TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH : FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN
PEMBIMBING : MUH. HIDAYAT, M.Phil
REVIEW
BUKU
"PENDIDIKAN
[AGAMA]
UNTUK
MEMBANGUN
ETIKA
SOSIAL"
STAI-DDI MAJENE
T. A. 2012 / 2013
"PENDIDIKAN [AGAMA]
UNTUK MEMBANGUN ETIKA SOSIAL"
(Mendidik Anak sukses Masa Depan :
Pandai dan Bermanfaat)
Kondisi
krisis sejak tahun 1999 yang lalu : krisis yang sering disebut dengan krisis
multidimensional, krisis lingkaran setan, yang ujungnya adalah krisis
kemanusiaan atau krisis sosial. Karena itulah, saudara kita tega bukan saja
menghujat, namun juga membunuh saudara kita yang lain. Dan ini terjadi bagi
anak sekolah, masyarakat dan bahkan lainnya. Karena krisis lingkaran setan itu
diawali dari krisis etika para elite atau pemuka dan sampai akhirnya pada
krisis etika kemanusiaan, maka harus diobati dengan cara perbaiakn etika, dari
individual sampai dengan sosial yang diawali dari pendidikan kita, terutama
sekali pendidikan agama kita. Kalau kita komitmen ingin memperbaiki kehidupan
masyarakat kita, kita harus sanggup memperbaiki etika sosial kita yang tentunya
berpangkal dari etika individual. Salah satu hal terpenting adalah lewat
pendidikan kita. Namun, keberhasilan upaya ini akan sangat berat, jika para
elit kita masih selalu tidak mempraktekkan etika sosial.
Kenyataan adanya tawur pelajar dan
bentrok masyarakat, salah satu introspeksi kita adalah menilik kembali
pendidikan kita. Tanpa sejauh pertanyaan tentang kenyataan sosial sebagai
salah satu produk pendidikan, namun kenyataan di lapangan tersebut tidak dapat
dipisahkan begitu saja dari praktek pendidikan kita di masa silam sampai dengan
masa kini. Sudah barang tentu, ketika kita menyebut pendidikan, maka pendidikan
agama termasuk di dalamnya dan justru perlu mendapatkan garis bawah. Berangkat
dari kenyataan negatif yang dipraktekkan oleh masyarakat
kita itulah, maka pendidikan kita perlu dikaji ulang. Langkah berikutnya adalah
menganalisis secara kritis mengapa pendidikan kita seperti itu ? Dengan
beberapa kekurangan, maka diperlukan reformasi pendidikan dan reorientasinya.
Ketika kita membicarakan reformasi pendidikan,
kita perlu menegaskan kembali makna pendidikan dan sekaligus pendidikan Islam.
Disinilah kita perlu mengaitkan dengan etika sosial. Sebab, pendidikan
tidak bisa dilepaskan dari pembentukan karakter dan akhlak atau etika yang
mulia. Dari pembentukan karakter atau etika individual itulah, kemudian dalam
prakteknya akan terwujud etika sosial. Dan selama ini,
orientasi pendidikan kita terhadap etika sosial sangat lemah;
termasuk ketika para guru agama kita mengajarkan pendidikan Islam. Mengenai
etika sosial sangat sering
diidentikkan dengan moralitas sosial. Etika sosial akan
terwujud, ketika tiap-tiap orang secara individu telah mempraktekkan moralitas,
terutama dalam hal-hal berhubungan sesama manusia, sehingga
kumpulan dari individu atau sosial itu benar-benar berperilaku
etis. Menjunjung HAM termasuk cakupan etika sosial. Dengan kata lain,
sasaran akhir dari pendidikan dan pendidikan agama pada khususnya adalah
terbangunnya masyarakat yang beretika sosial. Ketika kita
berbicara mengenai etika sosial, maka kita tidak lepas dari
pergaulan dunia. Disinilah pentingnya berbicara mengenai nilai-nilai universal
yang mempunyai akar dari agama untuk membangun etika sosial ini,
termasuk dalam kerangka komunikasi global.
Visi pendidikan abad 21 UNESCO kaitannya
dengan ajaran dalam Islam, tujuannya bukan hanya mensosialisasikan visi Unesco
tentang pendidikan di abad 21, namun juga memberi arti tambahan, termasuk
bernilai pendekatan :
1.
Sosialisasi sekaligus
memberi landasan bagi umat Islam, bahwa apa yang diamanatkan oleh Unesco, tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, namun sejalan.
2.
Memberi penekanan pada
nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam yang selama ini kurang
mendapatkan perhatian untuk diungkapkan, terlebih lagi kepada para anak didik.
3.
Ini juga sekaligus
sosialisasi tentang ajaran Islam yang sekaligus berarti nilai universal kepada
saudara-saudara kita yang kurang memahami tentang Islam.
4.
Memberi keseimbangan
kepada saudara-saudara kita yang memahami Islam dengan cara ekstrim dan eksklusif.
Hal ini mengandung arti sedang
menjadi juru bicara Unesco dengan bahasa agama, atau sedang menjelaskan
nilai-nilai Islam dengan bahasa Unesco.
Erat sekali kaitan antara fitrah dan
akhirat dalam pemaknaan tanggung jawab. Justru disini ada nilai lebih dari
ajaran Islam yang cukup terlupakan; yakni bahwa setiap perbuatan pasti ada
tanggung jawab yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Dengan kata lain,
tanggung jawab tidak hanya sekedar bernilai administratif di dunia.
Berangkat dari fitrah dan mentalitas inilah kemudian seseorang berkomunikasi
dan bertransaksi dengan orang lain, sampai dalam wadah negara antar sesama warga negara
dan antara warga dan penguasa atau sebaliknya. Jadi, konsep
akhirat bukanlah hanya berkonsekuensi individual dan hanya ada di akhirat
kelak, namun sekaligus mencakup tanggung jawab sosial. Dalam waktu
bersamaan, ketika guru mengajarkan akhirat, juga harus memberi penekanan pada
perilaku di dunia, oleh karena tidak mungkin akhirat dipisahkan dari perilaku
di dunia. Lebih tegas lagi bahwa perilaku di dunia pasti akan mempunyai dampak
atau konsekuensi di akhirat. Jadi, etika sosialpun sebenarnya tidak dapat
dilepaskan dari teropongan akhirat di kemudian hari. Dari kenyataan bahwa
ajaran akhirat tidak dapat lepas dari kenyataan mengenai perilaku di dunia,
sementara itu ketika kita berbicara mengenai dunia tidak lepas dari kemajuan,
maka perlu kebebasan berpikir.
Hampir dapat dipastikan bahwa
anggapan umum selama ini mengira bahwa pendidikan agama itu justru membelenggu
atau memberi batasan-batasan untuk kebebasan yang positif, baik kebebasan
berpikir apa lagi kebebasan bertindak. Jika agama diartikan seperti ini, maka
agama tidak akan mampu memajukan pemeluknya dan jelas tidak akan mampu pula
menjadikan pemeluknya sebagai manusia yang kehidupannya di dunia ini lebih
baik. Dengan kata lain, jika diartikan seperti itu berarti jelaslah agama tidak
sesuai dengan ajaran penting agama itu sendiri yang menghendaki umatnya untuk
hidup di dunia yang baik (hasanah). Dan ini berangkat dari pemahaman dan
pemaknaan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ketika ada ajaran sangat umum
diyakini oleh pemeluknya bahwa agama itu membelenggu pemikiran, maka disitulah
yang harus diluruskan dengan pendekatan dari dalam itu sendiri. Jadi, ada upaya
untuk merenovasi dan memberi inovasi pemahaman dan pemaknaan ajaran agama agar
agama dapat menjadikan pemeluknya sukses di dunia (hasanah fi al-dunya),
disamping juga sukses di akhirat (hasanah fi al-akhirah). Yang perlu dicatat
adalah bahwa pelurusan pemahaman dan pemaknaan ini melalui jalur dari dalam itu
sendiri, tidak kritik dari bahasa luar, yaitu dengan mengadakan reorientasi
atau bahkan pelurusan pada praktek masyarakat tentang ajaran AhlusSunnah Wal
Jamaah (ASWAJA). Aswaja sebagai ciri
perilaku maupun sebagai manhaj (metodologi) yang menunjukkan kemoderatan dan
toleransi sangat perlu dikemukakan dalam kondisi sekarang ini. Terlebih lagi,
ini sangat sejalan dengan bahasa UNESCO "how to live together".
Dengan adanya tanggung jawab yang mempunyai implikasi di dunia dan di akhirat,
maka perlu ada penegasan yang lebih kongkrit mengenai arah pendidikan agama.
Dua hal
dari empat arah pendidikan agama yang kurang mendapatkan perhatian selama ini
adalah :
1.
Pendidikan agama justru
harus mampu menjadikan landasan agama untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu
yang selama ini disebut dengan ilmu umum dan menjadi landasan untuk berprestasi
semakin maju dan baik.
2.
Pendidikan agama harus
pula menekankan nilai-nilai yang bersumber dari agama dalam kehidupan
sehari-hari di dunia yang lebih baik, yang juga merupakan ajaran etika termasuk
etika sosial.
Jadi, dengan penegasan
kembali ini dimaksudkan agar pendidikan agama bukan hanya mengajarkan do'a dan
tata cara ibadah kepada khalik-Nya. Namun, akan mampu berperan aktif untuk
mendorong anak didik untuk lebih baik dan lebih maju serta untuk berkehidupan
yang lebih santun dengan landasan etika sosial yang benar. Realitas
masyarakat kita berbalikan dengan nilai-nilai ajaran etika sosial, terlebih
lagi jika dikaitkan dengan ajaran Islam.
Sumber utama etika sosial
bagi umat Islam adalah Al-Qur'an. Al-Qur'an pada intinya menegakkan ajaran
moral dan sarat dengan wujud nilai-nilai moral, tidak selalu semata-mata dengan
bahasa hukum yang terkesan menakutkan. Oleh karena itu, disamping kita harus
introspeksi, kita harus juga mau menggali lebih dalam lagi tentang makna dan
pelajaran etika yang ada di dalamnya. Padahal sudah jelas, ketika Al-Qur'an
diamalkan oleh nabi dan para khulafa' Rasyidun, disitulah tampak kehebatannya.
Mengajarkan
budi pekerti berkaitan erat dengan metode pengajaran nilai, termasuk ajaran
agama dan norma etika. Mengajarkan nilai tidak sama dengan menyuruh anak didik
untuk menghafal kata-kata bijak atau menghafal ayat-ayat Al-Qur'an; namun hendaknya
mempunyai sistem pengajaran dan evaluasi yang komprehensif. Lebih dari itu,
pengajaran etika, juga harus diberi contoh oleh institusi yang mengajarkan
etika itu sendiri.
Etika lingkungan yang merupakan bagian dari etika sosial sangat penting untuk
diajarkan kepada anak didik. Mempraktekken etika lingkungan pada dasarnya untuk
menjaga lingkungan, sedangkan menjaga lingkungan pada dasarnya juga untuk
kelestarian kehidupan manusia sehingga pada akhirnya, kita sendiri yang akan menikmati
manfaatnya, disamping kita juga memberikan kemanfaatan kepada generasi
berikutnya. Sebaliknya, jika kita merusak lingkungan, kita pula yang akan
menderita akibat negatifnya dan kita akan dicatat sebagai memberikan warisan
kemudaratan kepada generasi yang akan datang.
Contoh lain yang sangat serius untuk dipahami
dalam konteks etika sosial adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar
golongan) yang selama ini dianggap negatif dan tabu. Padahal sebenarnya netral
(mempunyai potensi positif dan negatif) dan merupakan realitas yang tak dapat
dihindari. Untuk membangun kembali potensi positifnya dalam konteks upaya
mengurangi atau menghindari krisis kemanusiaan hendaklah selalu diikuti konsep
nilai tentang respek dan tanggung jawab. Lebih dalam lagi, anak-anak yang tidak
lepas dari SARA ini diharapkan akan saling belajar dan saling memberi dari
tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masing-masing kelompoknya. SARA tidak hanya
netral, namun juga produktif dan bermanfaat bagi seluruh bangsa.
Respek dan tanggung jawab akan semakin
produktif dan bermanfaat jika dibarengi dengan pemahaman dan praktek voluntarisme (kedermawanan) atau philanthropy. Ketika kita sudah
mengajarkan dan sekaligus mempraktekkannya, maka sudah sekaligus mengajarkan
dan mempraktekkan salah satu aspek dari Civic Education (Pendididikan Pancasila) kepada anak didik
di sekolah dan madrasah. Sering pula kita saksikan, ketika ajaran zakat,
shadaqah, infaq dan sesamanya disampaikan kepada orang lain, yang tampak adalah
hukum sebagai bentuk pembebanan. Disinilah yang perlu kita sesuaikan dengan
kondisi psikologis, sehingga ajaran yang bersifat kemanusiaan itu akan
menampakkan wajah dan ciri kemanusiaan pula, bukan pembebanan.
Nilai dan ajaran
etika sosial yang berangkat dari etika individual itu semua mempunyai akar dan
sumber dari ajaran Islam. Oleh karena itu, bukan saja sudah seharusnya
disosialisasikan kepada anak didik, dan terutama sekali kepada para guru dan
orang tua, namun juga perlu ada pelurusan pemahaman dan pemaknaan ajaran Islam
yang disampaikan kepada anak didik di sekolah/madrasah. Mengajarkan etika
sosial merupakan kewajiban dalam sistem pendidikan kita. Dan terlebih lagi
adalah kewajiban para guru agama kita dan kewajiban untuk menyampaikan
pendidikan agama yang tepat dengan arah yang jelas. Kalau ini disadari dan
dipraktekkan oleh kita semua para pendidik dan para pengelola pendidikan,
termasuk orang tua murid, Insya Allah generasi kita akan diselamatkan dari
krisis kemanusiaan yang sudah berkepanjangan ini.
Jangan berharap
anak didik mampu menilai dan ikut berpikir memecahkan masalah jika model Problem Solving tidak pernah diperkenalkan kepada mereka.
Jangan berharap anak didik berlaku etis jika aturan yang sarat dengan
nilai-nilai moral dan agama tidak ditegakkan di sekolah. Jangan salahkan anak
didik yang tidak menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, misalnya tanggung jawab, disiplin, jujur, adil, respect, dan
semacamnya, jika pelajaran agama atau moral hanya bersifat hafalan; sementara
itu kontradiksi antara kemampuan hafalan anak dengan kenyataan dalam perilaku
tidak dihiraukan. Kini waktunya untuk mengevaluasi, mengoreksi dan pada
akhirnya mereformasi sistem pendidikan kita dalam pengertian yang luas.
DIREVIEW DARI BUKU :
Azizy, A. Qodri, Prof., Dr., M. A., Pendidikan [Agama] Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik
Anak Sukses Masa Depan : Pandai dan Bermanfaat), Semarang : CV. Aneka Ilmu, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar