Minggu, 17 September 2017

Kumpulan Cerpen Penuh Hikmah: Reuni Asmara Yang Terlewatkan



Second Chance In Love
(Reuni Asmara yang Terlewatkan)
Oleh : Rusman Raymanda

Rasyid tak pernah menyangka kalau ia akan bertemu kembali dengan Siti Nadira. Siti Nadira yang dulu dikaguminya, kini sudah tampak tepat di depan matanya. Saat dirinya dipindah tugaskan dari sekolah yang dulu, Rasyid yang sudah lama menjadi kepala sekolah merasa terusik dengan kehadiran Siti Nadira yang kebetulan mengajar sebagai guru agama honorer di sekolah yang baru ditempatinya itu. Perasaannya yang sempat tak memiliki gara-gara keliru mencintai Siti Nadira yang sudah bersuami, Ia seakan ingin melanjutkan kembali asmara yang sudah lama terlewatkan.
Waktu telah menghapus sejenak kisah cintanya dengan Siti Nadira saat hatinya telah termiliki oleh istri sholehah secantik Fathimah. Namun takdir datang merenggut kebahagiaan mereka di tengah hadirnya anak ke tiga. Tujuh tahun sudah kepergian sang istri, rupanya tak membuat Rasyid mencoba mencari pengganti, meskipun sang mertua memberikan kelonggaran padanya. Pertimbangan mereka cukup beralasan, mengingat anak-anaknya yang masih butuh kasih sayang seorang ibu.
Pertemuan dirinya kembali dengan Siti Nadira, membuat gelora jiwanya bangkit kembali. Perasaan malu dan takut masih saja membuntutinya di antara hasrat terpendamnya. Rasa deg-degan selalu menjadi bawaan rasa ketika berhadapan langsung dengannya. Siti Nadira kini hadir dengan kesan barunya, ia menjadi janda cantik yang dulu dipujanya walau dalam hati. Rasyid takut mengulang kesalahan yang sama hingga ia selalu saja membuang muka setiap kali berhadapan langsung dengannya. Mereka tak akan bisa mengelak sekalipun, karena keduanya harus terjebak dalam satu lokasi dan pofesi. Hingga suatu saat, takdirpun berbicara.
“Pak, tolong Bu Siti Nadira disana. Kasihan... dia mungkin menunggu jemputan dari anaknya. Apalagi hujan sangat lebat begini, pasti akan sulit sekali mereka bisa langsung pulang”, Bu Mina berbicara di belakang Rasyid.
Dari luar, hujan sangat deras membasahi kaca jendela mobil. Tampak Siti Nadira duduk terdiam di halte depan sekolah. Dalam hati Rasyid terbisik rasa kasihan, namun perasaannya masih diliputi takut. Mungkin kali ini, ia tak akan bisa menghindarinya.
“Bagaimana, Pak ? Biar saya yang jemput dia pake payung”, Bu Zaenab ikut mendesak.
“Baiklah... !”, Rasyid menyerah pasrah seraya menghela napas panjang.
Rasyid menghentikan mobilnya, Bu Zaenab keluar menjemput Siti Nadira. Sementara Bu Mina melanjutkan ceritanya.
“Apakah Bapak tahu sebenarnya keadaan Bu Siti Nadira... semua guru-guru kasihan padanya. Dia telah kehilangan suaminya saat anaknya masih berusia 3 bulan. Bu Siti Nadira terpaksa harus berjuang menjadi single parent bagi anak satu-satunya itu, dan ia juga harus rela merawat ibunya yang sering sakit-sakitan. Seandainya saja ia sudah lulus PNS, pasti tidak akan serumit begitu hidupnya...”, terang Bu Mina.
Rasyid ikut terbawa dalam cerita Bu Mina. Ia terkejut dengan keadaan Siti Nadira di luar dugaannya, hatinya ikut teriris seperti diremuk jantung. Dari luar, Bu Zaenab mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil. Rasyid membuka pintu depan mobilnya.
“Bu Siti Nadira di depan saja sama Bapak. Ayolah... nanti kita basah kuyup, nih... !”, Bu Zaenab terus mendesak Siti Nadira.
Rasyid menyambut Siti Nadira dengan senyum. Ia harus menyembunyikan rasa deg-degannya yang kini makin membuncah. Dari belakang, gerak-gerik Bu Mina dan Bu Zaenab agak berisik melihat Rasyid dan Nadira di depan. Rasyid mulai menjalankan mobilnya. Untuk pertama kalinya, ia ‘demam hati’ duduk tepat di samping Siti Nadira yang dulu dikaguminya. Siti Nadira juga merasa tak karuan, ia hanya melihat-lihat terus ke luar jendela mobil tanpa menolehkan wajahnya.
Tak terasa, Rasyid menghentikan mobil tepat di depan rumah Bu Mina. Tak lama, Bu Zaenab juga ikut turun. Dalam hati, Rasyid sepertinya harus berterima kasih dengan mereka, karena telah dapat mempertemukannya dengan Siti Nadira dalam kesempatan yang kebetulan itu. Tinggallah mereka berdua di atas mobil. Tampak Siti Nadira ingin mengatakan sesuatu.
“Saya duduk di belakang saja, Pak !”, pinta Siti Nadira dengan gugup. Rasyid hanya mengangguk.
“Halo... Nadine. Dimana kamu sekarang, Nak ?”, dari belakang, Siti Nadira terlihat gusar sambil menaruh handphone ke telinganya.
