KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Atas berkat dan hidayah-Nya-lah,
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Tak lupa pula Shalawat serta salam
kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW sebagai "Uswatun Hasanah"
bagi dunia pendidikan.
Makalah
yang berjudul “JARINGAN KEILMUAN DI NUSANTARA” ini sengaja kami susun sebagai tugas
kelompok sekaligus sebagai bahan diskusi pada tatap muka pembelajaran PKN
Sejarah. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pembuatan makalah ini.
Akhirnya,
kami sebagai penyusun menyadari bahwa makalah ini tak luput dari segala kekurangan
dan keterbatasan baik dari segi penulisan maupun isi di dalamnya. Untuk itu,
kami sangat mengharapkan saran ataupun kritik yang bersifat membangun dari
berbagai pihak terutama dari Guru Mata Pelajaran yang bersangkutan, demi
kesempurnaan pembuatan makalah-makalah selanjutnya.
Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi diri kami pribadi, Aamiin…
!!!
Majene, 4 April 2018
Penyusun,
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkembangan lembaga
pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat
ditentukan oleh dukungan penguasa. Sultan bukan saja mendanai
kegiatan-kegiatan masjid, tetapi juga mendatangkan para
ulama, baik dari mancanegara, terutama Timur Tengah, maupun
dari kalangan ulama pribumi sendiri. Para ulama yang kemudian
juga difungsikan sebagai pejabat-pejabat negara, bukan saja
memberikan pengajaran agama Islam di masjid-masjid negara, tetapi
juga di istana sultan. Para sultan dan pejabat tinggi rupanya juga menimba ilmu
dari para ulama. Seperti halnya yang terjadi di Kerajaan Islam
Samudera Pasai dan Kerajaan Malaka.
Ketika
Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang
politik, tradisi keilmuannya tetap berlanjut. Samudera Pasai
terus berfungsi sebagai pusat studi Islam di Nusantara. Namun, ketika
Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat studi keislaman tidak
lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai. Malaka kemudian juga berkembang
sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin
dapat dikatakan berhasil menyainginya. Kemajuan ekonomi
Kerajaan Malaka telah mengundang banyak ulama dari mancanegara
untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses
pendidikan dan pembelajaran agama Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah terbentuknya jaringan keilmuan di Nusantara ?
2. Apa hubungan antara istana sebagai pusat kekuasaan dengan pendidikan
terkait jaringan keilmuan di Nusantara ?
3. Bagaimana bentuk akulturasi kebudayaan Islam yang terjadi atas adanya
jaringan perkembangan keilmuan di Nusantara ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
TERBENTUKNYA JARINGAN KEILMUAN DI NUSANTARA
Ketika
Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran dalam bidang politik, tradisi
keilmuan tetap berlanjut. Samudera Pasai terus berfungsi sebagai pusat studi
Islam di Nusantara. Namun, ketika Kerajaan Malaka telah masuk Islam, pusat
studi keislaman tidak lagi hanya dipegang oleh Samudera Pasai. Malaka kemudian
juga berkembang sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin
dapat dikatakan berhasil menyainginya. Kemajuan ekonomi Kerajaan Malaka telah
mengundang banyak ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih
intensif dalam proses pendidikan dan pembelajaran agama Islam.
Kerajaan
Malaka dengan giat melaksanakan pengajian dan pendidikan Islam. Hal itu
terbukti dengan berhasilnya kerajaan ini dalam waktu singkat melakukan
perubahan sikap dan konsepsi masyarakat terhadap agama, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Proses pendidikan dan pengakaran itu sebagian berlangsung di
kerajaan. Perpustakaan sudah tersedia di istana dan difungsikan sebagai pusat
penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya dari bahasa Arab ke bahasa Melayu.
Karena perhatian kerajaan yang tinggi terhadap pendidikan Islam, banyak ulama
dari mancanegara yang datang ke Malaka, seperti dari Afghanistan, Malabar,
Hindustan, dan terutama dari Arab. Banyaknya para ulama besar dari berbagai
negara yang mengajar di Malaka telah menarik para penuntut ilmu dari berbagai
kerajaan Islam di Asia Tenggara untuk datang.
Dari
Jawa misalnya, Sunan Bonang dan Sunan Giri pernah menuntut ilmu ke Malaka dan
setelah menyelesaikan pendidikannya mereka kembali ke Jawa dan mendirikan
lembaga pendidikan Islam di tempat masing-masing.
Hubungan
antar kerajaan Islam, misalnya Samudera Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam,
sangat bermakna dalam bidang budaya dan keagamaan. Ketiganya tersohor dengan
sebutan Serambi Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam
di Indonesia. Untuk mengintensifkan proses Islamisasi, para ulama telah
mengarang, menyadur, dan menerjemahkan karya-karya
keilmuan Islam. Sultan Iskandar Muda adalah raja yang sangat memperhatikan
pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Ia mendirikan Masjid Raya
Baiturrahman, dan memanggil Hamzah al Fanzuri dan Syamsuddin as Sumatrani
sebagai penasihat. Syekh Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Gowa di
Sulawesi Selatan pernah menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke
Mekkah. Melalui pengajaran Abdur Rauf as Singkili telah muncul ulama
Minangkabau Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai pelopor pendidikan
Islam di Minangkabau dan Syekh Abdul Muhyi al Garuti yang berjasa menyebarkan
pendidikan Islam di Jawa Barat. Karya-karya susastra dan keagamaan dengan
segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Islam itu telah
merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal itu menjadi
pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.
Di
Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan juga sangat mencolok. Bahkan
pada abad ke-17, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di pulau
Jawa. Para ulama dari berbagai negara menjadikan Banten sebagai tempat untuk
belajar. Martin van Bruinessen menyatakan, “Pendidikan agama cukup menonjol
ketika Belanda datang untuk pertama kalinya pada 1596 dan menyaksikan bahwa
orang-orang Banten memiliki guru-guru
yang berasal dari Mekkah”.
Di
Palembang, istana (keraton) juga difungsikan sebagai pusat sastra dan ilmu
agama. Banyak Sultan Palembang yang mendorong perkembangan intelektual
keagamaan, seperti Sultan Ahmad Najamuddin I (1757-1774) dan Sultan Muhammad
Baha’uddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan mereka, telah muncul banyak
ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan karya-karya
ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh, dan
al-Qur’an.
Perhatian
sultan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan Islam tercermin pada keberadaan
perpustakaan keraton yang memiliki koleksi yang cukup lengkap dan rapi.
Berkembangnya
pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara
yang sangat luas. Dua hal yang mempercepat proses itu yaitu penggunaan aksara
Arab dan bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu (lingua franca). Semua ilmu
yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam aksara
Arab, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu atau Jawa. Aksara Arab
itu disebut dengan banyak sebutan, seperti huruf Jawi (di Melayu) dan huruf
pegon (di Jawa). Luasnya penguasaan aksara Arab ke Nusantara telah membuat para
pengunjung asal Eropa ke Asia Tenggara terpukau oleh tingginya tingkat
kemampuan baca tulis yang mereka jumpai.
Pada
1579, orang Spanyol merampas sebuah kapal kecil dari Brunei. Orang Spanyol itu
menguji apakah orang-orang Melayu yang menyatakan diri sebagai budak-budak
sultan itu dapat menulis. Dua dari tujuh orang itu dapat (menulis), dan
semuanya mampu membaca surat kabar berbahasa Melayu sendiri-sendiri.
Berkembangnya
pendidikan Islam di istana-istana raja seolah menjadi pendorong munculnya
pendidikan dan pengajaran di masyarakat. Setelah terbentuknya berbagai ulama
hasil didikan dari istana-istana, maka murid-muridnya melakukan pendidikan ke
tingkatan yang lebih luas, dengan dilangsungkannya pendidikan di rumah-rumah
ulama untuk masyarakat umum, khususnya sebagai tempat pendidikan dasar,
layaknya kuttâb di wilayah Arab.
Sebagaimana
kuttâb (lembaga pendidikan dasar di Arab sejak masa Rasulullah) yang biasa
mengambil tempat di rumah-rumah ulama, di Nusantara pendidikan dasar
berlangsung di rumah-rumah guru. Pelajaran yang diberikan terutama membaca
al-Qur’an, menghafal ayat-ayat pendek, dan belajar bacaan salat lima waktu. Dan
ini diperkirakan sama tuanya dengan kehadiran Islam di wilayah ini. Di
Nusantara, masjid-masjid yang berada di permukiman penduduk yang dikelola
secara swadaya oleh masyarakat menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk masyarakat umum.
Di sinilah terjadi demokratisasi pendidikan dalam sejarah Islam. Demikianlah
yang terjadi di wilayah-wilayah Islam di Nusantara, seperti Malaka dan kemudian
Johor, Aceh Darussalam, Minangkabau, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Pajang,
Mataram, Gowa-Tallo, Bone, Ternate, Tidore, Banjar, Papua
dan lain sebagainya.
Bahkan
mungkin karena memiliki tingkat otonomi dan kebebasan tertentu, di masjid
proses pendidikan dan pengajaran mengalami perkembangan. Tidak jarang di
antaranya berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang cukup kompleks,
seperti meunasah di Aceh, surau di Minangkabau, langgar di Kalimantan dan
pesantren di Jawa.
B.
HUBUNGAN ISTANA SEBAGAI PUSAT KEKUASAAN DAN
PENDIDIKAN
Perkembangan
lembaga pendidikan dan pengajaran di masjid-masjid kesultanan sangat ditentukan oleh
dukungan penguasa.
Istana
berfungsi sebagai :
1.
Pusat
kekuasaan
2.
Pusat
pendidikan
Sedangkan Sultan bertugas :
1.
Mendanai
kegiatan masjid
2.
Mendatangkan
ulama dari mancanegara (terutama Mekkah dan dari orang pribumi)
Para ulama juga kemudian difungsikan
sebagai pejabat-pejabat negara, jadi tidak hanya memberikan pengajaran agama
Islam di masjid-masjid negara, tetapi juga di istana sultan. Para ulama tidak
hanya mengajari masyarakat tentang ilmu agama Islam, karena para sultan dan
pejabat tinggi juga turut serta menimba ilmu agama Islam.
Kegiatan atau peristiwa di atas
terjadi di kerajaaan-kerajaan Islam, seperti :
1.
Samudera
Pasai (Merupakan pusat pengajaran Islam di Nusantara)
2.
Malaka
(Merupakan pusat pengajaran Islam di Asia Tenggara)
Kemajuan Malaka
di bidang ekonomi (karena merupakan jalur perdagangan telah mengundang banyak
ulama dari mancanegara untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses
pendidikan dan pengajaran Islam. Di Kerajaan Malaka juga sudah memiliki
perpustakaan yang digunakan sebagai pusat penyalinan kitab-kitab dan penerjemahannya
dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Banyak ulama dari mancanegara yang datang ke
Malaka, seperti : Afghanistan, Malabar, Hindustan, Arab.
Kedatangan para
ulama dari mancanegara membuat ulama dari Asia Tenggara sendiri tertarik untuk
menimba ilmu di Malaka. Misalnya dari Jawa, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Giri.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Malaka, Sunan Bonang dan Sunan Giri
kembali ke jawa dan mendirikan lembaga pendidikan Islam di daerahnya
masing-masing.
3.
Aceh
Sultan yang
terkenal adalah Sultan Iskandar Muda, ialah raja yang sangat memperhatikan
pengembangan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Ia juga pelopor pendirian
Masjid Baiturrahman, dan memanggil penasihat Hamzah Al Fanzuri dan Syamsuddin
As Sumatrani. Syekh
Yusuf al Makassari ulama dari Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan pernah
menuntut ilmu di Aceh Darussalam sebelum melanjutkan ke Mekkah. Melalui
pengajaran Abdur Rauf as Singkili, muncul ulama Minangkabau Syekh Burhanudin
Ulakan (Minangkabau), Syekh Abdul Muhyi al Garuti (Jawa Barat).
4.
Banten
Kerajaan Banten
berdiri pada abad ke-16, lalu pada abad ke-17 Banten sudah menjadi pusat ilmu
pengetahuan Islam di Pulau Jawa. Kerajaan
Samudera Pasai, Aceh Darussalam, dan Kerajaan Banten sudah tersohor dengan
sebutan Serambi Mekkah dan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam di
Indonesia.
5.
Palembang
Sultan yang
mendorong perkembangan intelektual keagamaan seperti: Sultan Ahmad Najamuddin I
(1757-1774) dan Sultan Muhammad Baha'uddin (1774-1804). Pada masa pemerintahan
mereka muncul banyak ilmuwan asal Palembang yang produktif melahirkan
karya-karya ilmiah keagamaan: ilmu tauhid, ilmu kalam, tasawuf, tarekat, tarikh
dan al-Qur'an.
Berkembangnya
pendidikan dan pengajaran Islam telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara
yang sangat luas. Dua hal yang mempercepat berkembangnya hal tersebut ialah
penggunaan aksara Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Aksara
Arab di Jawa disebut huruf Pegon sedangkan di Melayu disebut huruf Jawi. Bisa
digambarkan seperti : Input - Proses - Output = Awam - Belajar - Ulama.
Pada
zaman dahulu biasanya masyarakat yang ingin belajar ilmu agama datang ke rumah
kediaman para ulama. Khususnya sebagai tempat pendidikan dasar, layaknya kuttab
di wilayah Arab. Pelajaran yang diberikan utamanya yaitu :
1.
Membaca
Al-Quran
2.
Menghafal
ayat-ayat pendek
3.
Belajar
bacaan sholat lima waktu
Di Indonesia, masjid dikembangkan
oleh masyarakat untuk menjalankan fungsi pendidikan dan pengajaran untuk
masyarakat umum. Bahkan karena memiliki otonomi atau kebebasan tertentu, masjid
mengalami perkembangan, seperti :
1.
Meunasah
(Aceh)
2.
Pesantren
(Jawa)
3.
Surau
(Minangkabau)
4.
Langgar
(Kalimantan)
C.
AKULTURASI KEBUDAYAAN ISLAM
1.
Seni
Bangunan
a.
Masjid :
· Atapnya berbentuk tumpang
· Tidak memiliki menara
· Teras bertingkat (berbentuk undak-undakan)
· Terletak di dekat istana (alun-alun)
b.
Makam :
· Jasad dimasukkan ke dalam peti
· Jika yang meninggal seorang yang Agung maka jasadnya dikubur di
dataran tinggi
c.
Istana :
· Di istana terdapat patung dwarapala (patung penjaga)
2.
Seni
Ukir
· Ukiranya berbentuk daun-daun atau bunga-bunga
· Seni Kaligrafi
3.
Aksara
dan Seni Sastra
·
Hikayat : karya
sastra yang berisi cerita sejarah ataupun dongeng
·
Babad : mirip
dengan hikayat. Tulisan sejarah namun tidak semuanya berupa fakta.
·
Syair : karya
sastra berupa sajak-sajak yang terdiri atas empat baris setiap baitnya.
·
Suluk : karya
sastra yang berupa kitab-kitab dan isinya menjelaskan soal tasawufnya.
4.
Kesenian
· Permainan Debus : tarian yang pada puncak acara para penari menusukkan benda tajam
ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka.
· Seudati : sebuah bentuk tarian dari Aceh. Artinya permainan
orang-orang besar atau juga disebut saman (delapan).
· Wayang : seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di
Jawa dan Bali. Pada saat islamisasi di Nusantara Sunan Kalijaga yang
menyebarkan agama Islam dengan media wayang.
· Kasidahan : seni musik yang memainkan alat-alat musik seperti
rebana, terban dll dan menyanyikan lagu-lagu Islam.
5.
Kalender
· Hijriah. Bulan Ramadhan (Pasa), Bulan Muharam (Suro)
6. Pemerintahan
Pada
awaknya pemerintahan berupa Kerajaan (Raja) merupakan Hindu-Buddha. Kemudian
berkembang menjadi Kesultanan (Sultan/Khalifah) merupakan Islam.
BAB
III
P E N U T U P
A.
KESIMPULAN
Sejak
kerajaan Samudra Pasai mengalami keruntuhan, jaringan keilmuan tetap berlanjut
dan kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat studi. Ketika kerajaan Malaka masuk
Islam, kerajaan Malaka juga menjadi pusat studi bahkan dapat dikatakan berhasil
menyainginya. Dan kemajuan ekonomi kerajaan Malaka telah mengundang para ulama
untuk berpartisipasi dengan lebih intensif dalam proses pembelajaran Islam.
Keberhasilan
Malaka dalam waktu singkat merubah konsepsi dan sikap terhadap agama
menyebabkan banyak para ulama besar dari mancanegara datang. Hubungan antar
kerajaan misalnya, Samudra Pasai, Aceh Darussalam, dan Malaka sangat bermakna
dalam bidang keagamaan dan kebudayaan.
Di
Banten, fungsi istana sebagai lembaga pendidikan sangat mencolok. Bahkan pada
abad ke-17 M, Banten sudah menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam di Pulau Jawa.
Sedangkan di Palembang, banyak Sultan Palembang yang mendorong pengembangan
intelektual keagamaan.
Berkembangnya
pendidikan dan pengajaran Islam, telah berhasil menyatukan wilayah Nusantara.
Semua ilmu yang diberikan di lembaga pendidikan Islam di Nusantara ditulis dalam
Aksara Arab, baik dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu. Selanjutnya
berkembanglah pendidikan tersebut sampai ke rumah-rumah dan ke tingkat yang
lebih luas, pelajaran yang diberikan adalah menghafal al-Qur’an dan lain sebagainya.
B.
IMPLIKASI
Jaringan keilmuan di Nusantara melibatkan
banyak sejarah kerajaan-kerajaan terkemuka di Indonesia. Keilmuan tersebut
berkembang dalam bentuk pendidikan yang sebagian besar dipengaruhi oleh
perkembangan Islam saat itu. Sebagai pelajar di Indonesia, kita dituntut untuk melestarikan
berbagai bentuk pendidikan tersebut agar tetap terjaga dan berkembang demi
pembangunan masa depan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA