MATA KULIAH : FILSAFAT
PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING : MUH.
HIDAYAT, M.Phil
REVIEW
BUKU:
"PENDIDIKAN
AGAMA
BERWAWASAN MULTIKULTURAL"
DISUSUN OLEH
:
NAMA : RUSMAN
N I M : 09. 11. 0027
SEMESTER : VII. A /
S1. PAI
STAI-DDI
MAJENE
T. A. 2012 / 2013
"PENDIDIKAN AGAMA
BERWAWASAN MULTIKULTURAL"
Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan,
bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya,
tidak ada satu negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.
Dengan demikian, multikulturalisme merupakan sunnatulllah yang tidak
dapat ditolak bagi setiap negara-bangsa di dunia ini. Multikulturalisme dapat
pula dipahami sebagai "kepercayaan" kepada normalitas dan penerimaan
keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang
sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini,
multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basis) tidak hanya bagi kewargaan dan kewarganegaraan, tetapi juga bagi
pendidikan.
Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural telah lama dirasakan
cukup mendesak bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat,
seperti Kanada, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain, yang sejak usainya
Perang Dunia II semakin "multikultural" karena proses migrasi
penduduk luar ke negara-negara tersebut, pendidikan multikultural telah
menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, setelah sebelumnya di AS misalnya
dikembangkan "pendidikan interkultural." Berhadapan dengan
meningkatnya "multikulturalisme" di negara-negara tersebut, maka
paradigma, konsep dan praktek pendidikan "multikultural" semakin
relevan dan timely.
Pada pihak
lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang baru di
Indonesia. Padahal, realitas kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial,
politik, dan budaya bangsa, khusunya sejak "era reformasi" yang penuh
dengan gejolak sosial-politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat,
membuat pendidikan multikultural terasa semakin dibutuhkan.
Secara
sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai "pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi kebudayaan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan
multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang
"interkulturalisme" seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan
kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan
politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan
diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di
negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari
negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mempertimbangkan
semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat
berkembang konsep pendidikan "interkultural" dan
"interkelompok". Pada hakikatnya pendidikan interkultural merupakan crosscultural
education untuk mengembangkan
nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda.
Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah
laku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau
kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan
untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan
rasial, etnis, agama, dan lain-lain.
Tetapi, harus diakui, pada praktiknya pendidikan interkultural lebih
terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagipula, konflik dalam skala luas,
terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga
dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat
negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang
berhasil dalam mengatasi konflik antargolongan dan masyarakat; dan kenyataan
inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan
multikultural.
Pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti
atau politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Dalam
konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap tidak peduli dan tak mau mengakui,
berakar tidak hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan
multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan,
penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai
bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan , dan lain-lain. Paradigma seperti
ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang "ethnic
studies", untuk kemudian
menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan.
Istilah
"pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat
deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah
pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh, ia juga
mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan
strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat
multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka kurikulum
pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek semacam; toleransi,
bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan
pluralitas; kemanusiaan universal; tema-tema tentang perbedaan etnokultural,
dan agama.
Dalam
ketidakjelasan tata dunia baru yang meliputi realitas bangsa yang sangat
plural, pengaruh budaya dan etnisitas terhadap perkembangan manusia, serta benturan
global antar kebudayaan dituntut untuk belajar mengenal perbedaan dalam agama,
kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan
sebagainya. Ta'aruf, demikian
Al-Qur'an menyebutkan. Namun, negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini
rupanya belum menyadari isyarat al-Qur'an tentang pesan moral yang dimaksud.
Multipolar, multikultural adalah sunnatullah yang tak terbantahkan. Kita lebih
suka merespon keragaman dengan sikap dan perilaku monolog (klaim kebenaran,
klaim keselamatan, klaim memperadabkan) dan egosentris (hanya untukku, hanya
dariku, hanya olehku). Orientasi sikap dan perilaku semacam ini ironisnya
dibangun secara sistematis lewat dunia pendidikan yang meliputi pendidikan
umum, pendidikan kewarganegaraan, tak terkecuali pendidikan agama yang
cenderung merekayasa manusia absolut, mutlak-mutlakan. Ini semua belum akan pudar selama proses
pencerahan tidak diawali dengan perubahan paradigma pendidikan. Karena hanya
dengan jalan pendidikan kita menggantungkan asa untuk masa depan. Jadi,
pendidikan multikultural adalah sebuah manifesto dan gerakan perubahan secara
paradigmatik menyangkut teori dan praktek pendidikan.
Perubahan
paradigma dalam rangka mempromosikan perspektif multikultural perlu mendapatkan
justifikasi argumen teologis. Basis argumen teologis ini penting mengingat
bangsa Indonesia adalah bangsa religius. Lebih-lebih mayoritas pendududuknya
adalah Muslim, karena itu legitimasi dari sudut pandang aqidah dan semacamnya
merupakan keharusan filosofis. Intinya, basis teologi multikulturalisme (kalimatun
sawa') meliputi: menyulam ragam
merajut harmoni, sebuah cara merespon keragaman (tanawu'iyyah) dengan menunjukkan pemahaman dan sikap bahwa
pluralitas, kesetaraan, dan kesahajaan adalah hal biasa; menebar amanah dan huznuzhan memupuk modal sosial; menganyam solidaritas
menuntut pengorbanan; menyemai nirkekerasan menuai damai, dan menanam maaf
mengetam ampunan. Basis ini pada gilirannya dapat sangat membantu dalam
menyusun framework pendidikan
multikultural, khususnya pendidikan agama.