“Nadine itu siapa, Bu ?”, Rasyid angkat bicara mencairkan suasana menepis rasa malunya.
“Dia anak saya, Pak. Dia menunggu pulang kuliah sampai hujannya reda. Dia mengkhawatirkan saya, tapi aku lebih khawatir... apalagi kalau naik motor sendiri dengan cuaca seperti ini. Katanya, saya harus berterima kasih pada Rasyid, eh... maksud saya Bapak Rasyid dan Bu Zaenab”, Siti Nadira agak ribet menutupi gugupnya yang tak terkendali.
Rasyid tersipu sambil tersenyum-senyum melihat Siti Nadira yang tetap sama perangainya sejak dulu. Ia tetap anggun dan murah senyum. Dia memang pemalu sama seperti Rasyid, tapi dia langsung ramah ketika diajak bicara. Dalam hati Rasyid, kesempatan itu tidak boleh terlewatkan, ia harus mengatakan sesuatu pada Siti Nadira seperti melanjutkan kisah lalu...
“Apa Bu Nadira keberatan kalau saya melamarmu, nanti... ?”, Rasyid mulai mengumbar perasaannya, namun Siti Nadira tampak tak berkutik.
“Mohon maaf, jika ini menyakitimu... Aku memang salah menggunakan kesempatan ini. Tapi, apakah salah jika saya mencintaimu kali ini ketika kau sudah tak termiliki. Dan apakah salah jika saya mencintaimu tanpa memilikimu sejak dulu. Terus terang ini di luar rencanaku. Ini semua karena Bu Zaenab dan Bu Mina yang meminta kamu ikut ke mobilku. Apalagi ketika Bu Mina menceritakan tentang hidupmu kepadaku, aku menjadi semakin terdesak... Sekali lagi saya minta maaf dengan kata-kataku tadi. Itu adalah bagian dari perasaan cintaku padamu yang selama ini terpendam. Dan... kumohon, terimalah aku kali ini”, Rasyid menghentikan mobilnya karena tidak bisa mengendalikan kemudi perasaannya. Siti Nadira hanya menundukkan matanya. Ia masih belum angkat bicara. Suasana menjadi hening.
“Kalau begitu, dimana rumah Ibu ?”, Rasyid mengalihkan pertanyaannya, seakan-akan kata-katanya tadi hilang begitu saja. Ia merasa, Siti Nadira sudah tiada harapan lagi untuk dicintai olehnya.
“Sebentar lagi ada kios di pinggir jalan sana, turunkan saja saya disitu”, tegas Siti Nadira.
“Tidak, saya akan mengantarmu pulang tepat di depan rumahmu. Saya harus tanggung jawab untuk mengantarmu seperti Bu Zaenab dan Bu Mina”, pinta Rasyid.
“Tapi, Pak. Tolong dengarkan saya...”, Siti Nadira mengelak.
“Sudahlah... kamu jangan terlalu terbawa perkataanku tadi. Yang penting aku sudah jujur mengungkapkan semua perasaanku tadi. Nadira, kamu harus tahu bahwa semenjak aku mengenalmu, hidupku telah banyak berubah. Begitu banyak wanita yang kukenal dan begitu banyak wanita yang mencoba mencintaiku tapi hanya kamulah yang bisa membuatku jatuh cinta selama hidupku. Kau yang telah mengajarkan perasaan cinta pertama kepadaku. Meski tak harus memiliki, kau tetap jadi yang pertama bagiku. Saat aku dijodohkan dalam tali pernikahan, kau telah terhapus sejenak dari hidupku. Entah mengapa, takdir telah memisahkan kita dan takdir pula yang mempertemukan kita kembali dalam keadaan saling sendiri. Saat aku bertemu denganmu kembali di saat ini, aku mencoba menahan perasaanku. Gelora jiwaku bangkit kembali tepat di saat aku tahu kau sudah hidup menjanda. Mohon jujurlah padaku, Nadira. Apakah aku tak pantas mencintaimu, atau... aku salah pernah mencintaimu ?”, Rasyid terbakar perasaannya.
“Hentikan saja mobilnya disini, Pak. Aku turun saja disini”, Siti Nadira menjadi garang.
Rasyid menghentikan mobilnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menghentikan Siti Nadira. Siti Nadira berlari keluar mobil menembus derasnya hujan. Perasaannya seperti berkecamuk, hingga membuatnya menjadi tampak marah. Rasyid hanya mampu pasrah seraya menaruh kepalanya ke setir mobil dihadapannya.
* * *
Hujan telah lama reda. Kejadian tadi siang membuat Rasyid terus merasa bersalah dalam sesal. Ia terus kepikiran, tak tahu harus berbuat apa.
“Mengapa aku harus mengatakannya ? Tapi salahkah bila aku berterus terang... Maafkan aku Yaa Allah..., aku sudah terlalu tergesa-gesa memaksa Nadira. Mohon petunjuk  Mu Yaa Rabb, hambamu ini telah terusik cinta. Jika Ia memang bukan jodohku, mengapa aku terus memaksakan diri untuk memilikinya. Bantu aku Yaa Rabb untuk tidak melanggar batasan Mu...,” harap Rasyid dalam hati kecilnya.
Tiba-tiba HP nya berdering, rupanya Bu Mina menelepon. Rasyid malas untuk mengangkatnya. Perasaannya masih terganggu oleh kejadian tadi. Hingga sms masuk ke inboxnya bertuliskan, “Pak, mohon maaf sebelumnya mengganggu. Kata Bu Siti Nadira, coba cek mobilnya, sepertinya HP nya ketinggalan. Kalau sudah ketemu, telpon ke nomor ini, terima kasih”. Melihat itu, Rasyid langsung memeriksa mobilnya di garasi. Rupanya HP Siti Nadira benar-benar ketinggalan, mungkin karena kejadian tadi yang merusak semuanya. Karena terus dikejar rasa bersalah, Rasyid menelepon nomor Nadine yang tertera di sms Bu Mina tadi.
