Sabtu, 11 Januari 2014

Makalah Pendidikan Homeschooling Tugas Kuliah Filsafat Pendidikan Islam


TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH            :  FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING  :  MUH. HIDAYAT, M. Phil









                     Pendidikan Homeschooling




 



















STAI–DDI MAJENE
T. A. 2012 / 2013

KATA PENGANTAR

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Atas berkat dan hidayah-Nya-lah, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula Shalawat serta salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW sebagai "Uswatun Hasanah" bagi dunia pendidikan Islam.

Makalah yang berjudul “Pendidikan Homeschooling” ini sengaja saya susun sebagai tugas individu sekaligus sebagai bahan diskusi pada tatap muka perkuliahan FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.

Akhirnya, saya sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan baik dari segi penulisan maupun isi di dalamnya. Untuk itu, saya sangat mengharapkan saran ataupun kritik yang bersifat membangun dari berbagai pihak terutama dari Dosen Pembimbing yang bersangkutan, demi kesempurnaan pembuatan makalah-makalah selanjutnya.

Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi diri saya pribadi, Amien… !!!

Minallahil Musta'an Wa'alaihit Tiklan

       Majene, 1 Januari 2013
                                                                      Penyusun,


                                                            


BAB I
PENDAHULUAN
 
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan suatu hal yang penting yang harus dimiliki oleh setiap orang. Karena melalui pendidikan seseorang memperoleh informasi dan pengetahuan yang nantinya dapat digunakan dan diterapkan pada kehidupannya.

Banyak orang beranggapan bahwa pendidikan hanya bisa diperoleh di sekolah formal. Padahal pendidikan di sekolah formal tidak sepenuhnya bisa memberikan apa yang diharapkan orang tua terhadap anaknya. Pendidikan formal sering kali memberikan rasa jenuh kepada anak, jam pelajaran yang berlebihanlah yang mungkin menjadi penyebabnya. Jika UNESCO mensyaratkan 800-900 jam pelajaran per tahun untuk SD, Indonesia justru memberlakukan 1.400-an jam per tahun. Jika demikian anak akan merasa bahwa belajar itu tidak menyenangkan. Selain itu nilai-nilai moral, iman dan taqwa, dan pendidikan yang bermutu sering kali meskipun sudah diberikan di sekolah akan tetapi masih banyak menciptakan generasi bangsa yang yang tidak bermoral dan tidak berakhlak baik. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya generasi-generasi muda yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik seperti tawuran, membolos, menggunakan obat-obatan terlarang, membentuk geng-geng motor yang anarkis.

Dari bentuk kekecewaan orang tua tersebut diatas maka muncul ide-ide dari orang tua untuk memberikan pendidikan untuk anaknya di rumah. Pendidikan ini biasa disebut homeschooling. Tetapi apakah benar homeschooling ini benar-banar bias menjadi alternatif pendidikan untuk solusi diatas?

Untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai homeschooling sebagai pendidikan alternatif untuk anak.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah homeschooling merupakan solusi pendidikan alternatif untuk anak?
2. Mengapa homeschooling menjadi solusi pendidikan alternatif untuk anak?
























BAB II
PEMBAHASAN

A. HOMESCHOOLING
1. Pengertian homeschooling
Banyak pengertian mengenai homeschooling, dan berikut ini adalah beberapa pengertian menganai homeschooling, antara lain:
a) Homeschooling (Sekolah rumah), menurut Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga dan proses belajar mengajar pun berlangsung dalam suasana yang kondusif.
b) Homeschooling adalah model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya.
c) Homeschooling or homeschool (also called home education or home learning) is the education of children at home, typically by parents but sometimes by tutors, rather than in a formal setting of public or private school.

