Sabtu, 11 Januari 2014

Review Buku Tugas Kuliah Filsafat Pendidika Islam



TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH          :  FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING  :   MUH. HIDAYAT, M.Phil


REVIEW BUKU:
"PENDIDIKAN AGAMA
 BERWAWASAN MULTIKULTURAL"
 
    DISUSUN OLEH  :
                     NAMA    : RUSMAN
                      N I M      : 09. 11. 0027
                SEMESTER  : VII. A / S1. PAI


STAI-DDI MAJENE
T. A. 2012 / 2013

"PENDIDIKAN AGAMA
 BERWAWASAN MULTIKULTURAL"
Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian, multikulturalisme merupakan sunnatulllah yang tidak dapat ditolak bagi setiap negara-bangsa di dunia ini. Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai "kepercayaan" kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basis) tidak hanya bagi kewargaan dan kewarganegaraan, tetapi juga bagi pendidikan.
Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural telah lama dirasakan cukup mendesak bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain, yang sejak usainya Perang Dunia II semakin "multikultural" karena proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut, pendidikan multikultural telah menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, setelah sebelumnya di AS misalnya dikembangkan "pendidikan interkultural." Berhadapan dengan meningkatnya "multikulturalisme" di negara-negara tersebut, maka paradigma, konsep dan praktek pendidikan "multikultural" semakin relevan dan timely.

Pada pihak lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Padahal, realitas kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik, dan budaya bangsa, khusunya sejak "era reformasi" yang penuh dengan gejolak sosial-politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat, membuat pendidikan multikultural terasa semakin dibutuhkan.

Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi kebudayaan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan "interkultural" dan "interkelompok". Pada hakikatnya pendidikan interkultural merupakan crosscultural education untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda. Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain.

Tetapi, harus diakui, pada praktiknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagipula, konflik dalam skala luas, terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antargolongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural.

Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti atau politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap tidak peduli dan tak mau mengakui, berakar tidak hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan , dan lain-lain. Paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang "ethnic studies", untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh, ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek semacam; toleransi, bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal; tema-tema tentang perbedaan etnokultural, dan agama.

Dalam ketidakjelasan tata dunia baru yang meliputi realitas bangsa yang sangat plural, pengaruh budaya dan etnisitas terhadap perkembangan manusia, serta benturan global antar kebudayaan dituntut untuk belajar mengenal perbedaan dalam agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan sebagainya. Ta'aruf, demikian Al-Qur'an menyebutkan. Namun, negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini rupanya belum menyadari isyarat al-Qur'an tentang pesan moral yang dimaksud. Multipolar, multikultural adalah sunnatullah yang tak terbantahkan. Kita lebih suka merespon keragaman dengan sikap dan perilaku monolog (klaim kebenaran, klaim keselamatan, klaim memperadabkan) dan egosentris (hanya untukku, hanya dariku, hanya olehku). Orientasi sikap dan perilaku semacam ini ironisnya dibangun secara sistematis lewat dunia pendidikan yang meliputi pendidikan umum, pendidikan kewarganegaraan, tak terkecuali pendidikan agama yang cenderung merekayasa manusia absolut, mutlak-mutlakan. Ini semua belum akan pudar selama proses pencerahan tidak diawali dengan perubahan paradigma pendidikan. Karena hanya dengan jalan pendidikan kita menggantungkan asa untuk masa depan. Jadi, pendidikan multikultural adalah sebuah manifesto dan gerakan perubahan secara paradigmatik menyangkut teori dan praktek pendidikan.

Perubahan paradigma dalam rangka mempromosikan perspektif multikultural perlu mendapatkan justifikasi argumen teologis. Basis argumen teologis ini penting mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa religius. Lebih-lebih mayoritas pendududuknya adalah Muslim, karena itu legitimasi dari sudut pandang aqidah dan semacamnya merupakan keharusan filosofis. Intinya, basis teologi multikulturalisme (kalimatun sawa') meliputi: menyulam ragam merajut harmoni, sebuah cara merespon keragaman (tanawu'iyyah) dengan menunjukkan pemahaman dan sikap bahwa pluralitas, kesetaraan, dan kesahajaan adalah hal biasa; menebar amanah dan huznuzhan memupuk modal sosial; menganyam solidaritas menuntut pengorbanan; menyemai nirkekerasan menuai damai, dan menanam maaf mengetam ampunan. Basis ini pada gilirannya dapat sangat membantu dalam menyusun framework pendidikan multikultural, khususnya pendidikan agama.

Pendidikan agama mengusung pendekatan dialogis, muatan material yang berlimpah dengan memanfaatkan keragaman agama-agama yang hidup dan menjadi keyakinan siswa dan guru. Sebagai sebuah pembaruan, pendidikan agama berwawasan multikultural memiliki karakteristik khas meliputi: menanamkan pilar keempat kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan agama-agama (how to live and work together with others); menyemangati relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, dan menghargai persamaan, perbedaan, dan keunikan agama-agama; menyuguhkan suatu jalinan erat dan interdependensi dalam situasi saling mendengar dan menerima perbedaan perspektif agama-agama dalam satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka (open mind); suatu kreasi untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik antaragama dan menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan tindakan nirkekerasan (non-violence).

Dengan karakteristik semacam itu, pendidikan agama melandaskan operasionalnya pada sejumlah asumsi antara lain: bahwa ia merupakan inovasi dan reformasi di dunia pendidikan yang ditandai dengan muatan pendidikan agama yang integral dan komprehensif; memberi konstruk pengetahuan baru tentang agama atau agama-agama; memberi kesempatan yang sama pada semua peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama dengan konstruk baru; proses pembelajaran semaksimal mungkin dapat mereduksi prejudice dan rasisme yang mungkin terjadi atas nama agama; menyadarkan bias yang berkembang dalam masyarakat dan dunia pendidikan; termasuk di dalamnya pelurusan atas bias gender; belajar mengeliminasi stereotip; dan tak kalah pentingnya merestrukturisasi pendidikan agama khususnya. Lima asumsi lainnya meliputi: pendidikan agama perlu mengidentifikasi dan memberi pengakuan akan pluralitas; ia merupakan sarana belajar untuk melakukan perjumpaan lintas batas agama, kultural dan etnik misalnya; penyadaran akan interdependensi antar manusia dan perlunya membangun kerjasama diantara mereka; pendidikan agama  mentransformasi proses pembelajarannya dari indoktrinasi menuju dialog agar pembelajaran menjadi lebih efektif dalam menanamkan nilai-nilai agama tentang kebersamaan; dan menekankan pada proses interaksi dalam kelas.

Karakteristik dan asumsi yang bekerja di balik pendidikan agama berwawasan multikultural menghendaki suatu orientasi dan transformasi pendidikan yang khas pula. Dari sisi orientasi, pendidikan agama dapat dikembangkan melalui tiga cara : pembaruan pendidikan agama dengan mengintrodusir muatan, yakni bisa dilakukan lewat tawaran kurikulum, silabi, referensi, dan materi pendidikan agama, dan atau mengajarkan multikulturalisme juga dapat dilakukan dalam pelajaran-pelajaran umum lainnya. Cara kedua adalah dengan mengubah cara pembelajarannya yang lebih difokuskan pada keragaman siswa itu sendiri. Misalnya, proses belajar-mengajar pendidikan agama menekankan pada pendekatan studi kelompok, yang masing- masing kelompok terdiri berbagai siswa dari beragam latar belakang agama, kebudayaan, etnik dan gender. Cara ketiga diupayakan melalui pembelajaran atas lingkungan sosial yang hidup di sekitar sekolah atau siswa. Bahwa lingkungan sosial sekitar menunjukkan keragaman, adalah bahan ajar bagi siswa untuk mengenal sekaligus berinteraksi langsung dengan keragaman itu sebagai pengalaman nyata. Di sini tentu saja menuntut guru kreatif membuat pembelajaran dengan memanfaatkan kekayaan lingkungan yang tersedia.

Pendidikan multikultural harus menjadi suatu proses transformasional, bukan sekedar proses toleransi. Sebagai proses transformasional, pendidikan multikultural hadir sebagai proses melalui mana seluruh aspek pendidikan diuji dan dikritik serta dibangun kembali atas dasar ideal-ideal persamaan dan keadilan sosial; membantu perkembangan semua orang dari semua kebudayaan untuk menjadi aktivis dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpa mereka atau orang lain; mengkonstruksi identitas diri yang diakui banyak orang dan percaya diri; mengembangkan cara-cara berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang dan kebudayaan secara empatik, sesuai dan diakui, belajar menjadi pemikir kritis terhadap berbagai bentuk diskriminasi; dan membangun kerjasama dengan orang lain untuk menciptakan perubahan-perubahan konkret pada level interpersonal dan institusional. Banyak orang mengidentikkan pendidikan multikultural sebagai proses penting untuk memperbaiki pendidikan bagi semua siswa agar menyepakati bahwa transformasi (perubahan dalam skala besar) dibutuhkan dalam kurikulum, pedagogi, assessment, dan aspek-aspek lain dari sekolah dan persekolahan.

Wallahu A'lam Bish-Shawab



DIREVIEW DARI BUKU:
JUDUL        : PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN MULTIKULTURAL
PENULIS    : ZAKIYUDDIN BAIDHAWY
PENERBIT  : ERLANGGA, JAKARTA (2005)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar