Minggu, 17 September 2017

Puisi Romansa Pelangi



ROMANSA PELANGI
Oleh: Rusman Raymanda

Kisah cinta penuh rasa,
Tertuang dalam indah pelangi,
Takdir kasih yang kuasa,
Menilik rasa dua sejoli.
            Inilah gerangan insani,
            Arungi warna-warni kehidupan,
            Suka-duka dirasai,
            Meraih setumpuk pengorbanan.
Pelangi cinta memadu alam,
Hilangkan sedih dalam kelam,
Bara kerinduan yang mendalam,
Padamkan benci yang suram.
            Romansa pelangi …
            Terbit dalam gerimis mentari,
            Lengkungan warna di langit biru,
            Temukan bahagia jiwa baru.

Rangas TamMalassu-Majene, 7 Maret 2006

Kumpulan Puisi Indonesia: Aku Di Hatimu



AKU DI HATIMU
Oleh: Rusman Raymanda

Untuk pertama kalinya
Aku menatap dirimu kembali
Mengucap salam perpisahan
Walau dengan senyuman tersembunyi

Dan untuk terakhir kalinya
Aku menjumpai dirimu sejenak
Mengenang kembali masa lalu
Dengan setetes air mata turun di hatiku

Kubiarkan kau melupakanku selamanya
Karena aku akan selalu mengenangmu seutuhnya
Sebagai persembahan cinta sejatiku yang tertunda

Kubiarkan kau berpaling dariku selamanya
Karena aku telah cukup berbangga diri
Sempat memilikimu sepenuh hati

Aku sebenar-benarnya ada di hatimu
Dan engkau sesungguhnya penyejuk di hatiku
Karena dirimulah pembawa surga di jiwa
Yang selalu memujamu walau dalam hati

Majene, 10 Januari 2015

Kumpulan Cerpen Terbaik: Ayahku (Bukan) Seorang Koruptor



Ayahku (Bukan) Seorang Koruptor
Oleh : Rusman Raymanda


Bukan maksudku untuk mencap negeriku sendiri, tetapi inilah kenyataan terburuk yang menyerang nafsu para pejabat pemerintahan. Dari dulu sampai sekarang, “korupsi” tak habis-habisnya menjadi drama trending topic di berbagai media dan layar kaca. Perlahan-lahan, para koruptor seakan terus berkembang-biak dan bermetamorfosis setiap tahun, setiap bulan, bahkan setiap hari meneror suasana bangsaku yang rapuh. Padahal dari belakang, rakyat kecil berteriak histeris meminta keadilan sang penguasa... Sungguh ironis.
“Selamat siang, Pak !”, salah seorang mahasiswa menghampiriku.
“Selamat siang..., apa ada masalah ?”
“Saya dan teman-teman BEM mau izin, Pak. Hari ini kami ingin melakukan demonstrasi hari anti korupsi di depan gedung DPRD... “
Konsentrasiku tiba-tiba terganggu mendengar kata “korupsi”. Aku masih saja tersinggung dengan kata-kata itu, padahal sepertinya bukan ditujukan padaku. Entah ini hanya trauma ketakutanku saja... Aku beralih senyum padanya, dan segera mempersilahkan Andri dengan teman-temannya bergegas.
Sejak kecil, trauma berkepanjangan menjadi tamparan hebat buatku. Waktu itu, aku masih kelas dua SMP. Sepulang sekolah, rumahku tampak lengang tanpa suara. Aku mengayunkan langkahku ke kamar dengan rasa penasaran. Melihat pintu kamar ibu terbuka, dari dalam terlihat ibuku sedang menangis terisak, ditemani kakak-kakakku disampingnya. Seketika itu, ibu langsung melihatku sambil menyapu air matanya. Ia pun memanggilku.
“Musa, kamu baru datang, Nak !”, suara ibu agak serak.
“Ya, Bu... !”, ibu meraih tanganku dan memelukku seraya membelai rambutku dengan lembut.
Aku menatap wajah ibu, “Kenapa ibu menangis ? Apa terjadi sesuatu yang tidak kuketahui... atau... !”, ibu hanya menggeleng-geleng kepala.
“Besok kita akan pindah ke desa, ke rumah nenekmu. Sepertinya... kita akan merasa lebih baik tinggal di sana.”
Saat itu, aku benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi. Hingga akhirnya, kami sekeluarga tinggal di rumah nenek dan sampai saat ini. Ternyata... baru aku tahu, bahwa Ayah terlibat dalam korupsi penyalahgunaan dana bantuan dari Kementerian Pertanian. Selama itu, aku tak pernah lagi melihat sosok ayah, apalagi mendengar kabar tentangnya. Usiaku makin beranjak dewasa dan memasuki gerbang akademik di kota. Namun perasaanku masih terusik oleh kasus yang menimpa ayahku dulu. Memang sulit untuk menghilangkan ketakutan itu. Ruang gerakku selalu merasa malu, tapi aku harus tetap sabar menghadapinya. Pasti semua akan berlalu dengan sendirinya...
Aku baru pertama kali bertemu ayah kembali saat liburan semester kedua kuliahku. Ia tampak lesu, wajahnya pucat dengan rambut yang kian memutih. Ia memelukku erat-erat dan terus memandangiku, terisak tangis meratapi dirinya, “Kau sekarang sudah besar, Nak !” Air mataku luluh lantah dalam kebencian bercampur rindu. Aku harus bisa menahan emosi. Dia ayahku..., aku tak boleh durhaka padanya.
“Nak..., sebelumnya ayah minta maaf. Mungkin kau baru mengerti tentang keadaanku sekarang. Tapi, kau pantas untuk menerima kenyataan. Kau anakku... kau tak boleh mencontoh ayah, Nak !”, tangisnya mulai menggetarkan suasana hatiku yang sudah mendingin. Ia menceritakan semua kisahnya dengan irama yang sendu, hati-hati, tegang dan mengharukan. Sampai aku tahu bahwa ayahku bukanlah seorang koruptor yang sering dibicarakan orang-orang di luar sana. Ia hanya menjadi korban suap yang dilakukan oleh teman seprofesinya yang tak bertanggung jawab. Mereka menipu ayah dengan janji imbalan atas kerja kerasnya mengurus pelaksanaan proyek bantuan dari Kementerian Pertanian itu.
Aku menghargai kejujuran ayah padaku, juga kepada seluruh bangsa Indonesia. Meski kejujuran itu pahit baginya hingga menyeretnya ikut masuk ke penjara, menyusul terungkapnya dalang utama kasus korupsi tersebut. Malah, para pelakunya baru terungkap setelah ayah menjalani hukumannya selama satu tahun. Inilah yang membuatku merasa geram dan kecewa terhadap proses hukum di negeri ini.
 “Terus, apakah ayah waktu itu tidak merasa curiga dan janggal sedikitpun ?”, aku memotong cerita ayah.
“Tidak. Malah ayah terima saja uang itu mentah-mentah. Di dalam penjara, ayah baru sadar bahwa, ‘kejahatan terutama korupsi, banyak terjadi bukan karena keberanian berbuat salah, tetapi karena ketakutan berbuat benar’...”. Cerita ayah terlalu dalam menusuk hati, namun mengobati dendam. Ayah selalu berkata, “Jangan seperti ayah... kamu harus bisa menjadi orang yang lebih jujur dan berani mengungkap kebenaran”.
Aku masih ingat, ayahku pernah menanyaiku saat menjelang tugas akhir S1 ku, “Sebentar lagi, kamu akan menjadi seorang sarjana, Nak. Sekarang... ayah mau tanya, kamu mau jadi seorang pejabat atau rakyat biasa ?”
“Aku ingin menjadi rakyat saja. Rakyat kecil yang menjadi pahlawan devisa buat negara. Rakyat kecil yang menjadi kebanggan sebagai pemasok kebutuhan dalam negeri. Mereka adalah petani, nelayan, pedagang dan pengusaha kecil yang tanpa balas jasa dan kehormatan. Yang pada kenyataannya, mereka hanya bisa menanggung penderitaan di negeri sendiri”.
“Terus, kenapa kamu tidak ingin jadi pejabat ? Apa kamu takut jadinya akan seperti ayah... ?”
“Tidak, Yah ! Bukan seperti itu. Ayah pernah mengutip petikan kata-kata dari Zhu Rongji, seorang negarawan dari Republik Tiongkok, bunyinya seperti ini, ‘Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor dan 1 untuk saya sendiri jika sayapun melakukan hal yang sama’. Jadi, seorang pejabat kemungkinan kecil bisa korupsi, asal jangan kemungkinan besar jadi pecundang, dan yang paling penting adalah amanah harus tetap dijaga. Manusia tak pernah luput dari kesalahan, Ayah...”
“Bagus, Nak ! Aku bangga padamu. Melihatmu, aku seperti hidup kembali, bukan seperti dulu”.
“Tapi, Ayah... sekarang aku ingin menjadi guru, karena guru bisa menjadi penetralisir dari segala tindak keburukan yang akan terjadi pada tunas bangsa kita. Saya ingin menjadi guru untuk anak-istri saya, murid-murid saya dan masyarakat Indonesia. Bukankah saya juga sudah berguru banyak hal dari ayah...”, mata ayah berkaca-kaca dan mengelus pundakku dengan lembut.
Ayahku bukan seorang koruptor... Semua itu dibuktikannya dengan mengabdikan diri di desa. Banyak orang menganggap, ia melarikan diri ke desa untuk mengasingkan diri karena merasa malu. Tapi ayahku tetap merasa bahwa ia datang untuk menyelamatkan diri dari segala godaan politik yang mungkin saja terulang dan mencampakkannya kembali. Atas dukungan ibu, ayah berusaha bangkit kembali dan menata diri lebih baik.
Atas jasa ilmu dan pemikirannya, melalui Yayasan “Goeboek Tani” yang kami bangun, para petani di desaku bisa terampil bercocok tanam secara mandiri. Masyarakat desa juga dapat mensinergikan dengan baik bantuan dari pemerintah secara gotong-royong, sehingga pengelolaan dana tersebut menjadi lebih maksimal dan bertanggung jawab tanpa ada indikasi korupsi.
***
Aku beralih ke ruang kantor kampus. Tak sampai di pintu, teman-teman dosen menyerbuku dengan ucapan selamat dan jabat tangan. Saya sangat terkejut. Kebahagiaan hari ini rasanya tak lengkap jika tanpa kehadiran ayah disini. Meski matahari masih terasa panas di atas kepala, aku tetap harus menyempatkan diri menyambangi kuburan ayah.
“Ayah... aku datang kesini untuk menyampaikan sekali lagi bahwa ayah bukanlah seorang koruptor. Mungkin ayah akan tetap merendahkan diri sampai sekarang dan menyebut diri sebagai orang yang tak bisa bertanggung jawab”, aku menghela nafas panjang. “Nanti malam... nama ayah akan harum disebutkan orang. Ayah terpilih sebagai salah satu kandidat dalam penghargaan ‘The Indonesian Heroes Of Future 2015’ dari Bapak Presiden...”, air mataku mulai bertaburan, jatuh membasahi panas terik yang menerpa wajahku siang itu.
“Tahu nggak, Yah... bahwa ayah telah berjasa dalam membangun ‘Goeboek Tani’ kita. Ayah menjadi inspirasi semua orang. Ayah sudah menjadi seorang pejabat, rakyat kecil dan guru bagi bangsa ini. Harusnya kau yang ambil sendiri penghargaan itu agar ayah bisa bercerita kepada semua orang bahwa ayah bukan seorang koruptor. Siapakah orang yang bisa mengakui dirinya sebagai ayah yang koruptor selain ayah ?....”, mataku makin memerah... ingin rasanya berteriak sekeras-kerasnya kepada dunia. Aku tak berani lagi mengenang hidup ayah seperti ini, kenangannya terlalu sulit untuk lepas dari air mata.
Sekembalinya aku dari makam ayah, aku telah bertekad dalam diri. Aku harus bisa mendidik anak-anakku seperti ayah mendidikku. Ayah selalu saja menganggap dirinya sebagai koruptor. Ia selalu merasa bersalah terhadap anak-anaknya, terutama ibu. Kata-kata itu ia lontarkan sebagai sebuah ‘vaksin nasehat’ yang begitu sakit tertusuk kulit tetapi menutrisi tubuh untuk lebih baik. Ia selalu berusaha untuk selalu mengingatkan agar kami bisa lebih baik darinya. Sesungguhnya ia telah menyiratkan teladan kebaikan dan semangat kejujuran yang berbeda kepada kami semua, anak-anaknya. Hal itu mungkin berbanding terbalik dengan para pelaku koruptor di luar sana.
Di malam penghargaan yang agung itu, nama Gunawan Mardito disebut sebagai tokoh pembangun desa. Itu adalah nama ayah saya... yang mungkin tak asing bagi telinga semua pejabat pemerintahan yang hadir berjajar di kursi bersamaku. Traumaku menjadi hilang dan ikut terkikis di malam itu. Ayahku telah berhasil membawa nama desaku ke kancah nasional sebagai desa mandiri, sejahtera dan kreatif dalam mengembangkan pertanian modern. Ia mengajak para pemuda serta para pensiunan di kota agar kembali ke desanya seperti dirinya, kembali mengabdikan ilmunya untuk “membangun Indonesia dari desa”.
Sambil kupegang erat-erat piala di tanganku, aku menitip sebuah pesan, “Jadilah ayah yang baik untuk anak-anak kalian, dan jadilah ayah yang lebih baik sebagai pemimpin amanah bagi anak-anak kalian, yaitu rakyat kecil yang masih di bawah garis kemiskinan. Jangan menelantarkan rakyat kita dengan perbuatan korupsi, karena ini akan menjadi contoh yang tidak baik pula terhadap anak-anak kita... !”. Riuh tangan penonton membawaku dalam kebanggaan kecil. Dalam hatiku tersentuh, memandang jauh penuh haru, “Terima kasih, Ayah... “

Rangas TamMalassu - Majene, 11 oktober 2015