Sabtu, 11 Januari 2014

Review Buku Tugas Kuliah Filsafat Pendidikan Islam



TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH           :   FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING    : MUH. HIDAYAT, M.Phil      



REVIEW BUKU
"PENDIDIKAN [AGAMA]
UNTUK MEMBANGUN
ETIKA SOSIAL"




 

STAI-DDI  MAJENE
T. A. 2012 / 2013

"PENDIDIKAN [AGAMA]
UNTUK MEMBANGUN ETIKA SOSIAL"
(Mendidik Anak sukses Masa Depan :
Pandai dan Bermanfaat)

Kondisi krisis sejak tahun 1999 yang lalu : krisis yang sering disebut dengan krisis multidimensional, krisis lingkaran setan, yang ujungnya adalah krisis kemanusiaan atau krisis sosial. Karena itulah, saudara kita tega bukan saja menghujat, namun juga membunuh saudara kita yang lain. Dan ini terjadi bagi anak sekolah, masyarakat dan bahkan lainnya. Karena krisis lingkaran setan itu diawali dari krisis etika para elite atau pemuka dan sampai akhirnya pada krisis etika kemanusiaan, maka harus diobati dengan cara perbaiakn etika, dari individual sampai dengan sosial yang diawali dari pendidikan kita, terutama sekali pendidikan agama kita. Kalau kita komitmen ingin memperbaiki kehidupan masyarakat kita, kita harus sanggup memperbaiki etika sosial kita yang tentunya berpangkal dari etika individual. Salah satu hal terpenting adalah lewat pendidikan kita. Namun, keberhasilan upaya ini akan sangat berat, jika para elit kita masih selalu tidak mempraktekkan etika sosial.

Kenyataan adanya tawur pelajar dan bentrok masyarakat, salah satu introspeksi kita adalah menilik kembali pendidikan kita. Tanpa sejauh pertanyaan tentang kenyataan sosial sebagai salah satu produk pendidikan, namun kenyataan di lapangan tersebut tidak dapat dipisahkan begitu saja dari praktek pendidikan kita di masa silam sampai dengan masa kini. Sudah barang tentu, ketika kita menyebut pendidikan, maka pendidikan agama termasuk di dalamnya dan justru perlu mendapatkan garis bawah. Berangkat dari kenyataan negatif yang dipraktekkan oleh masyarakat kita itulah, maka pendidikan kita perlu dikaji ulang. Langkah berikutnya adalah menganalisis secara kritis mengapa pendidikan kita seperti itu ? Dengan beberapa kekurangan, maka diperlukan reformasi pendidikan dan reorientasinya.

Ketika kita membicarakan reformasi pendidikan, kita perlu menegaskan kembali makna pendidikan dan sekaligus pendidikan Islam. Disinilah kita perlu mengaitkan dengan etika sosial. Sebab, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembentukan karakter dan akhlak atau etika yang mulia. Dari pembentukan karakter atau etika individual itulah, kemudian dalam prakteknya akan terwujud etika sosial. Dan selama ini, orientasi pendidikan kita terhadap etika sosial sangat lemah; termasuk ketika para guru agama kita mengajarkan pendidikan Islam. Mengenai etika sosial sangat sering diidentikkan dengan moralitas sosial. Etika sosial akan terwujud, ketika tiap-tiap orang secara individu telah mempraktekkan moralitas, terutama dalam hal-hal berhubungan sesama manusia, sehingga kumpulan dari individu atau sosial itu benar-benar berperilaku etis. Menjunjung HAM termasuk cakupan etika sosial. Dengan kata lain, sasaran akhir dari pendidikan dan pendidikan agama pada khususnya adalah terbangunnya masyarakat yang beretika sosial. Ketika kita berbicara mengenai etika sosial, maka kita tidak lepas dari pergaulan dunia. Disinilah pentingnya berbicara mengenai nilai-nilai universal yang mempunyai akar dari agama untuk membangun etika sosial ini, termasuk dalam kerangka komunikasi global.

Visi pendidikan abad 21 UNESCO kaitannya dengan ajaran dalam Islam, tujuannya bukan hanya mensosialisasikan visi Unesco tentang pendidikan di abad 21, namun juga memberi arti tambahan, termasuk bernilai pendekatan :
1.        Sosialisasi sekaligus memberi landasan bagi umat Islam, bahwa apa yang diamanatkan oleh Unesco, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun sejalan.
2.        Memberi penekanan pada nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam yang selama ini kurang mendapatkan perhatian untuk diungkapkan, terlebih lagi kepada para anak didik.
3.        Ini juga sekaligus sosialisasi tentang ajaran Islam yang sekaligus berarti nilai universal kepada saudara-saudara kita yang kurang memahami tentang Islam.
4.        Memberi keseimbangan kepada saudara-saudara kita yang memahami Islam dengan cara ekstrim dan eksklusif.

Hal ini mengandung arti sedang menjadi juru bicara Unesco dengan bahasa agama, atau sedang menjelaskan nilai-nilai Islam dengan bahasa Unesco.

Erat sekali kaitan antara fitrah dan akhirat dalam pemaknaan tanggung jawab. Justru disini ada nilai lebih dari ajaran Islam yang cukup terlupakan; yakni bahwa setiap perbuatan pasti ada tanggung jawab yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Dengan kata lain, tanggung jawab tidak hanya sekedar bernilai administratif di dunia. Berangkat dari fitrah dan mentalitas inilah kemudian seseorang berkomunikasi dan bertransaksi dengan orang lain, sampai dalam wadah negara antar sesama warga negara dan antara warga dan penguasa atau sebaliknya. Jadi, konsep akhirat bukanlah hanya berkonsekuensi individual dan hanya ada di akhirat kelak, namun sekaligus mencakup tanggung jawab sosial. Dalam waktu bersamaan, ketika guru mengajarkan akhirat, juga harus memberi penekanan pada perilaku di dunia, oleh karena tidak mungkin akhirat dipisahkan dari perilaku di dunia. Lebih tegas lagi bahwa perilaku di dunia pasti akan mempunyai dampak atau konsekuensi di akhirat. Jadi, etika sosialpun sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari teropongan akhirat di kemudian hari. Dari kenyataan bahwa ajaran akhirat tidak dapat lepas dari kenyataan mengenai perilaku di dunia, sementara itu ketika kita berbicara mengenai dunia tidak lepas dari kemajuan, maka perlu kebebasan berpikir.

Hampir dapat dipastikan bahwa anggapan umum selama ini mengira bahwa pendidikan agama itu justru membelenggu atau memberi batasan-batasan untuk kebebasan yang positif, baik kebebasan berpikir apa lagi kebebasan bertindak. Jika agama diartikan seperti ini, maka agama tidak akan mampu memajukan pemeluknya dan jelas tidak akan mampu pula menjadikan pemeluknya sebagai manusia yang kehidupannya di dunia ini lebih baik. Dengan kata lain, jika diartikan seperti itu berarti jelaslah agama tidak sesuai dengan ajaran penting agama itu sendiri yang menghendaki umatnya untuk hidup di dunia yang baik (hasanah). Dan ini berangkat dari pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ketika ada ajaran sangat umum diyakini oleh pemeluknya bahwa agama itu membelenggu pemikiran, maka disitulah yang harus diluruskan dengan pendekatan dari dalam itu sendiri. Jadi, ada upaya untuk merenovasi dan memberi inovasi pemahaman dan pemaknaan ajaran agama agar agama dapat menjadikan pemeluknya sukses di dunia (hasanah fi al-dunya), disamping juga sukses di akhirat (hasanah fi al-akhirah). Yang perlu dicatat adalah bahwa pelurusan pemahaman dan pemaknaan ini melalui jalur dari dalam itu sendiri, tidak kritik dari bahasa luar, yaitu dengan mengadakan reorientasi atau bahkan pelurusan pada praktek masyarakat tentang ajaran AhlusSunnah Wal Jamaah (ASWAJA). Aswaja sebagai ciri perilaku maupun sebagai manhaj (metodologi) yang menunjukkan kemoderatan dan toleransi sangat perlu dikemukakan dalam kondisi sekarang ini. Terlebih lagi, ini sangat sejalan dengan bahasa UNESCO "how to live together". Dengan adanya tanggung jawab yang mempunyai implikasi di dunia dan di akhirat, maka perlu ada penegasan yang lebih kongkrit mengenai arah pendidikan agama.

Dua hal dari empat arah pendidikan agama yang kurang mendapatkan perhatian selama ini adalah :
1.        Pendidikan agama justru harus mampu menjadikan landasan agama untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang selama ini disebut dengan ilmu umum dan menjadi landasan untuk berprestasi semakin maju dan baik.
2.        Pendidikan agama harus pula menekankan nilai-nilai yang bersumber dari agama dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang lebih baik, yang juga merupakan ajaran etika termasuk etika sosial.

Jadi, dengan penegasan kembali ini dimaksudkan agar pendidikan agama bukan hanya mengajarkan do'a dan tata cara ibadah kepada khalik-Nya. Namun, akan mampu berperan aktif untuk mendorong anak didik untuk lebih baik dan lebih maju serta untuk berkehidupan yang lebih santun dengan landasan etika sosial yang benar. Realitas masyarakat kita berbalikan dengan nilai-nilai ajaran etika sosial, terlebih lagi jika dikaitkan dengan ajaran Islam.

Sumber utama etika sosial bagi umat Islam adalah Al-Qur'an. Al-Qur'an pada intinya menegakkan ajaran moral dan sarat dengan wujud nilai-nilai moral, tidak selalu semata-mata dengan bahasa hukum yang terkesan menakutkan. Oleh karena itu, disamping kita harus introspeksi, kita harus juga mau menggali lebih dalam lagi tentang makna dan pelajaran etika yang ada di dalamnya. Padahal sudah jelas, ketika Al-Qur'an diamalkan oleh nabi dan para khulafa' Rasyidun, disitulah tampak kehebatannya.

Mengajarkan budi pekerti berkaitan erat dengan metode pengajaran nilai, termasuk ajaran agama dan norma etika. Mengajarkan nilai tidak sama dengan menyuruh anak didik untuk menghafal kata-kata bijak atau menghafal ayat-ayat Al-Qur'an; namun hendaknya mempunyai sistem pengajaran dan evaluasi yang komprehensif. Lebih dari itu, pengajaran etika, juga harus diberi contoh oleh institusi yang mengajarkan etika itu sendiri. Etika lingkungan yang merupakan bagian dari etika sosial sangat penting untuk diajarkan kepada anak didik. Mempraktekken etika lingkungan pada dasarnya untuk menjaga lingkungan, sedangkan menjaga lingkungan pada dasarnya juga untuk kelestarian kehidupan manusia sehingga pada akhirnya, kita sendiri yang akan menikmati manfaatnya, disamping kita juga memberikan kemanfaatan kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika kita merusak lingkungan, kita pula yang akan menderita akibat negatifnya dan kita akan dicatat sebagai memberikan warisan kemudaratan kepada generasi yang akan datang.

Contoh lain yang sangat serius untuk dipahami dalam konteks etika sosial adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang selama ini dianggap negatif dan tabu. Padahal sebenarnya netral (mempunyai potensi positif dan negatif) dan merupakan realitas yang tak dapat dihindari. Untuk membangun kembali potensi positifnya dalam konteks upaya mengurangi atau menghindari krisis kemanusiaan hendaklah selalu diikuti konsep nilai tentang respek dan tanggung jawab. Lebih dalam lagi, anak-anak yang tidak lepas dari SARA ini diharapkan akan saling belajar dan saling memberi dari tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masing-masing kelompoknya. SARA tidak hanya netral, namun juga produktif dan bermanfaat bagi seluruh bangsa.

Respek dan tanggung jawab akan semakin produktif dan bermanfaat jika dibarengi dengan pemahaman dan praktek voluntarisme (kedermawanan) atau philanthropy. Ketika kita sudah mengajarkan dan sekaligus mempraktekkannya, maka sudah sekaligus mengajarkan dan mempraktekkan salah satu aspek dari Civic Education (Pendididikan Pancasila) kepada anak didik di sekolah dan madrasah. Sering pula kita saksikan, ketika ajaran zakat, shadaqah, infaq dan sesamanya disampaikan kepada orang lain, yang tampak adalah hukum sebagai bentuk pembebanan. Disinilah yang perlu kita sesuaikan dengan kondisi psikologis, sehingga ajaran yang bersifat kemanusiaan itu akan menampakkan wajah dan ciri kemanusiaan pula, bukan pembebanan.

Nilai dan ajaran etika sosial yang berangkat dari etika individual itu semua mempunyai akar dan sumber dari ajaran Islam. Oleh karena itu, bukan saja sudah seharusnya disosialisasikan kepada anak didik, dan terutama sekali kepada para guru dan orang tua, namun juga perlu ada pelurusan pemahaman dan pemaknaan ajaran Islam yang disampaikan kepada anak didik di sekolah/madrasah. Mengajarkan etika sosial merupakan kewajiban dalam sistem pendidikan kita. Dan terlebih lagi adalah kewajiban para guru agama kita dan kewajiban untuk menyampaikan pendidikan agama yang tepat dengan arah yang jelas. Kalau ini disadari dan dipraktekkan oleh kita semua para pendidik dan para pengelola pendidikan, termasuk orang tua murid, Insya Allah generasi kita akan diselamatkan dari krisis kemanusiaan yang sudah berkepanjangan ini.

Jangan berharap anak didik mampu menilai dan ikut berpikir memecahkan masalah jika model Problem Solving tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Jangan berharap anak didik berlaku etis jika aturan yang sarat dengan nilai-nilai moral dan agama tidak ditegakkan di sekolah. Jangan salahkan anak didik yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai moral, misalnya tanggung jawab, disiplin, jujur, adil, respect, dan semacamnya, jika pelajaran agama atau moral hanya bersifat hafalan; sementara itu kontradiksi antara kemampuan hafalan anak dengan kenyataan dalam perilaku tidak dihiraukan. Kini waktunya untuk mengevaluasi, mengoreksi dan pada akhirnya mereformasi sistem pendidikan kita dalam pengertian yang luas.




DIREVIEW DARI BUKU :
Azizy, A. Qodri, Prof., Dr., M. A., Pendidikan [Agama] Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan : Pandai dan Bermanfaat), Semarang : CV. Aneka Ilmu, 2003







Tidak ada komentar:

Posting Komentar