2. Jenis-jenis homeschooling
Dalam penerapannya ternyata homeschooling dibagi menjadi 3 jenis, adapun jenis-jenis tersebut antara lain:
a) Homeschooling tunggal, merupakan homeschooling yang hanya melibatkan orang tua dalam satu keluarga dan tidak bergabung dengan keluarga lainnya. Pada homeschooling tunggal peran orang tua sangatlah penting sebagai pembimbing,teman belajar ataupun penilai. Homeschooling ini memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi karena dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.
b) Homeschooling Majemuk, dilaksanakan oleh dua keluarga atau lebih untuk kegiatan tertentu, sedangkan kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing. Homeschooling ini dapat merangsang insting sosial anak karena melibatkan anak-anak lain. anak akan terpacu pula untuk berkompetisi sehingga akan timbul semangat untk bersaing untuk berprestasi menjadi yang lebih baik akan tetapi tetap positif.
c) Homeschooling Komunitas, merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, RPP, bahan ajar, sarana, serta jadwal pembelajaran. Peserta didik yang mengikuti homeschooling komunitas memiliki ruang gerak sosialisasi yang lebih luas dibandingkan dengan homeschooling lainnya.

3. Kurikulum
Banyak kurikulum yang dapat di jadikan acuan bagi orang tua, akan tetapi keputusan penuh berada pada orang tua. Orang tua dapat menggunakan kurikulum Depdiknas ataupun kurikulum international yang sudah banyak keberadaannya. Akan tetapi meskipun sudah banyak kurikulum yang ada orang tua tidak bisa sepenuhnya mengikuti salah satu kurikulum tanpa memperhatikan kemampuan dan kemauan anak. Kurikulum tetap harus dikondisikan sesuai dengan kemampuan dan kemauan anak agar tetap berjalan lancar.

4. Kelemahan dan kelebihan homeschooling
Pada dasarnya tidak ada satupun model pendidikan yang sempurna. Begitu pula homeschooling, model pendidikan ini juga tidaklah sempurna dan memiliki kelemahan maupun kelebihan,yaitu:
a) Kelebihan Homeschooling
1) Memberikan ruang yang luas bagi anak untuk mengembangak kreativitasnya dengan susasana yang nyaman tanpa ada tekanan.
2) Melindungi anak dari NAPZA, pengaruh-pengaruh buruk seperti pergaulan yang menyimpang.
3) Lebih disiapkan untuk kehidupan nyata .
4) Membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi dan lingkungan social.
5) Memberikan peluang berinteraksi dengan teman sebaya di luar jam belajarnya.
6) Pelajaran yang akan dipeljari dapat diatur sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga.

b) Kelemahan Homeschooling
1) Membutuhkan tanggung jawab orang tua yang besar karena banyak menyita waktu orang tua dalam pelaksanaannya, sehingga bagi orang tua yang memiliki pekerjaan yang sibuk akan sulit mengonrol dan melaksanakan homeschooling.
2) Dapat timbul ketergantungan pada anak terhadap orang tuanya.

B. SEJARAH HOMESCHOOLING DI INDONESIA
Tidak dapat diketahui persis kapan homeschooling masuk ke Indonesia, akan tetapi ternyata sejak dulu homeschooling sudah diterapkan di Indonesia. Ki Hajar Dewantara dan K. H. Agus Salim merupakan orang yang telah menerapkan homeschooling.

Ki Hajar Dewantara memiliki ide untuk menjadikan rumah sebagai tempat sekolah. Bahkan dalam buku yang berjudul Karja Ki Hadjar Dewantara, bagian I: pendidikan yang diterbitkan oleh Madjelis Luhur persatuan Taman Siswa pada tahun 1962 tertulis pada salah satu artikel bahwa tiap-tiap orang djadi Guru; tiap-tiap Rumah djadi Perguruan!.

Selain Ki Hajar Dewantara ada pula K. H. Agus Salim yang sudah menerapkan homeschooling pada anaknya. Anak-anak K. H. Agus Salim tidak di sekolahkan melainkan dididik sendiri olehnya. Bahkan bukan hanya membaca, menulis, berhitung, belajar kesnian dan lainnya yang diajarkan, tapi juga berbagai bahasa asing.

C. HOMESCHOOLING SEBAGAI PENDIDIKAN ALTERNATIF UNTUK ANAK
Kenyataan bahwa pendidikan formal tidak bisa memberikan apa yang diharapkan oleh orang tua menjadikan homeschooling sebagai solusi pendidikan alternatif bagi orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan sesuai dengan yang diharapkan. Banyak beberapa pertimbangan bagi orang tua yang masih ragu untuk memilih homeschooling sebagai pendidikan anaknya, antara lain:

1. Sistem belajar dilakukan dan diawasi sendiri oleh orang tua
 Orang tua yang cenderung khawatir terhadap pengaruh negatif pergaulan anak dan tidak puas dengan kinerja sekolah formal dapat memilih homeschooling sebagai solusi . Hal ini dikarenakan homeschooling merupakan pendidikan yang pada pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh orang tua. Sehingga orang tua dapat memantau secara langsung perkembangan anak. Akan tetapi dengan catatan bahwa segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan homeschooling menjadi tanggung jawab penuh orang tua.

2. Kegiatan belajar flexibel
Nama sekolah rumah atau homeschooling bukan berarti kegiatan belajar sepenuhnya dilaksanakan dirumah. Kegiatan belajar dapat diatur atau dikondisikan sesuai dengan kebutuhan anak dan orang tua. Kegiatan belajar dapat dilakukan di maanpun dan kapanpun orang tua atau peserta didik mau. Misalnya pada saat orang tua akan pergi ke kantor pos untuk mengirim surat, pada saat itu pula orang tua dapat mengajarkan berbagai hal kepada anak seperti tata cara menulis surat yang baik, bahasa yang baik untuk menulis surat, langkah-langkah untuk mengirimkan surat, dan masih banyak yang lainnya.

3. Perkembangan psikologis anak
Banyak orang tua mengkhawatirkan dampak psikologis home schooling seperti kurangnya sosialisasi anak dengan temannya. Padahal sebenarnya orang tua tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut, karena seperti yang telah dikemukakan pada bagian atas bahwa home schooling memiliki 3 jenis. Dan 2 dari 3 jenis home schooling tersebut merupakan jenis homeschooling yang pelaksanaannya dilakukan bersama-sama dengan keluarga lain. sehingga dampak buruk psikologis dapat ditanggulangi dengan kedua jenis home schooling tersebut. Orang tua yang memiliki anak yang sama-sama mengikuti home schooling dapat bekerja sama untuk sesekali mengumpulkan anaknya dalam kegiatan belajar bersama di suatu tempat yang sesuai dengan materi apa yang akan diajarkan.

4. Tersedianya sarana yang lengkap di lingkungan
Tersedianya sarana memang penting untuk diperhatikan mengingat tanpa adanya sarana yang lengkap maka jalanya proses kegiatan belajar akan terhambat. Dan yang menggembirakan perkembangan homeschooling pada saat ini juga diikuti dengan perkembangan fasilitas di dunia nyata. Fasilitas tersebut antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah, perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audivisual).

5. Pengakuan pemerintah terhadap Homeschooling
Homeschooling bukanlah pendidikan yang berdiri sendiri tanpa di akui oleh pemerintah. Homeschooling merupakan pendidikan yang mendapatkan pengakuan dari pemerintah hal ini dibuktikan dengan peserta homeschooling bisa mendapatkan ijazah oleh diknas. Ijazah tersebut bias didapat dengan mengikuti ujian kesetaraan. Selain itu pihak yang melaksanakan homeschooling harus proaktif dengan melapor pada dinas setempat agar dicatat.
Melihat beberapa pertimbangan di atas maka sepantasnya layak jika homeschooling dijadikan solusi pendidikan alternative untuk anak. Akan tetapi semuanya kembali pada pemikiran masing-masing orang tua, apakah percaya bahwa dengan homeschooling anak dapat menjadi pribadi yang lebih baik ketimbang bila di sekolahkan di sekolah formal.
























BAB III
P E N U T U P
 
A. KESIMPULAN
Dengan adanya ketidak puasan akan sekolah formal, kekhawatiran orang tua akan pergaulan anak, beberapa pertimbangan seperti sistem belajar dilakukan dan diawasi sendiri oleh orang tua, kegiatan belajar flexible, perkembangan psikologis anak, tersedianya sarana yang lengkap di lingkungan, dan pengakuan pemerintah terhadap homeschooling maka dapat diambil kesimpulan bahwa homeschooling merupakan solusi pendidikan alternatif untuk anak. Akan tetapi untuk keputusan semuanya dikembalikan lagi pada orang tua masing-masing anak.

B. IMPLIKASI
Bagi orang tua yang masih ragu untuk memilih homeschooling sebagai pendidikan alternatif untuk anak, sebaiknya benar-benar mempertimbangkannya matang-matang. Karena keputusan yang akan diambil adalah penentu bagi masa depan anak.












DAFTAR PUSTAKA

Kembara Maulia D, Homeschooling, Bandung: Progressio, 2007.

en.wikipedia.org/wiki/Homeschooling

http://www.pnfi.depdiknas.go.id/publikasi/edisi/20080115131519/Januari-2008--Program-PNFI-Makin-%60Membumi%60.html">Januari 2008 | Program PNFI Makin "Membumi"

http://erura.blogspot.com/2010/03/makalah-homeschooling-sebagai.html

Review Buku Tugas Kuliah Filsafat Pendidikan Islam



TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH           :   FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING    : MUH. HIDAYAT, M.Phil      



REVIEW BUKU
"PENDIDIKAN [AGAMA]
UNTUK MEMBANGUN
ETIKA SOSIAL"




 

STAI-DDI  MAJENE
T. A. 2012 / 2013

"PENDIDIKAN [AGAMA]
UNTUK MEMBANGUN ETIKA SOSIAL"
(Mendidik Anak sukses Masa Depan :
Pandai dan Bermanfaat)

Kondisi krisis sejak tahun 1999 yang lalu : krisis yang sering disebut dengan krisis multidimensional, krisis lingkaran setan, yang ujungnya adalah krisis kemanusiaan atau krisis sosial. Karena itulah, saudara kita tega bukan saja menghujat, namun juga membunuh saudara kita yang lain. Dan ini terjadi bagi anak sekolah, masyarakat dan bahkan lainnya. Karena krisis lingkaran setan itu diawali dari krisis etika para elite atau pemuka dan sampai akhirnya pada krisis etika kemanusiaan, maka harus diobati dengan cara perbaiakn etika, dari individual sampai dengan sosial yang diawali dari pendidikan kita, terutama sekali pendidikan agama kita. Kalau kita komitmen ingin memperbaiki kehidupan masyarakat kita, kita harus sanggup memperbaiki etika sosial kita yang tentunya berpangkal dari etika individual. Salah satu hal terpenting adalah lewat pendidikan kita. Namun, keberhasilan upaya ini akan sangat berat, jika para elit kita masih selalu tidak mempraktekkan etika sosial.

Kenyataan adanya tawur pelajar dan bentrok masyarakat, salah satu introspeksi kita adalah menilik kembali pendidikan kita. Tanpa sejauh pertanyaan tentang kenyataan sosial sebagai salah satu produk pendidikan, namun kenyataan di lapangan tersebut tidak dapat dipisahkan begitu saja dari praktek pendidikan kita di masa silam sampai dengan masa kini. Sudah barang tentu, ketika kita menyebut pendidikan, maka pendidikan agama termasuk di dalamnya dan justru perlu mendapatkan garis bawah. Berangkat dari kenyataan negatif yang dipraktekkan oleh masyarakat kita itulah, maka pendidikan kita perlu dikaji ulang. Langkah berikutnya adalah menganalisis secara kritis mengapa pendidikan kita seperti itu ? Dengan beberapa kekurangan, maka diperlukan reformasi pendidikan dan reorientasinya.

Ketika kita membicarakan reformasi pendidikan, kita perlu menegaskan kembali makna pendidikan dan sekaligus pendidikan Islam. Disinilah kita perlu mengaitkan dengan etika sosial. Sebab, pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembentukan karakter dan akhlak atau etika yang mulia. Dari pembentukan karakter atau etika individual itulah, kemudian dalam prakteknya akan terwujud etika sosial. Dan selama ini, orientasi pendidikan kita terhadap etika sosial sangat lemah; termasuk ketika para guru agama kita mengajarkan pendidikan Islam. Mengenai etika sosial sangat sering diidentikkan dengan moralitas sosial. Etika sosial akan terwujud, ketika tiap-tiap orang secara individu telah mempraktekkan moralitas, terutama dalam hal-hal berhubungan sesama manusia, sehingga kumpulan dari individu atau sosial itu benar-benar berperilaku etis. Menjunjung HAM termasuk cakupan etika sosial. Dengan kata lain, sasaran akhir dari pendidikan dan pendidikan agama pada khususnya adalah terbangunnya masyarakat yang beretika sosial. Ketika kita berbicara mengenai etika sosial, maka kita tidak lepas dari pergaulan dunia. Disinilah pentingnya berbicara mengenai nilai-nilai universal yang mempunyai akar dari agama untuk membangun etika sosial ini, termasuk dalam kerangka komunikasi global.

Visi pendidikan abad 21 UNESCO kaitannya dengan ajaran dalam Islam, tujuannya bukan hanya mensosialisasikan visi Unesco tentang pendidikan di abad 21, namun juga memberi arti tambahan, termasuk bernilai pendekatan :
1.        Sosialisasi sekaligus memberi landasan bagi umat Islam, bahwa apa yang diamanatkan oleh Unesco, tidak bertentangan dengan ajaran Islam, namun sejalan.
2.        Memberi penekanan pada nilai-nilai universal yang terkandung dalam ajaran Islam yang selama ini kurang mendapatkan perhatian untuk diungkapkan, terlebih lagi kepada para anak didik.
3.        Ini juga sekaligus sosialisasi tentang ajaran Islam yang sekaligus berarti nilai universal kepada saudara-saudara kita yang kurang memahami tentang Islam.
4.        Memberi keseimbangan kepada saudara-saudara kita yang memahami Islam dengan cara ekstrim dan eksklusif.

Hal ini mengandung arti sedang menjadi juru bicara Unesco dengan bahasa agama, atau sedang menjelaskan nilai-nilai Islam dengan bahasa Unesco.

Erat sekali kaitan antara fitrah dan akhirat dalam pemaknaan tanggung jawab. Justru disini ada nilai lebih dari ajaran Islam yang cukup terlupakan; yakni bahwa setiap perbuatan pasti ada tanggung jawab yang mempunyai konsekuensi akhirat kelak. Dengan kata lain, tanggung jawab tidak hanya sekedar bernilai administratif di dunia. Berangkat dari fitrah dan mentalitas inilah kemudian seseorang berkomunikasi dan bertransaksi dengan orang lain, sampai dalam wadah negara antar sesama warga negara dan antara warga dan penguasa atau sebaliknya. Jadi, konsep akhirat bukanlah hanya berkonsekuensi individual dan hanya ada di akhirat kelak, namun sekaligus mencakup tanggung jawab sosial. Dalam waktu bersamaan, ketika guru mengajarkan akhirat, juga harus memberi penekanan pada perilaku di dunia, oleh karena tidak mungkin akhirat dipisahkan dari perilaku di dunia. Lebih tegas lagi bahwa perilaku di dunia pasti akan mempunyai dampak atau konsekuensi di akhirat. Jadi, etika sosialpun sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari teropongan akhirat di kemudian hari. Dari kenyataan bahwa ajaran akhirat tidak dapat lepas dari kenyataan mengenai perilaku di dunia, sementara itu ketika kita berbicara mengenai dunia tidak lepas dari kemajuan, maka perlu kebebasan berpikir.

Hampir dapat dipastikan bahwa anggapan umum selama ini mengira bahwa pendidikan agama itu justru membelenggu atau memberi batasan-batasan untuk kebebasan yang positif, baik kebebasan berpikir apa lagi kebebasan bertindak. Jika agama diartikan seperti ini, maka agama tidak akan mampu memajukan pemeluknya dan jelas tidak akan mampu pula menjadikan pemeluknya sebagai manusia yang kehidupannya di dunia ini lebih baik. Dengan kata lain, jika diartikan seperti itu berarti jelaslah agama tidak sesuai dengan ajaran penting agama itu sendiri yang menghendaki umatnya untuk hidup di dunia yang baik (hasanah). Dan ini berangkat dari pemahaman dan pemaknaan terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ketika ada ajaran sangat umum diyakini oleh pemeluknya bahwa agama itu membelenggu pemikiran, maka disitulah yang harus diluruskan dengan pendekatan dari dalam itu sendiri. Jadi, ada upaya untuk merenovasi dan memberi inovasi pemahaman dan pemaknaan ajaran agama agar agama dapat menjadikan pemeluknya sukses di dunia (hasanah fi al-dunya), disamping juga sukses di akhirat (hasanah fi al-akhirah). Yang perlu dicatat adalah bahwa pelurusan pemahaman dan pemaknaan ini melalui jalur dari dalam itu sendiri, tidak kritik dari bahasa luar, yaitu dengan mengadakan reorientasi atau bahkan pelurusan pada praktek masyarakat tentang ajaran AhlusSunnah Wal Jamaah (ASWAJA). Aswaja sebagai ciri perilaku maupun sebagai manhaj (metodologi) yang menunjukkan kemoderatan dan toleransi sangat perlu dikemukakan dalam kondisi sekarang ini. Terlebih lagi, ini sangat sejalan dengan bahasa UNESCO "how to live together". Dengan adanya tanggung jawab yang mempunyai implikasi di dunia dan di akhirat, maka perlu ada penegasan yang lebih kongkrit mengenai arah pendidikan agama.

Dua hal dari empat arah pendidikan agama yang kurang mendapatkan perhatian selama ini adalah :
1.        Pendidikan agama justru harus mampu menjadikan landasan agama untuk mendalami disiplin-disiplin ilmu yang selama ini disebut dengan ilmu umum dan menjadi landasan untuk berprestasi semakin maju dan baik.
2.        Pendidikan agama harus pula menekankan nilai-nilai yang bersumber dari agama dalam kehidupan sehari-hari di dunia yang lebih baik, yang juga merupakan ajaran etika termasuk etika sosial.

Jadi, dengan penegasan kembali ini dimaksudkan agar pendidikan agama bukan hanya mengajarkan do'a dan tata cara ibadah kepada khalik-Nya. Namun, akan mampu berperan aktif untuk mendorong anak didik untuk lebih baik dan lebih maju serta untuk berkehidupan yang lebih santun dengan landasan etika sosial yang benar. Realitas masyarakat kita berbalikan dengan nilai-nilai ajaran etika sosial, terlebih lagi jika dikaitkan dengan ajaran Islam.

Sumber utama etika sosial bagi umat Islam adalah Al-Qur'an. Al-Qur'an pada intinya menegakkan ajaran moral dan sarat dengan wujud nilai-nilai moral, tidak selalu semata-mata dengan bahasa hukum yang terkesan menakutkan. Oleh karena itu, disamping kita harus introspeksi, kita harus juga mau menggali lebih dalam lagi tentang makna dan pelajaran etika yang ada di dalamnya. Padahal sudah jelas, ketika Al-Qur'an diamalkan oleh nabi dan para khulafa' Rasyidun, disitulah tampak kehebatannya.

Mengajarkan budi pekerti berkaitan erat dengan metode pengajaran nilai, termasuk ajaran agama dan norma etika. Mengajarkan nilai tidak sama dengan menyuruh anak didik untuk menghafal kata-kata bijak atau menghafal ayat-ayat Al-Qur'an; namun hendaknya mempunyai sistem pengajaran dan evaluasi yang komprehensif. Lebih dari itu, pengajaran etika, juga harus diberi contoh oleh institusi yang mengajarkan etika itu sendiri. Etika lingkungan yang merupakan bagian dari etika sosial sangat penting untuk diajarkan kepada anak didik. Mempraktekken etika lingkungan pada dasarnya untuk menjaga lingkungan, sedangkan menjaga lingkungan pada dasarnya juga untuk kelestarian kehidupan manusia sehingga pada akhirnya, kita sendiri yang akan menikmati manfaatnya, disamping kita juga memberikan kemanfaatan kepada generasi berikutnya. Sebaliknya, jika kita merusak lingkungan, kita pula yang akan menderita akibat negatifnya dan kita akan dicatat sebagai memberikan warisan kemudaratan kepada generasi yang akan datang.