“Halooo... Assalamu’alaikum... dengan Nadine, ya ?”
“Wa’alaikum salam. Ini siapa ?”, suara Nadine terdengar senada dengan ibunya.
“Saya bapak kepala sekolah dari tempat kerja Bu Siti Nadira. Bilang HP nya sudah ketemu di mobil !”
“Baiklah, terima kasih !”
Rasyid lega. Ia kembali masuk ke kamarnya untuk tidur, karena malam juga sudah larut. Tiba-tiba HP nya berdering kembali.
“Halo, ada ada apa, Nadine ?”. Sejenak tak ada suara, Rasyid kembali mengulangi bicara. “Haloo, dengan...”. Sebuah suara sudah mulai terdengar. “Saya, Bu Nadira, Pak !”.
Suasana sejenak hening. Sepertinya, Siti Nadira mulai berani bicara. Entah ada perasaan bersalah di antara keduanya, atau karena terbawa sebuah perasaan cinta.
“Saya mohon maaf atas kejadian tadi, Pak. Seharusnya saya tidak menanggapi terlalu serius pernyataan Bapak. Aku baru sadar, harusnya aku menghormati Bapak. Terus terang... aku tidak pantas untuk dicintai lagi, karena saya pernah membuatmu sakit hati lantaran aku tidak langsung menyatakan tentang diriku yang sebenarnya. Waktu itu, aku merasa takut untuk menyakitimu, kau terlalu baik untukku, hingga... kamu tahu dari teman-teman bahwa aku sudah punya suami. Tapi, pada saat pertama kali kau dan aku saling mengenal, di saat itu pula ada perasaan yang lain, entah itu cinta atau... sekedar perasaan biasa. Namun keadaannya lain, aku sudah termiliki lebih dulu...”, Siti Nadira mengungkapkan perasaannya dengan terang penuh hati-hati.
“Justru akulah yang bersalah, Nadira. Aku juga minta maaf. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan perasaan...”, Rasyid memotong pembicaraan Siti Nadira meski ia mendengarkan secara detail kisah masa lalu mereka berdua. Dalam hati Rasyid, sepertinya masih ada sinyal baru untuknya.
“Tidak, aku yang harusnya minta maaf. Aku sebenarnya ingin menerima tawaran Bapak, tapi keadaannya sudah berbeda. Aku seorang janda yang punya bebang seorang anak dan ibu yang sering sakit-sakitan. Sedangkan Bapak seorang kepala sekolah yang terpandang, yang seharusnya mencari wanita yang lebih baik dari saya...”, Siti Nadira terdengar sesak dan merendah diri.
“Nadira... dengarkan aku. Aku tak peduli dengan kata-katamu itu. Itu hanya sebuah alasan yang tak penting untuk direndahkan. Sebuah perasaan cinta sejati tak akan pernah terhalangi oleh alasan apapun, justru itu adalah sebuah ruang bagiku untuk terus tak berhenti mencintaimu sampai detik ini. Kalau bukan karena cinta, aku tak akan pernah mengusikmu secepat ini. Sudah terlalu lama aku ingin mencintaimu seutuhnya tanpa melupakan seseorang yang pernah juga menjadi bagian dari hidupku. Jika itu memang keinginanmu, mengapa kita harus dipertemukan kembali seperti ini ? Apakah kau akan terus membuatku sakit hati atau aku yang akan terus membuatmu tak bisa menghindari perasaanku. Mohon berikan aku kesempatan kedua untuk bisa memilikimu, Nadira....”, Rasyid terus berulah perasaan. Siti Nadira terisak, tak bisa berkata apa-apa.
“Nadira... aku akan tetap mencintaimu sampai tiada yang bisa mencintaimu”, Rasyid membisikkan kata terakhirnya malam itu.
* * *
Kejadian itu membuat hati Siti Nadira luluh juga. Rasyid langsung meminang Siti Nadira dengan perantaraan keikhlasan Siti Hawa, ibunda dari Siti Nadira. Kesempatan kedua membuat sebuah reuni asmara yang sudah lama terlewatkan. Keduanya memang saling mencintai, meski sela waktu tak cukup memisahkan mereka dari amnesia cinta di antara kisah lalu. Kini, Rasyid mencium kening Siti Nadira untuk pertama kalinya di hadapan restu pernikahan sejati. Mereka terbawa dalam buaian melanjutkan kisah cinta yang sempat terputus oleh takdir.
“Aku harap, ini adalah pernikahan terakhirku. Jodoh tetap di tangan Tuhan, dan kuingin takdirku berpihak pada Siti Nadira. Memilikinya bukan berarti melupakan Fathimah, istri pertamaku. Keduanya sudah menjadi milikku seutuhnya ketika Siti Nadira memeluk erat-erat ketiga anakku. Mereka tetap menjadi bidadari-bidadari surga bagiku, meski dalam dunia berbeda. Dan... mendiang suami Siti Nadira ikut menjadi bagian terindah ketika Nadine masuk ke dalam pelukan hidupku. Selebihnya, kuserahkan semua kembali pada-Nya...”, harap Rasyid dalam hati.

=*=*=*=*=

Makalah Ketahanan Keluarga Sebagai Basis Dalam Pengokohan Ketahanan Nasional



KETAHANAN KELUARGA SEBAGAI BASIS DALAM
PENGOKOHAN KETAHANAN NASIONAL

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sebuah keluarga dibentuk dari sepasang manusia untuk membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Keluarga merupakan unsur paling kecil dari masyarakat, bangsa, negara dan dunia. Keluarga menyatukan dua pikiran berbeda membangun sebuah komitmen dalam memulai hidup baru. Hidup baru untuk mandiri, menggapai keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Dalam hal ini ketahanan keluarga sangat diperlukan sebagai struktur manajemen pemberdayaan diri untuk menjaga eksistensi kesejahteraan hidup berkeluarga.
Jika ketahanan keluarga dapat tercapai, maka pengokohan ketahanan nasional dapat terwujud dengan mudah. Namun setiap keluarga dalam lingkungan masyarakat bernegara harus mempunyai komitmen untuk mencapai ketahanan keluarga sebagai basis dalam pengokohan ketahanan nasional. Tentu hal ini tidak mudah, banyak tantangan masalah yang harus dihadapi sehingga perlu perencanaan strategi dan kematangan untuk bisa merealisasikannya. Maka dari itu, setiap unsur keluarga harus bisa menjalin komunikasi gotong-royong dan kebersamaan, menyelesaikan setiap permasalahan, menemukan solusi yang tepat serta tindakan yang bijak dalam menangani dan mengantisipasinya.

B.  Rumusan Masalah
Bagaimana ketahanan keluarga dapat menjadi basis dalam pengokohan ketahanan nasional ?

C.  Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perlunya ketahanan keluarga sebagai basis dalam pengokohan ketahanan nasional. Diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi setiap keluarga sebagai unsur masyarakat bernegara dalam membangun ketahanan keluarga menuju terciptanya ketahanan nasional.

PEMBAHASAN

A.  Konsep Ketahanan Keluarga
Kesatuan sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat manusia adalah keluarga. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting, karena di dalam sebuah keluarga berlangsung proses sosialisasi yang akan berpengaruh besar terhadap tumbuh dan berkembangnya setiap individu, baik secara fisik, mental maupun sosial. Oleh karena itu, tugas utama keluarga untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial semua anggotanya, mencakup pemeliharaan dan perawatan anak-anak, membimbing perkembangan pribadi, serta mendidik agar mereka hidup sejahtera.
Menurut Achir (1999), suatu keluarga dikatakan memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi, apabila keluarga itu dapat berperan secara optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggota-anggotanya. Karena itu, tanggung jawab keluarga meliputi pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan lain lain. Sehubungan dengan tanggung jawab tersebut, maka fungsi keluarga meliputi: fungsi cinta kasih, perlindungan atau proteksi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pengembangan lingkungan.
Menurut pemikiran Achir tersebut, cara untuk mengetahui ketahanan keluarga dengan mencermati pelaksanaan sejumlah fungsi keluarga. Apabila sebuah keluarga telah mampu secara optimal melaksanakan sejumlah fungsinya, maka keluarga tersebut dapat dikatakan memiliki katahanan. Sebaliknya, apabila sebuah keluarga tidak mampu melaksanakan fungsi secara optimal, maka sebuah keluarga tersebut memiliki kerapuhan dan telah kehilangan eksistensinya.
Kemudian menurut Megawangi, Zeitlin dan Garman (Sunarti dkk, 2003), ketahahan keluarga adalah kemampuan keluarga dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki serta menanggulangi masalah yang dihadapi untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik maupun psikosial keluarga. Dari dua definisi tersebut, unsur-unsur di dalam ketahanan keluarga adalah pengelolaan sumber daya manusia, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan.
Dikemukakan oleh Budhi Santoso (1994) dalam tulisannya “Ketahanan Keluarga sebagai Basis bagi Pembinaan Kualitas Sumber Daya Manusia”, bahwa betapapun sederhananya kehidupan suatu keluarga, pasti mengembangkan organisasiasi sosial yang masing-masing menjamin ketertiban dan pencapaian tujuan hidup bersama. Organisasiasi sosial itu pada intinya meliputi pengaturan hubungan sosial antar anggota (social alignment), cita-cita atau tujuan bersama yang mengikat kesatuan sosial yang bersangkutan (social media), ketentuan sosial yang disepakati sebagai pedoman dalam pergaulan social (social standard) dan penegakan ketertiban hidup bersama (social control). Berdasarkan pemikiran ini, maka setiap orang, baik sebagai individu, anggota keluarga maupun anggota masyarakat terikat oleh keempat norma sosial tersebut dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Sebuah keluarga dibangun dengan ikrar pernikahan untuk mencapai rumah tangga yang sakinah (ketenangan/ketenteraman), mawaddah (rasa cinta) dan warahmah (penuh kasih sayang). Ikrar ini mengikat satu sama lain membangun komitmen seia sekata, penuh tanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan masa depan anak-anaknya.
Unsur keluarga terdiri dari ibu, ayah dan anak-anaknya. Sang ibu berperan sebagai pemberi kasih sayang yang penuh kelembutan dan kebijaksanaan dalam merawat anak-anaknya. Sang ibu adalah sosok perempuan penyemangat dan pembimbing, mengontrol pertumbuhan dan perkembangan sang anak. Dia adalah penentu kebijakan disamping keberadaan sang ayah. Sedangkan sang ayah adalah sosok pemimpin rumah tangga. Dia bertanggung jawab dalam segala hal menjalankan penghidupan keluarga. Dia adalah penentu keputusan dalam berbagai permasalahan dan tindak tanduk keluarga. Anak-anaknya sendiri adalah anggota keluarga yang berperan membantu kedua orang tuanya secara bersama-sama sekaligus menaati peraturan yang berlaku dalam kehidupan keluarga.
Pendidikan bagi anak-anak memang paling penting diperhatikan. Pendidikan keluarga sebagai lembaga pendidikan informal yang pertama dan utama bagi masa depan anak-anak. Anak-anak harus dipersiapkan lebih baik sebelum mengecap pendidikan dan kehidupan baru di luar rumah. Mereka adalah generasi-generasi penerus yang juga menjadi landasan utama unsur ketahanan keluarga. Pendidikan moral, agama dan etika adalah bekal utama sebagai kesiapan mereka menuju sekolah. Pendidikan tersebut harus tetap ada sampai mereka lepas dari tanggung jawab orang tua. Kedua orang tua adalah guru utama yang harus memberikan keteladanan yang baik sebagai pendidikan natural bagi anak-anaknya. Perhatian dan bimbingan khusus harus diberikan secara kontinyu untuk mengontrol perkembangan sang anak. Jangan sampai ada istilah “lepas tanggung jawab” ketika sang anak mengalami salah asuhan karena kurangnya perhatian dari orang tua.
Untuk mempertahankan keutuhan keluarga, setiap anggota keluarga punya tanggung jawab dan tugas masing-masing yang harus dipenuhi. Berusaha untuk saling mengisi, saling menjaga dan mengingatkan satu sama lain. Selalu mengutamakan kedisiplinan, kebersamaan, keadilan dan keimanan dalam setiap kesempatan apapun. Semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh demi mempertahankan eksistensi dan konsistensi keluarga.
Kesemuanya itu dibutuhkan perencanaan yang matang dengan menyiasati struktur manajemen pemberdayaan diri masing-masing dalam berkeluarga. Keluarga berencana yang bahagia, mandiri, sejahtera dan konsisten terhadap ikrar pernikahan. Segala persoalan diselesaikan dengan komunikasi seimbang, prinsip gotong royong dan mengambil keputusan secara musyawarah mufakat. Hal inilah yang akan menjadi penentu ketahanan keluarga. Jika komitmen antar anggota keluarga tidak bisa dipertahankan, maka ketahanan keluarga juga tidak akan mudah tercapai.

