Ayahku (Bukan) Seorang Koruptor
Oleh : Rusman Raymanda
Bukan maksudku untuk mencap negeriku sendiri, tetapi
inilah kenyataan terburuk yang menyerang nafsu para pejabat pemerintahan. Dari
dulu sampai sekarang, “korupsi” tak habis-habisnya menjadi drama trending
topic di berbagai media dan layar kaca. Perlahan-lahan, para koruptor
seakan terus berkembang-biak dan bermetamorfosis setiap tahun, setiap bulan,
bahkan setiap hari meneror suasana bangsaku yang rapuh. Padahal dari belakang,
rakyat kecil berteriak histeris meminta keadilan sang penguasa... Sungguh
ironis.
“Selamat siang, Pak !”, salah seorang mahasiswa
menghampiriku.
“Selamat siang..., apa ada masalah ?”
“Saya dan teman-teman BEM mau izin, Pak. Hari ini kami
ingin melakukan demonstrasi hari anti korupsi di depan gedung DPRD... “
Konsentrasiku tiba-tiba terganggu mendengar kata
“korupsi”. Aku masih saja tersinggung dengan kata-kata itu, padahal sepertinya
bukan ditujukan padaku. Entah ini hanya trauma ketakutanku saja... Aku beralih
senyum padanya, dan segera mempersilahkan Andri dengan teman-temannya bergegas.
Sejak kecil, trauma berkepanjangan menjadi tamparan hebat
buatku. Waktu itu, aku masih kelas dua SMP. Sepulang sekolah, rumahku tampak
lengang tanpa suara. Aku mengayunkan langkahku ke kamar dengan rasa penasaran.
Melihat pintu kamar ibu terbuka, dari dalam terlihat ibuku sedang menangis
terisak, ditemani kakak-kakakku disampingnya. Seketika itu, ibu langsung
melihatku sambil menyapu air matanya. Ia pun memanggilku.
“Musa, kamu baru datang, Nak !”, suara ibu agak serak.
“Ya, Bu... !”, ibu meraih tanganku dan memelukku seraya
membelai rambutku dengan lembut.
Aku menatap wajah ibu, “Kenapa ibu menangis ? Apa terjadi
sesuatu yang tidak kuketahui... atau... !”, ibu hanya menggeleng-geleng kepala.
“Besok kita akan pindah ke desa, ke rumah nenekmu.
Sepertinya... kita akan merasa lebih baik tinggal di sana.”
Saat itu, aku benar-benar tidak tahu apa yang telah
terjadi. Hingga akhirnya, kami sekeluarga tinggal di rumah nenek dan sampai
saat ini. Ternyata... baru aku tahu, bahwa Ayah terlibat dalam korupsi
penyalahgunaan dana bantuan dari Kementerian Pertanian. Selama itu, aku tak
pernah lagi melihat sosok ayah, apalagi mendengar kabar tentangnya. Usiaku
makin beranjak dewasa dan memasuki gerbang akademik di kota. Namun perasaanku
masih terusik oleh kasus yang menimpa ayahku dulu. Memang sulit untuk
menghilangkan ketakutan itu. Ruang gerakku selalu merasa malu, tapi aku harus
tetap sabar menghadapinya. Pasti semua akan berlalu dengan sendirinya...
Aku baru pertama kali bertemu ayah kembali saat liburan
semester kedua kuliahku. Ia tampak lesu, wajahnya pucat dengan rambut yang kian
memutih. Ia memelukku erat-erat dan terus memandangiku, terisak tangis meratapi
dirinya, “Kau sekarang sudah besar, Nak !” Air mataku luluh lantah dalam
kebencian bercampur rindu. Aku harus bisa menahan emosi. Dia ayahku..., aku tak
boleh durhaka padanya.
“Nak..., sebelumnya ayah minta maaf. Mungkin kau baru
mengerti tentang keadaanku sekarang. Tapi, kau pantas untuk menerima kenyataan.
Kau anakku... kau tak boleh mencontoh ayah, Nak !”, tangisnya mulai
menggetarkan suasana hatiku yang sudah mendingin. Ia menceritakan semua
kisahnya dengan irama yang sendu, hati-hati, tegang dan mengharukan. Sampai aku
tahu bahwa ayahku bukanlah seorang koruptor yang sering dibicarakan orang-orang
di luar sana. Ia hanya menjadi korban suap yang dilakukan oleh teman
seprofesinya yang tak bertanggung jawab. Mereka menipu ayah dengan janji
imbalan atas kerja kerasnya mengurus pelaksanaan proyek bantuan dari
Kementerian Pertanian itu.
Aku menghargai kejujuran ayah padaku, juga kepada seluruh
bangsa Indonesia. Meski kejujuran itu pahit baginya hingga menyeretnya ikut
masuk ke penjara, menyusul terungkapnya dalang utama kasus korupsi tersebut.
Malah, para pelakunya baru terungkap setelah ayah menjalani hukumannya selama
satu tahun. Inilah yang membuatku merasa geram dan kecewa terhadap proses hukum
di negeri ini.
“Terus, apakah
ayah waktu itu tidak merasa curiga dan janggal sedikitpun ?”, aku memotong
cerita ayah.
“Tidak. Malah ayah terima saja uang itu mentah-mentah. Di
dalam penjara, ayah baru sadar bahwa, ‘kejahatan terutama korupsi, banyak
terjadi bukan karena keberanian berbuat salah, tetapi karena ketakutan berbuat
benar’...”. Cerita ayah terlalu dalam menusuk hati, namun mengobati dendam.
Ayah selalu berkata, “Jangan seperti ayah... kamu harus bisa menjadi orang yang
lebih jujur dan berani mengungkap kebenaran”.
Aku masih ingat, ayahku pernah menanyaiku saat menjelang
tugas akhir S1 ku, “Sebentar lagi, kamu akan menjadi seorang sarjana, Nak.
Sekarang... ayah mau tanya, kamu mau jadi seorang pejabat atau rakyat biasa ?”
“Aku ingin menjadi rakyat saja. Rakyat kecil yang menjadi
pahlawan devisa buat negara. Rakyat kecil yang menjadi kebanggan sebagai
pemasok kebutuhan dalam negeri. Mereka adalah petani, nelayan, pedagang dan
pengusaha kecil yang tanpa balas jasa dan kehormatan. Yang pada kenyataannya,
mereka hanya bisa menanggung penderitaan di negeri sendiri”.
“Terus, kenapa kamu tidak ingin jadi pejabat ? Apa kamu
takut jadinya akan seperti ayah... ?”
“Tidak, Yah ! Bukan seperti itu. Ayah pernah mengutip
petikan kata-kata dari Zhu Rongji, seorang negarawan dari Republik Tiongkok,
bunyinya seperti ini, ‘Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk
para koruptor dan 1 untuk saya sendiri jika sayapun melakukan hal yang sama’.
Jadi, seorang pejabat kemungkinan kecil bisa korupsi, asal jangan kemungkinan
besar jadi pecundang, dan yang paling penting adalah amanah harus tetap dijaga.
Manusia tak pernah luput dari kesalahan, Ayah...”
“Bagus, Nak ! Aku bangga padamu. Melihatmu, aku seperti
hidup kembali, bukan seperti dulu”.
“Tapi, Ayah... sekarang aku ingin menjadi guru, karena
guru bisa menjadi penetralisir dari segala tindak keburukan yang akan terjadi
pada tunas bangsa kita. Saya ingin menjadi guru untuk anak-istri saya,
murid-murid saya dan masyarakat Indonesia. Bukankah saya juga sudah berguru
banyak hal dari ayah...”, mata ayah berkaca-kaca dan mengelus pundakku dengan
lembut.
Ayahku bukan seorang koruptor... Semua itu dibuktikannya
dengan mengabdikan diri di desa. Banyak orang menganggap, ia melarikan diri ke
desa untuk mengasingkan diri karena merasa malu. Tapi ayahku tetap merasa bahwa
ia datang untuk menyelamatkan diri dari segala godaan politik yang mungkin saja
terulang dan mencampakkannya kembali. Atas dukungan ibu, ayah berusaha bangkit
kembali dan menata diri lebih baik.
Atas jasa ilmu dan pemikirannya, melalui Yayasan “Goeboek
Tani” yang kami bangun, para petani di desaku bisa terampil bercocok tanam
secara mandiri. Masyarakat desa juga dapat mensinergikan dengan baik bantuan
dari pemerintah secara gotong-royong, sehingga pengelolaan dana tersebut
menjadi lebih maksimal dan bertanggung jawab tanpa ada indikasi korupsi.
***
Aku beralih ke ruang kantor kampus. Tak sampai di pintu,
teman-teman dosen menyerbuku dengan ucapan selamat dan jabat tangan. Saya
sangat terkejut. Kebahagiaan hari ini rasanya tak lengkap jika tanpa kehadiran
ayah disini. Meski matahari masih terasa panas di atas kepala, aku tetap harus
menyempatkan diri menyambangi kuburan ayah.
“Ayah... aku datang kesini untuk menyampaikan sekali lagi
bahwa ayah bukanlah seorang koruptor. Mungkin ayah akan tetap merendahkan diri
sampai sekarang dan menyebut diri sebagai orang yang tak bisa bertanggung
jawab”, aku menghela nafas panjang. “Nanti malam... nama ayah akan harum
disebutkan orang. Ayah terpilih sebagai salah satu kandidat dalam penghargaan
‘The Indonesian Heroes Of Future 2015’ dari Bapak Presiden...”, air mataku
mulai bertaburan, jatuh membasahi panas terik yang menerpa wajahku siang itu.
“Tahu nggak, Yah... bahwa ayah telah berjasa dalam
membangun ‘Goeboek Tani’ kita. Ayah menjadi inspirasi semua orang. Ayah sudah
menjadi seorang pejabat, rakyat kecil dan guru bagi bangsa ini. Harusnya kau
yang ambil sendiri penghargaan itu agar ayah bisa bercerita kepada semua orang
bahwa ayah bukan seorang koruptor. Siapakah orang yang bisa mengakui dirinya
sebagai ayah yang koruptor selain ayah ?....”, mataku makin memerah... ingin
rasanya berteriak sekeras-kerasnya kepada dunia. Aku tak berani lagi mengenang
hidup ayah seperti ini, kenangannya terlalu sulit untuk lepas dari air mata.
Sekembalinya aku dari makam ayah, aku telah bertekad
dalam diri. Aku harus bisa mendidik anak-anakku seperti ayah mendidikku. Ayah
selalu saja menganggap dirinya sebagai koruptor. Ia selalu merasa bersalah
terhadap anak-anaknya, terutama ibu. Kata-kata itu ia lontarkan sebagai sebuah
‘vaksin nasehat’ yang begitu sakit tertusuk kulit tetapi menutrisi tubuh untuk
lebih baik. Ia selalu berusaha untuk selalu mengingatkan agar kami bisa lebih
baik darinya. Sesungguhnya ia telah menyiratkan teladan kebaikan dan semangat
kejujuran yang berbeda kepada kami semua, anak-anaknya. Hal itu mungkin
berbanding terbalik dengan para pelaku koruptor di luar sana.
Di malam penghargaan yang agung itu, nama Gunawan Mardito
disebut sebagai tokoh pembangun desa. Itu adalah nama ayah saya... yang mungkin
tak asing bagi telinga semua pejabat pemerintahan yang hadir berjajar di kursi
bersamaku. Traumaku menjadi hilang dan ikut terkikis di malam itu. Ayahku telah
berhasil membawa nama desaku ke kancah nasional sebagai desa mandiri, sejahtera
dan kreatif dalam mengembangkan pertanian modern. Ia mengajak para pemuda serta
para pensiunan di kota agar kembali ke desanya seperti dirinya, kembali
mengabdikan ilmunya untuk “membangun Indonesia dari desa”.
Sambil kupegang erat-erat piala di tanganku, aku menitip
sebuah pesan, “Jadilah ayah yang baik untuk anak-anak kalian, dan jadilah ayah
yang lebih baik sebagai pemimpin amanah bagi anak-anak kalian, yaitu rakyat
kecil yang masih di bawah garis kemiskinan. Jangan menelantarkan rakyat kita
dengan perbuatan korupsi, karena ini akan menjadi contoh yang tidak baik pula
terhadap anak-anak kita... !”. Riuh tangan penonton membawaku dalam kebanggaan
kecil. Dalam hatiku tersentuh, memandang jauh penuh haru, “Terima kasih,
Ayah... “
Rangas TamMalassu - Majene, 11 oktober 2015