Contoh lain yang sangat serius untuk dipahami dalam konteks etika sosial adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan) yang selama ini dianggap negatif dan tabu. Padahal sebenarnya netral (mempunyai potensi positif dan negatif) dan merupakan realitas yang tak dapat dihindari. Untuk membangun kembali potensi positifnya dalam konteks upaya mengurangi atau menghindari krisis kemanusiaan hendaklah selalu diikuti konsep nilai tentang respek dan tanggung jawab. Lebih dalam lagi, anak-anak yang tidak lepas dari SARA ini diharapkan akan saling belajar dan saling memberi dari tradisi-tradisi yang dimiliki oleh masing-masing kelompoknya. SARA tidak hanya netral, namun juga produktif dan bermanfaat bagi seluruh bangsa.

Respek dan tanggung jawab akan semakin produktif dan bermanfaat jika dibarengi dengan pemahaman dan praktek voluntarisme (kedermawanan) atau philanthropy. Ketika kita sudah mengajarkan dan sekaligus mempraktekkannya, maka sudah sekaligus mengajarkan dan mempraktekkan salah satu aspek dari Civic Education (Pendididikan Pancasila) kepada anak didik di sekolah dan madrasah. Sering pula kita saksikan, ketika ajaran zakat, shadaqah, infaq dan sesamanya disampaikan kepada orang lain, yang tampak adalah hukum sebagai bentuk pembebanan. Disinilah yang perlu kita sesuaikan dengan kondisi psikologis, sehingga ajaran yang bersifat kemanusiaan itu akan menampakkan wajah dan ciri kemanusiaan pula, bukan pembebanan.

Nilai dan ajaran etika sosial yang berangkat dari etika individual itu semua mempunyai akar dan sumber dari ajaran Islam. Oleh karena itu, bukan saja sudah seharusnya disosialisasikan kepada anak didik, dan terutama sekali kepada para guru dan orang tua, namun juga perlu ada pelurusan pemahaman dan pemaknaan ajaran Islam yang disampaikan kepada anak didik di sekolah/madrasah. Mengajarkan etika sosial merupakan kewajiban dalam sistem pendidikan kita. Dan terlebih lagi adalah kewajiban para guru agama kita dan kewajiban untuk menyampaikan pendidikan agama yang tepat dengan arah yang jelas. Kalau ini disadari dan dipraktekkan oleh kita semua para pendidik dan para pengelola pendidikan, termasuk orang tua murid, Insya Allah generasi kita akan diselamatkan dari krisis kemanusiaan yang sudah berkepanjangan ini.

Jangan berharap anak didik mampu menilai dan ikut berpikir memecahkan masalah jika model Problem Solving tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Jangan berharap anak didik berlaku etis jika aturan yang sarat dengan nilai-nilai moral dan agama tidak ditegakkan di sekolah. Jangan salahkan anak didik yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai moral, misalnya tanggung jawab, disiplin, jujur, adil, respect, dan semacamnya, jika pelajaran agama atau moral hanya bersifat hafalan; sementara itu kontradiksi antara kemampuan hafalan anak dengan kenyataan dalam perilaku tidak dihiraukan. Kini waktunya untuk mengevaluasi, mengoreksi dan pada akhirnya mereformasi sistem pendidikan kita dalam pengertian yang luas.




DIREVIEW DARI BUKU :
Azizy, A. Qodri, Prof., Dr., M. A., Pendidikan [Agama] Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan : Pandai dan Bermanfaat), Semarang : CV. Aneka Ilmu, 2003