lagi ditelan malam, tampak syahdu mengiringi alaunan adzan yang
berkumandang. Lampu-lampu kota mulai terbit dari sana. Rasanya tak sabar untuk
memulai menumpahkan ide-ide naskahku nanti malam disini, sambil menikmati
jamuan pemandangan alam di malam hari, ditemani suara-suara jangkrik dan
bisikan desir angin sejuk di antara relung pepohonan. Aku ingin melepas rindu
dan lelahku sejenak semalaman di bawah pohon manggaku ini.
Dalam hatiku berharap, ”Semoga ini menjadi karya
terindahku untuk menyelamatkan dunia !” Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin...
Rangas Tammalassu-Majene, 1 Maret 2015
******