Sabtu, 11 Januari 2014

Makalah Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tugas Kuliah Pengembangan Inovasi Kurikulum

MATA KULIAH              : PENG. INOVASI KURIKULUM       
DOSEN PEMBIMBING    : NURSANTY, S. Pd


PENGEMBANGAN KURIKULUM
BERBASIS KOMPETENSI
(KBK)


 










DISUSUN OLEH  :
KELOMPOK IV
1.     RUSMAN                     :  NIM. 09. 11. 0027  
2.     RUHANA                     :  NIM. 09. 11. 00
3.     NURMANIAH ULFA  :  NIM. 09. 11. 00
4.     WAHIDAH                   :  NIM. 09. 11. 00
5.     RITA                             :  NIM. 10. 11. 00

SEMESTER VII / S1. PAI

 
STAI-DDI MAJENE
T. A. 2012 / 2013

KATA PENGANTAR


 


Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menjadi suri tauladan, sumber inspirasi dan motivasi dalam membangun kurikulum pendidikan yang Islami di masa sekarang.

Makalah yang berjudul PENGEMBANGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI ini, sengaja kami susun untuk dijadikan sebagai bahan diskusi pada tatap-muka perkuliahan PENG, INOVASI KURIKULUM”.

Kami sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan, baik dari segi penulisan maupun isi di dalamnya. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik ataupun saran yang bersifat membangun, khususnya dari dosen pembimbing, demi kesempurnaan pembuatan makalah-makalah selanjutnya.

Akhirul Kalam, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat dan membawa hikmah buat kita semua, terutama bagi diri kami pribadi, Amien … !!!

Minallahil Musta’an Wa’alaihit Tiklan.
                                                                                           Majene, 19 November 2012
                                                                                                          Penyusun,
                                                                                                  
                                                        
                                                                                                   ( KELOMPOK IV )


BAB I
PENDAHULUAN


A.      LATAR BELAKANG

Kurikulum Berbasis Kompetensi, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi kurikulum. Kemunculannya seiring dengan munculnya semangat reformasi pendidikan, diawali dengan munculnya kebijakan pemerintah dalam pemerintahan daerah atau dikenal otonomi daerah Undang-Undang Nomor 22 tahun l999. Kelahiran kebijakan pemerintah ini didorong oleh perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat dalam dimensi globalisasi yang ditandai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu pesat sehingga kehidupan penuh persaingan dalam segi apapun tidak bisa dihindari dan harus siap untuk kemajuan suatu bangsa. Dapat dipastikan bahwa hanya individu yang mampu bersaing yang akan dapat berbicara dalam era globalisasi ini. Untuk itu, setiap individu harus memiliki kompetensi yang handal dalam berbagai bidang sesuai dengan minat , bakat, dan kemampuan nyata (Sanjaya, 2005:8).

Untuk itu upaya peningkatan mutu pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh yang mencakup pengembangan dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlaq, budi pekerti, pengetahuan, keterampilan, seni, olah raga, dan perilaku. Pengembangan aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan hidup (life skill) yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk bertahan hidup, menyesuaikan diri, dan berhasil di masa datang. dengan demikian peserta didik memiliki ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang dikembangkan melalui pembelajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Kurikulum berbasis kompetensi dikembangkan untuk memberikan keahlian dan keterampilan sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan untuk meningkatkan daya saing dan daya jual untuk menciptakan kehidupan yang berharkat dan bermartabat di tengah-tengah perubahan, persaingan, dan kerumitan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Adanya kurikulum berbasis kompetensi memungkinkan hasil lulusan menjadi lebih terampil dan kompeten dalam segala tuntutan masyarakat sekitarnya.


B.       RUMUSAN MASALAH

1.         Apakah yang dimaksud dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi ?
2.         Bagaimanakah karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi ?
3.         Apakah yang menjadi prinsip-prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi ?

C.       
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut Crunkilton (1979 : 222) dalam Mulyasa, (2004 : 77) mengemukakan bahwa “kompetensi ialah sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan”. Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk dapat melaksanakan tugas-tugas pembelajaran sesuai dengan jenis pekerjaan tertentu. Dengan demikian terdapat hubungan (link) antara tugas-tugas yang dipelajari peserta didik di sekolah dengan kemampuan yang diperlukan oleh kerja.

Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai. Sebagai wujud hasil belajar peserta didik yang mengacu pada kreativitas belajarnya. Peserta didik perlu mengetahui tujuan belajar, dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit, dikembangkan berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan memiliki kontribusi terhadap kompetensi yang sedang dipelajari.

Menurut Gordon, (1998 : 109) dalam Mulyasa, (2004 : 77-78) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut :
·       Pengetahuan (knowledge) yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya seorang guru mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan bagaimana melakukan pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.
·       Pemahaman (understanding) yaitu kedalaman kognitif, dan afektif yang dimiliki oleh individu.
·       Kemampuan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
·       Sikap (attitude) yaitu (senang atau tidak senang, suka tidak suka) atau reaksi terhadap suatu rangsangan terhadap yang datang dari luar.
·       Minat (interest) adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Berdasarkan pengertian kompetensi tersebut, maka kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Dengan demikian penerapan kurikulum dapat menumbuhkan tanggung jawab, dan partisipasi peserta didik untuk belajar menilai dan mempengaruhi kebijakan umum, serta memberanikan diri berperan dalam berbagai kegiatan di sekolah maupun masyarakat (Mulyasa, 2002 : 39).

KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab. KBK memfokuskan pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa. Sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan.
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut guru yang berkualitas dan profesional untuk melakukan kerjasama dalam rangkaian meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam hubungannya dengan pembelajaran memenuhi spesifikasi tertentu dalam proses belajar. Kay (1977) dalam Mulyasa, mengemukakan bahwa “pendidikan berbasis kompetensi selalu dilandasi oleh rasionalitas yang dilakukan dengan penuh kesadaran “mengapa” dan “bagaimana” jadi perbuatan tersebut dilakukan” (Mulyasa, 2002 : 23).

Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa kurikulum berbasis kompetensi berorientasi pada kreativitas individu untuk melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran dan efek (dampak) yang diharapkan yang muncul dari peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya. Rumusan kompeten dalam kurikulum berbasis kompetensi ini merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan Madrasah, sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten. KBK merupakan suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat pengetahuan, kemampuan, sikap dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran dengan penuh tanggung jawab.

Hall (1986) dalam Mulyasa menyatakan bahwa “setiap peserta didik dapat mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, jika diberikan waktu yang cukup” (Mulyasa, 2002 : 41). Pendapat tersebut menunjukkan bahwa perhatian harus dicurahkan kepada waktu yang diperlukan untuk kegiatan belajar. Perbedaan antara peserta didik yang pandai dengan yang kurang (bodoh) hanya terletak pada masalah waktu, peserta didik yang bodoh memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempelajari sesuatu atau memecahkan suatu masalah, sementara yang pandai bisa cepat melakukannya. Kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk berkreasi dan berimajinasi jika diberikan kesempatan dan peran aktif guru terhadap siswa yang secara tidak langsung akan memberikan dampak terhadap penguasaan apa yang telah diajarkan guru.

Kurikulum berbasis kompetensi menuntut guru yang berkualitas dan profesional untuk melakukan kerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Meskipun demikian, konsep ini tentu saja tidak dapat digunakan sebagai resep untuk memecahkan semua masalah pendidikan, namun dapat memberi sumbangan yang cukup signifikan, terhadap perbaikan pendidikan (Mulyasa, 2002 : 40).

B.       Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi
Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi antara lain mencakup seleksi kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi dan pengembangan sistem pembelajaran (Mulyasa, 2006 : 42). Disamping itu KBK memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Penilaian dilakukan berdasarkan standar khusus sebagai hasil demonstrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik, pembelajaran lebih menekankan pada kegiatan individual personal untuk menguasai kompetensi yang dipersyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya.

Depdiknas (2002) dalam Mulyasa mengemukakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.    Menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal.
2.    Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman.
3.    Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
4.    Sumber belajar bukan guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
5.    Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Dari beberapa rumusan tentang karakteristik kurikulum berbasis kompetensi di atas jelaslah bahwa pada pencapaian kompetensi itu dilihat dari cara penyampaian materi oleh guru dan metode yang digunakan dalam pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa penilaian Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah dilihat dalam kompetensi guru dalam persiapan mengajar, artinya ada upaya guru untuk menguasai materi yang memenuhi syarat atau unsur edukatif. Karena yang diinginkan dalam kompetensi ini adalah menekankan pada kualitas siswa, dan hasil belajar yang dicapai.

Lebih lanjut dari berbagai sumber sedikitnya dapat diidentifikasikan enam karakteristik kurikulum berbasis kompetensi, yaitu :
a.    Sistem Belajar Dengan Modul
Kurikulum berbasis kompetensi menggunakan modul sebagai sistem pembelajaran. Dalam hal ini modul merupakan paket belajar mandiri yang meliputi serangkaian pengalaman belajar mandiri yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang direncanakan dan dirancang secara sistematis untuk membantu peserta didik, untuk mencapai tujuan belajar. Modul adalah “suatu proses pembelajaran mengenai satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru” (Mulyasa, 2002 : 43).

Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.    Setiap modul harus memberikan informasi dan memberikan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan seorang peserta didik, bagaimana melakukannya dan sumber belajar apa yang digunakan.
2.    Modul merupakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik.
3.    Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran.
4.    Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis sehingga peserta didik dapat mengetahui, kapan mengakhiri suatu modul.
5.    Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik (Mulyasa, 2002 : 43-44).

Dari beberapa penjelasan di atas bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan sistem modul akan mempercepat proses belajar mengajar sekaligus mengarahkan peserta didik pada pencapaian pembelajaran. Sistem modul ini juga memiliki mekanisme yang jelas dan disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat mengetahui apa yang dia pelajari, karena prosesnya dilaksanakan secara individual.
b.    Menggunakan Keseluruhan Sumber Belajar
Dalam KBK guru tidak lagi menjadi peran utama dalam proses pembelajaran karena pembelajaran dapat menggunakan aneka ragam sumber belajar seperti : manusia, bahan belajar (buku) dan lingkungan.
c.    Pengalaman Lapangan
KBK lebih menekankan pada pengalaman lapangan untuk mengakrabkan hubungan antara guru dengan peserta didik yang yang akan meningkatkan pengetahuan, pemahaman yang lebih leluasa bagi guru dan peserta didik.
d.   Strategi Belajar Individual Personal
Belajar individual adalah belajar berdasarkan tempo belajar peserta didik sedangkan belajar personal adalah interaksi edukatif dalam rangka mengembangkan strategi individual personal.
e.    Kemudahan Belajar
Kemudahan dalam KBK diberikan melalui kombinasi antara pembelajaran individual personal dengan pengalaman dan pembelajaran secara tim.
f.     Belajar Tuntas
Belajar tuntas merupakan strategi pembelajaran yang dapat dilaksanakan dalam kelas dengan asumsi, bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta dengan baik dan memperoleh hasil belajar maksimal.

Dari uaraian di atas, bahwa sistem pembelajaran dalam KBK jika dilihat karakteristik khusus dalam KBK bahwa sistem pembelajaran dalam KBK sangatlah praktis untuk pengembangan peserta didik, dalam arti dengan sistem ini sifatnya universal yang telah mencakup secara keseluruhan kgiatan pembelajaran yang menjadi kebutuhan pokok peserta didik. Secara jelas, peranan guru dalam sistem penyajian modul hanya merupakan sumber tambahan dan pembimbing yang membimbing peserta didik. Namun tidak menutup kemungkinan peserta didik membutuhkan arahan dan pembinaan guru secara intensif, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan profesional.

C.       Prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi
Sesuai dengan prinsip diversifikasi dan desentralisasi pendidikan maka pengembangan kurikulum ini digunakan prinsip dasar “kesatuan dalam kebijakan dan keberagaman dalam pelaksanaan” prinsip kesatuan dalam kebijakan yaitu dalam mencapai tujuan pendidikan perlu ditetapkan standar kompetensi yang harus dicapai secara nasional, pada setiap jenjang pendidikan. Sedangkan prinsip keberagaman dalam pelaksanaan yaitu dalam menyelenggarakan pendidikan yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran penilaian dan pengelolaannya mengakomodasikan perbedaan yang berkaitan dengan kesiapan dan potensi akademik, minat lingkungan, budaya, dan sumber daya sekolah sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan masing-masing. “Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang kompleks, dan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait” (Mulyasa, 2002 : 61).

Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi menfokuskan pada kompetensi tertentu berupa pedoman pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya. Penerapan kurikulum berbasis kompetensi memungkinkan para guru menilai hasil belajar yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajarinya.

Secara rinci pengembangan KBK mempertimbangkan hal-hal berikut :
·       Keimanan, nilai-nilai dan budi pekerti luhur yang perlu digali, dipahami dan diamalkan siswa.
·       Penguatan integritas nasional yang dicapai melalui pendidikan
·       Keseimbangan berbagai bentuk pengalaman belajar siswa yang meliputi etika, logika, estetika dan kinestetika
·       Penyediaan tempat yang memberdayakan semua siswa untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap sangat diutamakan seluruh siswa dari berbagai kelompok
·       Kemampuan berfikir dan belajar dengan mengakses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah dan penuh ketidakpastian merupakan kompetensi penting dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
·       Berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komperehensif (Sujatmiko, 2003 : 7).

Sedangkan prinsip dasar kegiatan belajar mengajar yang dikembangkan dalam KBK adalah mengembangkan kemampuan berfikir logis, kritis, kreatif, bersikap dan bertanggung jawab pada kebiasaan dan perilaku sehari-hari melalui pembelajaran secara aktif yaitu :
1.    Berpusat pada siswa
2.    Mengembangkan keingintahuan dan imajinasi
3.    Memiliki semangat mandiri kerjasama dan berkompetensi perlu dilatih untuk terbiasa bekerja mandiri, kerjasama dan berkompetensi
4.    Menciptakan kondisi yang menyenangkan
5.    Mengembangkan kemampuan dan pengalaman belajar
6.    Karakteristik mata pelajaran (Depdiknas,2003:10)

Pengembangan KBK harus berkaitan dengan tuntutan standar kompetensi, organisasi pengalaman belajar, dan aktivitas untuk mengembangkan dan menguasai kompetensi seefektif mungkin. Proses pengembangan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa siswa yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a)    Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
b)   Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c)    Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan
d)   Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdifferensiasi
e)    Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta
f)    Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning)


BAB III
P E N U T U P

A.      KESIMPULAN
1.  Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dapat diartikan sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi yang meliputi: pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik.
2.  Kurikulum berbasis kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut :
a.       Menekankan pada ketercapaian kompetensi peserta didik baik secara individual maupun klasikal
b.      Berorientasi pada hasil belajar (learning out comes) dan keberagaman
c.       Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi
d.      Sumber belajar bukan guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif
e.       Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
3.    Upaya pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
a)    Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya (outcome oriented)
b)   Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c)    Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan
d)   Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdifferensiasi
e)    Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta
f)    Menerapkan prinsip ketuntasan belajar (mastery learning)
g)   penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

B.       IMPLIKASI
Sebagai seorang calon guru, kita dituntut untuk turut mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi siswa dan lingkungan sekolah dengan berorientasi pada kompetensi siswa dalam mengembangkan peranannya dalam mengoptimalkan seluruh aspek kemampuannya dalam belajar, dengan memberikan ruang yang cukup untuk kreatifitas mereka yang sesuai dengan kebutuhan. Pencapaian kompetensi siswa harus benar-benar mengena pada 3 aspek penting yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotor yang kesemuanya itu harus dibarengi dengan kemampuan guru yang kreatif dalam mengolah pembelajaran dengan penggunaan metode dan strategi pengajaran yang bervariasi. Sehingga siswa juga dapat bereksplorasi lebih luas dan bebas, membangun semangat belajar yang sehat, kreatif dan mandiri dan tentunya berkarakter.


DAFTAR PUSTAKA

Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003

Sukmadinata, Nana Syaodih, Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi, Bandung: Yayasan Kesuma Karya, 2004

Wina, Sanjaya, Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Edisi Pertama, Cetakan ke I. Jakarta: Prenada Media, 2005

Muslich, Masnur, KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Jakarta: Bumi Aksara, 2007

Majid, Abdul, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005



Review Buku Tugas Kuliah Filsafat Pendidika Islam



TUGAS INDIVIDU
MATA KULIAH          :  FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PEMBIMBING  :   MUH. HIDAYAT, M.Phil


REVIEW BUKU:
"PENDIDIKAN AGAMA
 BERWAWASAN MULTIKULTURAL"
 
    DISUSUN OLEH  :
                     NAMA    : RUSMAN
                      N I M      : 09. 11. 0027
                SEMESTER  : VII. A / S1. PAI


STAI-DDI MAJENE
T. A. 2012 / 2013

"PENDIDIKAN AGAMA
 BERWAWASAN MULTIKULTURAL"
Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negara pun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Dengan demikian, multikulturalisme merupakan sunnatulllah yang tidak dapat ditolak bagi setiap negara-bangsa di dunia ini. Multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai "kepercayaan" kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basis) tidak hanya bagi kewargaan dan kewarganegaraan, tetapi juga bagi pendidikan.
Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural telah lama dirasakan cukup mendesak bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain, yang sejak usainya Perang Dunia II semakin "multikultural" karena proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut, pendidikan multikultural telah menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, setelah sebelumnya di AS misalnya dikembangkan "pendidikan interkultural." Berhadapan dengan meningkatnya "multikulturalisme" di negara-negara tersebut, maka paradigma, konsep dan praktek pendidikan "multikultural" semakin relevan dan timely.

Pada pihak lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Padahal, realitas kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik, dan budaya bangsa, khusunya sejak "era reformasi" yang penuh dengan gejolak sosial-politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat, membuat pendidikan multikultural terasa semakin dibutuhkan.

Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi kebudayaan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan "interkultural" dan "interkelompok". Pada hakikatnya pendidikan interkultural merupakan crosscultural education untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda. Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain.

Tetapi, harus diakui, pada praktiknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagipula, konflik dalam skala luas, terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antargolongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural.

Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti atau politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas. Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap tidak peduli dan tak mau mengakui, berakar tidak hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan , dan lain-lain. Paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang "ethnic studies", untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan.

Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh, ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek semacam; toleransi, bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal; tema-tema tentang perbedaan etnokultural, dan agama.

Dalam ketidakjelasan tata dunia baru yang meliputi realitas bangsa yang sangat plural, pengaruh budaya dan etnisitas terhadap perkembangan manusia, serta benturan global antar kebudayaan dituntut untuk belajar mengenal perbedaan dalam agama, kepercayaan, ideologi, etnik, ras, warna kulit, gender, seks, kebudayaan, dan sebagainya. Ta'aruf, demikian Al-Qur'an menyebutkan. Namun, negeri dengan penduduk mayoritas muslim ini rupanya belum menyadari isyarat al-Qur'an tentang pesan moral yang dimaksud. Multipolar, multikultural adalah sunnatullah yang tak terbantahkan. Kita lebih suka merespon keragaman dengan sikap dan perilaku monolog (klaim kebenaran, klaim keselamatan, klaim memperadabkan) dan egosentris (hanya untukku, hanya dariku, hanya olehku). Orientasi sikap dan perilaku semacam ini ironisnya dibangun secara sistematis lewat dunia pendidikan yang meliputi pendidikan umum, pendidikan kewarganegaraan, tak terkecuali pendidikan agama yang cenderung merekayasa manusia absolut, mutlak-mutlakan. Ini semua belum akan pudar selama proses pencerahan tidak diawali dengan perubahan paradigma pendidikan. Karena hanya dengan jalan pendidikan kita menggantungkan asa untuk masa depan. Jadi, pendidikan multikultural adalah sebuah manifesto dan gerakan perubahan secara paradigmatik menyangkut teori dan praktek pendidikan.

Perubahan paradigma dalam rangka mempromosikan perspektif multikultural perlu mendapatkan justifikasi argumen teologis. Basis argumen teologis ini penting mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa religius. Lebih-lebih mayoritas pendududuknya adalah Muslim, karena itu legitimasi dari sudut pandang aqidah dan semacamnya merupakan keharusan filosofis. Intinya, basis teologi multikulturalisme (kalimatun sawa') meliputi: menyulam ragam merajut harmoni, sebuah cara merespon keragaman (tanawu'iyyah) dengan menunjukkan pemahaman dan sikap bahwa pluralitas, kesetaraan, dan kesahajaan adalah hal biasa; menebar amanah dan huznuzhan memupuk modal sosial; menganyam solidaritas menuntut pengorbanan; menyemai nirkekerasan menuai damai, dan menanam maaf mengetam ampunan. Basis ini pada gilirannya dapat sangat membantu dalam menyusun framework pendidikan multikultural, khususnya pendidikan agama.

Pendidikan agama mengusung pendekatan dialogis, muatan material yang berlimpah dengan memanfaatkan keragaman agama-agama yang hidup dan menjadi keyakinan siswa dan guru. Sebagai sebuah pembaruan, pendidikan agama berwawasan multikultural memiliki karakteristik khas meliputi: menanamkan pilar keempat kesadaran pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan agama-agama (how to live and work together with others); menyemangati relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, dan menghargai persamaan, perbedaan, dan keunikan agama-agama; menyuguhkan suatu jalinan erat dan interdependensi dalam situasi saling mendengar dan menerima perbedaan perspektif agama-agama dalam satu dan lain masalah dengan pikiran terbuka (open mind); suatu kreasi untuk menemukan jalan terbaik mengatasi konflik antaragama dan menciptakan perdamaian melalui sarana pengampunan dan tindakan nirkekerasan (non-violence).

Dengan karakteristik semacam itu, pendidikan agama melandaskan operasionalnya pada sejumlah asumsi antara lain: bahwa ia merupakan inovasi dan reformasi di dunia pendidikan yang ditandai dengan muatan pendidikan agama yang integral dan komprehensif; memberi konstruk pengetahuan baru tentang agama atau agama-agama; memberi kesempatan yang sama pada semua peserta didik untuk memperoleh pendidikan agama dengan konstruk baru; proses pembelajaran semaksimal mungkin dapat mereduksi prejudice dan rasisme yang mungkin terjadi atas nama agama; menyadarkan bias yang berkembang dalam masyarakat dan dunia pendidikan; termasuk di dalamnya pelurusan atas bias gender; belajar mengeliminasi stereotip; dan tak kalah pentingnya merestrukturisasi pendidikan agama khususnya. Lima asumsi lainnya meliputi: pendidikan agama perlu mengidentifikasi dan memberi pengakuan akan pluralitas; ia merupakan sarana belajar untuk melakukan perjumpaan lintas batas agama, kultural dan etnik misalnya; penyadaran akan interdependensi antar manusia dan perlunya membangun kerjasama diantara mereka; pendidikan agama  mentransformasi proses pembelajarannya dari indoktrinasi menuju dialog agar pembelajaran menjadi lebih efektif dalam menanamkan nilai-nilai agama tentang kebersamaan; dan menekankan pada proses interaksi dalam kelas.

Karakteristik dan asumsi yang bekerja di balik pendidikan agama berwawasan multikultural menghendaki suatu orientasi dan transformasi pendidikan yang khas pula. Dari sisi orientasi, pendidikan agama dapat dikembangkan melalui tiga cara : pembaruan pendidikan agama dengan mengintrodusir muatan, yakni bisa dilakukan lewat tawaran kurikulum, silabi, referensi, dan materi pendidikan agama, dan atau mengajarkan multikulturalisme juga dapat dilakukan dalam pelajaran-pelajaran umum lainnya. Cara kedua adalah dengan mengubah cara pembelajarannya yang lebih difokuskan pada keragaman siswa itu sendiri. Misalnya, proses belajar-mengajar pendidikan agama menekankan pada pendekatan studi kelompok, yang masing- masing kelompok terdiri berbagai siswa dari beragam latar belakang agama, kebudayaan, etnik dan gender. Cara ketiga diupayakan melalui pembelajaran atas lingkungan sosial yang hidup di sekitar sekolah atau siswa. Bahwa lingkungan sosial sekitar menunjukkan keragaman, adalah bahan ajar bagi siswa untuk mengenal sekaligus berinteraksi langsung dengan keragaman itu sebagai pengalaman nyata. Di sini tentu saja menuntut guru kreatif membuat pembelajaran dengan memanfaatkan kekayaan lingkungan yang tersedia.

Pendidikan multikultural harus menjadi suatu proses transformasional, bukan sekedar proses toleransi. Sebagai proses transformasional, pendidikan multikultural hadir sebagai proses melalui mana seluruh aspek pendidikan diuji dan dikritik serta dibangun kembali atas dasar ideal-ideal persamaan dan keadilan sosial; membantu perkembangan semua orang dari semua kebudayaan untuk menjadi aktivis dalam menghadapi ketidakadilan yang menimpa mereka atau orang lain; mengkonstruksi identitas diri yang diakui banyak orang dan percaya diri; mengembangkan cara-cara berinteraksi dengan orang dari berbagai latar belakang dan kebudayaan secara empatik, sesuai dan diakui, belajar menjadi pemikir kritis terhadap berbagai bentuk diskriminasi; dan membangun kerjasama dengan orang lain untuk menciptakan perubahan-perubahan konkret pada level interpersonal dan institusional. Banyak orang mengidentikkan pendidikan multikultural sebagai proses penting untuk memperbaiki pendidikan bagi semua siswa agar menyepakati bahwa transformasi (perubahan dalam skala besar) dibutuhkan dalam kurikulum, pedagogi, assessment, dan aspek-aspek lain dari sekolah dan persekolahan.

Wallahu A'lam Bish-Shawab



DIREVIEW DARI BUKU:
JUDUL        : PENDIDIKAN AGAMA BERWAWASAN MULTIKULTURAL
PENULIS    : ZAKIYUDDIN BAIDHAWY
PENERBIT  : ERLANGGA, JAKARTA (2005)