B.  Refleksi Ketahanan Keluarga dalam Konsep Ketahanan Nasional
Jika direfleksikan sebagai sebuah negara, maka ketahanan keluarga dapat dikatakan menunjang proses menuju ketahanan nasional. Keluarga merupakan unsur terkecil dalam lingkungan sebuah negara. Keluarga juga dapat menjadi gambaran sebuah negara karena struktur pembentuk dan hubungan unsur-unsur yang sama. Gambaran keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah memberikan kesan sebuah negara yang ingin membangun sebuah bangsa yang merdeka, makmur dan sejahtera sebagai unsur terpenting dalam mencapai ketahanan nasional.
Ketahanan pribadi adalah salah satu faktor pendukung utama dalam unsur-unsur pembentuk ketahanan nasional. Ketahanan pribadi ditumbuhkan karena adanya ketahanan keluarga, disini arti ketahanan keluarga adalah karena adanya pengaruh yang besar dalam ketahanan pribadi. Keluargalah yang memberitahu dan mengajari serta menunjukkan arti pentingnya dari pertahanan pribadi dimana setiap pribadi belajar tentang arti penting dari sebuah ketahanan yang bertujuan untuk memacu ketahanan nasional.
Ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bangsa yang meliputi segenap kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan ancaman, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun dari luar, untuk menjamin identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mencapai tujuan nasional (Lemhanas, 2000: 98). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ketahanan nasional sangat diperlukan. Ini dimaksudkan agar bangsa dapat melangsungkan kehidupannya yang sejahtera, merasa aman, jauh dari ancaman, tetapi harus selalu tetap waspada terhadap apa yang akan terjadi.
Ketahanan nasional memiliki sifat-sifat mendasar, yaitu: mandiri, dinamis, manunggal, wibawa, serta konsultasi (saling mendengarkan pendapat) dan kerjasama. Selain sifatnya, ketahanan nasional mempunyai beberapa asas yang sangat penting, berdasarkan Pancasila, UUD 1945 serta wawasan nusantara, yaitu: asas kesejahteraan dan keamanan, asas komprehensif/menyeluruh terpadu serta asas kekeluargaan. Ketahanan nasional juga memiliki konsepsi yang penting untuk diketahui, yaitu: ketangguhan, keuletan, identitas, integritas, ancaman, serta hambatan dan gangguan (Ningrum, 2013).
Seperti halnya ketahanan keluarga, untuk mencapai ketahanan nasional harus dilandasi komitmen (ikrar) bagi seluruh unsur penerus bangsa ini. Untuk membangun bangsa yang madani, konsep politik bangsa harus direncanakan dengan strategi yang matang dan berdayaguna bagi keutuhan dan kesejahteraan bangsa. Jika konsep politik dari setiap penjuru bangsa dikotori hal-hal negatif, maka tentu akan berimbas buruk bagi terciptanya ketahanan nasional. Berbagai permasalahan yang bermunculan butuh solusi yang tepat agar dapat menyelesaikannya secara bijak. Butuh kesediaan kerjasama yang baik, komunikasi yang berkelanjutan, prinsip gotong royong kebersamaan serta pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat dalam menanganinya.
Tanggung jawab sudah berada di tangan masing-masing untuk mengurus bangsa ini dengan profesional. Amanah sudah lama ditakbirkan dalam hati untuk konsisten dalam tugas, konsekuen dalam segala tindakan. Keadilan juga harus menjadi prinsip utama dalam menjamin kesejahteraan dan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedisiplinan harus terus dijaga yang mengacu pada segala peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku. Selain itu, ketegasan dan kebijaksanaan pemimpin bangsa terhadap segala keputusan dan komitmen yang diambil adalah unsur integritas penting dalam menjaga ketahanan nasional kita.
Para petinggi negara harus terdepan dalam menjaga keteladanan yang baik terhadap para generasi muda. Jangan menjadikan korupsi sebagai budaya di setiap kesempatan institusi pemerintahan, tetapi berusaha untuk membuat prestasi dalam memajukan bangsa menjadi lebih baik lagi di mata rakyat maupun di mata dunia. Spiritualitas keimanan juga harus menjadi landasan dalam mengontrol politik dan kebijakan yang diambil untuk kemaslahatan bangsa. Langkah nyata harus selalu diprioritaskan demi membangun bangsa yang lebih mandiri, sejahtera, berkarakter dan merdeka.
Salah satu kunci penting ketahanan nasional adalah pendidikan. Pendidikan untuk anak bangsa adalah bekal paling mendasar dalam menjaga kualitas generasi penerus bangsa ini di masa depan. Selain itu, revolusi perbaikan mental harus diwujudkan di setiap unsur bangsa dari atas sampai ke bawah. Keadilan dan kesejahteraan difokuskan secara luas dan merata. Sudah saatnya pembangunan mulai dipusatkan di daerah-daerah terpencil dan tertinggal. Sehingga daerah-daerah tersebut dapat terekspos oleh pembangunan dan juga dapat memberikan kontribusi penting terutama dalam bidang pariwisata, budaya dan industri lokal.   
Motivasi untuk mandiri (berswasembada) juga harus lebih ditekankan untuk kemajuan kualitas bangsa dengan memperbanyak kuantitas sarana pendidikan dan keterampilan dari berbagai unsur masyarakat. Dengan pendidikan dan keterampilan, pendirian bangsa ini akan terangkat lebih maju dan berkembang lebih baik. Anak-anak berprestasi harus didukung dan dirangkul secara khusus untuk mempersiapkan mereka dengan matang dengan ketersediaan fasilitas dan proyek yang lebih lengkap dan memuaskan.
Refleksi ketahanan keluarga dengan ketahanan nasional tersebut merupakan gambaran yang konkret dan kompleks. Jika ketahanan keluarga dapat diwujudkan dengan baik, maka akan berimplikasi pada dua kesimpulan. Pertama, ketahanan keluarga dapat menjadi langkah awal dalam mewujudkan ketahanan nasional yang tentunya harus dijadikan prioritas bagi setiap keluarga untuk menggapai keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Kedua, ketahanan keluarga dapat menjadi refleksi pembelajaran dasar menuju terciptanya ketahanan nasional.
Ketahanan keluarga yang bahagia, sejahtera dan mandiri dapat menjadi basis penting dalam pengokohan ketahanan nasional. Dari gambaran di atas, sudah jelas dipaparkan antara ketahanan keluarga dan ketahanan nasional. Gambaran tersebut merefleksikan persamaan antar keduanya dalam mewujudkan ketahanan yang diharapkan sebagai bentuk antisipasi terhadap segala kemungkinan, barometer persaingan global, serta sebagai wujud kualitas kemajuan. Sehingga dapat dikatakan ketahanan keluarga sejajar dengan ketahanan nasional, keduanya bersinergi membangun kekuatan utuh satu sama lain. Berawal dari ketahanan keluarga sebagai basis pengalaman, pembelajaran, kematangan dan semangat untuk lebih maju yang selanjutnya berimplikasi dalam bentuk aplikasi nyata yang diperjuangkan untuk mencapai ketahanan nasional dalam kehidupan berbangsa.
Jika setiap lingkungan keluarga dalam lingkungan bernegara menerapkan konsep ketahanan keluarga seperti yang telah dipaparkan sebelumya, maka otomatis ketahanan nasional akan lebih mudah tercapai. Sehingga konsep ketahanan nasional juga dapat lebih mudah untuk diwujudkan seiring dengan konsep ketahanan keluarga, secara bersama-sama saling melengkapi dan saling mendukung menuju tercapainya satu titik ketahanan nasional. Dengan kata lain, setiap unsur pribadi dalam keluarga dan setiap unsur keluarga dalam masyarakat bernegara harus saling bekerjasama membangun ketahanan nasional yang lebih tangguh, mandiri, dan sejahtera.


PENUTUP

A.  Kesimpulan
Ketahanan keluarga dapat menjadi basis dalam pengokohan ketahanan nasional, jika semua unsur masyarakat dapat menerapkan konsep rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Setiap unsur dalam keluarga harus membangun sebuah komitmen untuk hidup sejahtera, tanggung jawab dalam amanah, membudayakan kedisiplinan, keteladanan dan konsep keadilan, serta menerapkan kerja sama, gotong royong dan musyawarah dalam keluarga. Hal ini dapat berimbas positif bagi ketahanan nasional melalui pendidikan informal dan pengalaman secara matang dalam kehidupan berkeluarga. Sehingga ada semangat kemajuan untuk ikut membantu mewujudkan kehidupan berbangsa yang lebih baik sebagaimana yang diterapkan dalam kehidupan keluarga. Selain itu, ketahanan keuarga dapat melahirkan generasi-generasi penerus baru yang lebih matang dan memiliki daya saing alami untuk mewujudkan ketahanan nasional yang lebih baik.

B.  Implikasi
Sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia yang baik, bersama-sama mewujudkan ketahanan nasional mulai dari dalam diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam berkeluarga, kesempatan tersebut lebih luas untuk menerapkan komitmen membangun ketahanan keluarga melalui konsep keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Meskipun banyak ketimpangan yang terjadi dalam negeri ini, seharusnya kita jangan ikut-ikutan terbawa dalam arus negatif politik. Kita harus mengubah mindset masing-masing untuk ikut terlibat memperbaiki nasib masa depan bangsa ini dengan langkah kecil dalam lingkungan keluarga. Dengan begitu, anak-anak yang kita bimbing dalam lingkungan keluarga bisa belajar dari perjuangan mewujudkan ketahanan keluarga sebagai langkah awal dalam menggapai ketahanan nasional yang lebih mandiri, sejahtera, berkarakter, berwibawa dan berbudaya.



DAFTAR PUSTAKA

Achir, Yaumil Agus. 1999. Pembangunan Kesejahteraan Keluarga Sebagai Wahana Pembangunan Bangsa. Prisma.

Ningrum, Nadya Puspa. 2013. Konsep Ketahanan Nasional Serta Peran Masyarakat dalam Mewujudkannya. Dalam http://nadyapuspaningrum.blogspot.com/2012/05/ketahanan-nasional.html


Santoso, S. Budhi. 1994. Ketahanan Keluarga Sebagai Basis bagi Pembinaan Kualitas Sumber Daya Manusia. Jakarta: Badan Litbang Kesejahteraan Sosial.

Sunarti, Euis, dkk. 2003. Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga. Media Gizi dan Keluarga, Juli, 2003, 27 (1) I-II.

 

 Rangas TamMalassu-Majene, 20 April 2015