Pendidikan
agama mengusung pendekatan dialogis, muatan material yang berlimpah dengan
memanfaatkan keragaman agama-agama yang hidup dan menjadi keyakinan siswa dan
guru. Sebagai sebuah pembaruan, pendidikan agama berwawasan multikultural
memiliki karakteristik khas meliputi: menanamkan pilar keempat kesadaran
pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan agama-agama (how to
live and work together with others);
menyemangati relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan,
saling percaya, saling memahami, dan menghargai persamaan, perbedaan, dan
keunikan agama-agama; menyuguhkan suatu jalinan erat dan interdependensi dalam
situasi saling mendengar dan menerima perbedaan perspektif agama-agama dalam
satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka (open mind); suatu kreasi untuk menemukan jalan terbaik mengatasi
konflik antaragama dan menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan
tindakan nirkekerasan (non-violence).
Dengan karakteristik semacam itu, pendidikan agama melandaskan
operasionalnya pada sejumlah asumsi antara lain: bahwa ia merupakan inovasi dan
reformasi di dunia pendidikan yang ditandai dengan muatan pendidikan agama yang
integral dan komprehensif; memberi konstruk pengetahuan baru tentang agama atau
agama-agama; memberi kesempatan yang sama pada semua peserta didik untuk
memperoleh pendidikan agama dengan konstruk baru; proses pembelajaran
semaksimal mungkin dapat mereduksi prejudice dan
rasisme yang mungkin terjadi atas nama agama; menyadarkan bias yang berkembang dalam masyarakat dan dunia
pendidikan; termasuk di dalamnya pelurusan atas bias gender; belajar
mengeliminasi stereotip; dan tak kalah pentingnya merestrukturisasi pendidikan
agama khususnya. Lima asumsi lainnya meliputi: pendidikan agama perlu
mengidentifikasi dan memberi pengakuan akan pluralitas; ia merupakan sarana
belajar untuk melakukan perjumpaan lintas batas agama, kultural dan etnik
misalnya; penyadaran akan interdependensi antar manusia dan perlunya membangun
kerjasama diantara mereka; pendidikan agama
mentransformasi proses pembelajarannya dari indoktrinasi menuju dialog agar
pembelajaran menjadi lebih efektif dalam menanamkan nilai-nilai agama tentang
kebersamaan; dan menekankan pada proses interaksi dalam kelas.
Karakteristik dan asumsi yang bekerja di balik pendidikan agama
berwawasan multikultural menghendaki suatu orientasi dan transformasi
pendidikan yang khas pula. Dari sisi orientasi, pendidikan agama dapat
dikembangkan melalui tiga cara : pembaruan pendidikan agama dengan
mengintrodusir muatan, yakni bisa dilakukan lewat tawaran kurikulum, silabi,
referensi, dan materi pendidikan agama, dan atau mengajarkan multikulturalisme
juga dapat dilakukan dalam pelajaran-pelajaran umum lainnya. Cara kedua adalah
dengan mengubah cara pembelajarannya yang lebih difokuskan pada keragaman siswa
itu sendiri. Misalnya, proses belajar-mengajar pendidikan agama menekankan pada
pendekatan studi kelompok, yang masing- masing kelompok terdiri berbagai siswa
dari beragam latar belakang agama, kebudayaan, etnik dan gender. Cara ketiga
diupayakan melalui pembelajaran atas lingkungan sosial yang hidup di sekitar
sekolah atau siswa. Bahwa lingkungan sosial sekitar menunjukkan keragaman,
adalah bahan ajar bagi siswa untuk mengenal sekaligus berinteraksi langsung
dengan keragaman itu sebagai pengalaman nyata. Di sini tentu saja menuntut guru
kreatif membuat pembelajaran dengan memanfaatkan kekayaan lingkungan yang
tersedia.
Pendidikan multikultural harus menjadi suatu proses transformasional,
bukan sekedar proses toleransi. Sebagai proses transformasional, pendidikan
multikultural hadir sebagai proses melalui mana seluruh aspek pendidikan diuji
dan dikritik serta dibangun kembali atas dasar ideal-ideal persamaan dan keadilan
sosial; membantu perkembangan semua orang dari semua kebudayaan untuk menjadi
aktivis dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpa mereka atau orang lain;
mengkonstruksi identitas diri yang diakui banyak orang dan percaya diri;
mengembangkan cara-cara berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang
dan kebudayaan secara empatik, sesuai dan diakui, belajar menjadi pemikir
kritis terhadap berbagai bentuk diskriminasi; dan membangun kerjasama dengan
orang lain untuk menciptakan perubahan-perubahan konkret pada level
interpersonal dan institusional. Banyak orang mengidentikkan pendidikan
multikultural sebagai proses penting untuk memperbaiki pendidikan bagi semua
siswa agar menyepakati bahwa transformasi (perubahan dalam skala besar)
dibutuhkan dalam kurikulum, pedagogi, assessment, dan aspek-aspek lain dari
sekolah dan persekolahan.
Wallahu A'lam Bish-Shawab
DIREVIEW DARI BUKU:
JUDUL : PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN MULTIKULTURAL
PENULIS : ZAKIYUDDIN BAIDHAWY
PENERBIT : ERLANGGA, JAKARTA (2005)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar